YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah Hilman Latief, PhD mengatakan banyak sekali lembaga filantropi di Indonesia dan berkembang sangat cepat. Hanya saja studi mengenai kiprah lembaga filantropi di tanah air masih terbatas.
Hal tersebut disampaikan Hilman dalam Seminar Hasil Riset Maarif Fellowship di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (21/5). Seminar tersebut mengangkat tema “Membincang Gerakan Filantropi Islam: untuk Disengagement atau Radikalisasi?” yang diselenggarakan atas kerja sama Lazismu PP Muhammadiyah, Maarif Institute for Culture and Humanity, dan Pascasarjana UMY.
Hilman mengapresiasi para peneliti muda yang lolos Maarif Fellowship menunjukkan kapasitas penelitian yang luar biasa dan mengangkat topik yang sangat penting. “Saya tidak dapat membayangkan bahwa ada anak-anak muda membuat riset semacam ini, dan ternyata kemarin ada bom meledak, serangan bermacam-macam, waktu presentasi enam bulan lalu kita belum membayangkan akan ke situ,” ungkapnya.
Baca juga: Semua Muslim Bersaudara, Jangan Berpecah Belah
Penyaji hasil riset pertama disampaikan oleh Husna Yuni Wulansari dari Universitas Gadjah Mada yang meneliti tentang Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia. Dalam penelitannya mengamati hubungan lembaga filantropi Islam (Infaq Dakwah Center, Afiqu Center dan NUCare-Lazisnu) dengan faktor-faktor yang dapat memajukan ataupun melemahkan dukungan bagi terorisme di Indonesia.
Waskito Wibowo dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi penyaji riset yang kedua, tentang Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme: Studi Kasus di Kabupaten Lamongan. Hasil penelitian Waskito menunjukkan kebanyakan filantropi berbasis masjid hanya berperan sebagai santunan (charity) saja dalam melakukan pendampingan keluarga napiter. Meskipun terdapat juga beberapa peran lainnya seperti sebagai fasilitator, pendorong kemandirian, dan sebagai mediator.
Menanggapi kedua hasil penelitian tersebut, Dr Muhamamd Iqbal Ahnaf mengatakan berdasarkan situasi belakangan ini radikalisme erat sekali dengan tali persaudaraan dan mental kekhawatiran hingga nalar apokaliptik yang menganggap dunia ini sudah rusak parah. “Polusi maksiat, polusi kemusyrikan, seakan-akan tidak ada jalan untuk memperbaiki dunia ini, sehingga kemudian jalan yang paling mungkin adalah jalan kekerasan, jalan ekstrim,” tutur Iqbal.
Sementara itu, Direktur MAARIF Institute, Muhammad Abdullah Darraz berharap hasil dari penelitian tersebut dapat memberikan pemetaan lebih dalam, bahwa penting mendorong gerakan filantropi dari kalangan moderat untuk membantu keluarga napiter. “Gerakan filantropi ini menurut saya potensial untuk kita bisa melakukan upaya disengagement kepada kelompok-kelompok ini, sehingga mereka tidak lagi melakukan gerakan terorisme,” tandas Darraz.(rizq)
Baca juga: