YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa ibadah yang dilakukan oleh setiap Muslim harusnya menjadi sarana untuk taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dan sekaligus memperkaya akhlak. Terutama puasa, jika dilakukan dengan penuh penghayatan akan menjadi ibadah yang meningkatkan kadar ketakwaan.
“Nilai ketakwaan terwujud teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari yang memancarkan akhlak takwa dalam pribadi muslim. Akhlak takwa adalah proses yang muncul dalam pribadi, yang tertanam dalam diri berupa sifat dan tindakan,” kata Haedar dalam tausiyahnya di Masjid Islamic Center UAD Yogyakarta, pada Senin, 21 Mei 2018.
Haedar mengajak jamaah untuk merenungi sejauh mana nilai-nilai takwa hadir dalam perilaku. Setelah berpuasa bertahun-tahun, sejauh mana ketakwaan menjadi perilaku dalam kehidupan. Sebagai contoh, Haedar mengetengahkan dua ayat sebagai standar perilaku takwa. Al-Baqarah ayat 177 dan Ali Imran ayat 134.
Dalam Al-Baqarah 177, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Ali Imran 134 menyatakan, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Semisal tentang nilai supaya menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Jabaran ciri orang bertakwa dalam al-Qur’an sering berjarak dengan perilaku Muslim yang berpuasa. “Ketika masuk dalam aktualisasi akhlak sering ada jarak antara realita dan idealita,” ujarnya.
“Bisakah kita tidak marah ketika ada stimulan yang membuat kita marah. Sukses sabar tapi tidak selalu sukses menahan marah, apalagi ketika ada alasan. Jika ada yang menghina merendahkan kita, kita sering langsung marah. Jika ada sesuatu yang kita anggap ideal, tapi ketika tidak sesuai maka langsung marah,” kata Haedar. Jika memang terpaksa harus marah, umat Islam harus tetap berpatokan pada nilai kehadiran Allah dan kitab suci dalam dirinya.
Dalam dunia hari ini, orang sering mengumbar kemarahan di media sosial dengan bebas. “Media sosial orang banyak memproduksi ujaran-ujaran dan kalimat-kalimat yang tidak mencerminkan akhlak mulia, tapi juga sudah tidak melampaui batas,” ungkapnya prihatin. Ketika ada info yang tidak mengenakkan, langsung direspon berlebihan dan menerabas etika. Padahal Islam mengajarkan hifzul kalam dan hifzul lisan, menjaga ujaran dan menjaga tulisan.
“Perilaku-perilaku hifzul lisan, hifzul kalam, harus kita tumbuhkan dalam kehidupan,” ujar Haedar. Setiap Muslim harus bisa menjaga diri untuk senantiasa berbingkai akhlak mulia. Termasuk salah satu sarana menjaga lisan dan tulisan untuk tidak mudah marah dan mencaci maki adalah dengan memiliki sikap lapang dada. “Memberi maaf pada orang, kadang susah ketika kita merasa benar dan orang lain di pihak yang salah,” katanya.
Oleh karena itu, Haedar mengajak untuk merefleksikan ibadah-ibadah yang dilakukan, sejauh mana bisa teraktualisasikan dalam kehidupan. Demikian halnya dengan ibadah shalat. “Adakah shalat melahirkan khusyu dan khusyu melahirkan takwa dalam kehidupan. Shalat itu sarana taqarub kepada Allah, yang harusnya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar,” ulas Haedar. Ujian dari perbuatan keji dan mungkar itu kadang datang di saat sendiri dan ada kesempatan. “Bisa tidak menghindar dalam keadaan sepi. Jiwa muraqabah kita diuji,” tutur Haedar Nashir. (ribas)