Maghrib di Pasar Swalayan
Maghrib memang tak perlu bagi lampu-lampu, etalase
manekin, barang-barang berselimut mata uang
yang tak henti-hentinya menantang
Tapi, mengapa engkau tak juga risau
sedang matahari khusyuk bersujud
di pangkuan Ilahi
melepaskan jerat ilusi
yang tak pernah pasti
Di pasar swalayan
sampai juga maghrib
demikian pula azan
tapi nyaris tak didengarkan
(2012)
Juma’at Para Fakir
Selalu dengan wajah kering, jauh wudu
salat ditinggalkan karena harus menunggu.
Mulai teritis, rindang beringin, hingga gerbang tua
berhias kuncup bunga peninggalan raja-raja Jawa.
Mengapa tangis terus dirawat, serupa tongkat
untuk mengemis pada manusia
bukan bersyukur pada Tuhan
yang membuatnya ada?
Ia memang tak ingin berteduh di serambi
dingin oleh zikir, hangat dalam sepasang rakaat
di hari mulia yang bernama Jum’at.
Ia memang lebih percaya pada keping logam
atau kertas, karena tak pernah mahir
mencungkil kata fakir dari bibir
yang dimanjakan piring dan gelas
(2012)
Di Makam Syeh Maulana Maghribi
Pada puncak bukit, usai jalan berundak
masjid dan makam, Islam dan Jawa
berdampingan dalam kerindangan
Di sudut, rumpun bambu pancing
sunyi warisan Maulana Maghribi
dekat muara sungai opak dan pantai selatan
menjaga kikisan ombak
zaman dan kepercayaan berbenturan
Di serambi, seorang lelaki muda bersila
seperti menanti, seperti bertapa
tapi tasbih di tangan tetap menghitung
seperti ditetapkan Nabi
seirama denyut dada kiri
Di makam ini ratusan orang bersaksi
bumi Jawa bersyahadat
meletakkan keris pedang
di pangkuan para wali
(2011)
Matahari di Dahi
Tukang Sampah Tua Kota Yogyakarta
Karena gerobak itu bau, badannya juga bau
maka ia mandi dulu di masjid itu
mencuci karat daki
sebelum melafalkan kalimah suci
Diubun-ubunnya ada matahari
yang dulu juga menyaksikan Nabi
bersujud di padang pasir sunyi
Ada sampah tersisa pada namanya
tapi, tidak dihamparan sajadah tua
bergambar ka’bah
ketika ia meletakkan dahi
di pangkuan Yang Maha Perkasa
(2011)
————————–
*Iman Budhi Santosa lahir di Magetan pada 28 Maret 1948. Pendidikan formalnya adalah S.Pb.M.A. selama empat tahun di Yogyakarta (1968), lalu melanjutkan ke Akademi Farming Semarang (1983). Pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah (1975-1987). Pada 1969, bersama Umbu Landi Paranggi dan kawan-kawan mendirikan Persada Studi Klub (PSK); komunitas penyair muda di Malioboro. Menulis sastra dan kebudayaan dalam dwi bahasa; Indonesia dan Jawa.
Karya-karyanya pernah dipublikasikan media massa pusat dan daerah, serta sejumlah majalah, seperti Basis, Sastra, Horison, Citra Yogya, Kalam, dan Latitudes. Sejumlah puisinya terdapat dalam antologi bersama: Tugu (1986), Tonggak 3 (1987), Pesta Api (1989), Lirik-lirik Kemenangan (1994), Zamrud Khatulistiwa (1997), Gerbong (1998), Bertandang dalam Proses (1999), Embun Tajalli (2000), Dari Fansuri ke Handayani (2002), Medan Waktu (2004), TOngue in Your Ear (2007), Force Majoure (2007), Malioboro (2007.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Humaniora” Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 tahun 2014