Oleh: Haedar Nashir
Kisah hidup tak bisa diduga. Usia masih muda banyak yang melejit jadi elite ternama. Bahkan ada yang digadang-gadang akan menjadi tokoh nasional tertinggi. Orang Jawa menyebutnya satria piningit, sosok ratu adil yang akan hadir seperti imam mahdi.
Namun apa yang terjadi? Rupanya nasib membawa lain. Bukan istana yang menjadi singgasana, tapi jeruji besi. Korupsi telah menjerat diri. Ratusan miliar uan negara jadi jarahan. Satu persatu para elite dan generasi muda ternama itu masuk penjara. Sungguh guratan nasib yang pilu.
Anak-anak muda bergerilya mengadu nasib ke Ibu Kota. Mereka berlomba merambah dunia politik. Niat awal memang mulia, konon ingin membangun bangsa dan negara. Dengan dalih dakwah, politik diidealisasikan untuk membangun kejayaan Islam dan umat Islam. Tanpa politik, ujar mereka, dakwah hanyalah sebuah ranah pinggiran. Melalui politik di ranah kekuasaan dakwah pasti berjaya.
Namun kenapa satu persatu para anak panah umat itu terperosok ke kubangan korupsi dan jeruji besi? Mungkin niat yang terpendam salah alamat. Mereka sebenarnya bukan ingin memuliakan agama dan umat, namun mengejar kejayaan diri. Ingin mengubah jalan hidup agar jadi cemerlang dalam sekejap. Ingin kayaraya dan ternama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ketika pulang dieluk-elukan keluarga dan warga.
Salahkah? Sungguh tidak. Mengubah jalan dan nasib hidup ke arah yang lebih baik itu mulia dan niscaya. Allah Yang Maha Kuasa bahkan menyuruh para hamba beriman agar berikhtiar mengubah nasib hidupnya dengan kekuatan dirinya, innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi ‘anfusihim (QS Ar-Ra’du: 11). Muslim yang baik tidak boleh mengasingkan diri dari dunia, bahkan harus memakmurkan dunia selaku khalifah di muka bumi (QS Al-Baqarah: 30; Hud: 60).
Lantas apa yang salah? Cara menempuh dunia. Mereka mengubah nasib bukan dengan ikhtiar perjuangan keras yang halal dan baik, setahap demi setahap. Sebaliknya, di antara mereke menempuhnya dengan cara sekejap, menerabas, dan menggunakan segala cara. Ingin kaya dan bertahta melalui jalan pintas, cara-cara subhat dan haram pun dilakukan. Perangai jalan pintas itu akhirnya menjadi kebiasaan dan ketagihan, yang diikuti generasi berikutnya seolah menjadi model.
Anak-anak muda satu persatu mengubah haluan. Tak banyak yang ingin jadi ilmuwan, pengusaha, dan kaum profesional dengan kerja keras dan perjuangan melelahkan. Mereka berburu dunia politik jalan pintas, agar ingn segera kayaraya dan ternama di khalayak. Paling gampang tidak sedikit yang menjadi broker politik, yang mendapat upah uang atau kedudukan dengan cara gampangan. Setiap tiba perhelatan politik akbar, gairahnya memuncak, hilir mudik ke sana ke mari mencari dukungan suara. Muru’ah atau rasa malu dan martabat diri pun hilang.
Karena berpolitik cara instan telah menjadi pilihan, segala hal diterjang. Umat dan organisasi perjuangan diatasnamakan. Kebenaran dan kebaikan dinisbikan. Kata tak sejaan tindakan. Siapapun yang tak sepaham dan mencoba memberi pijakan nilai dianggap kolot, kurang pergaulan, apolitik, dan terbelakang. Akhirnya, politik makin jauh dari idealisme awal, sebagai jalan memperjuangkan nilai dan cita-cita utama. Politik, ujar Buya Ahmad Syafii Maarif, akhirnya sekadar jalan mata pencaharian. Wallahu ‘alam.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah No.12 tahun 2014