Oleh Kuswaidi Syafi’ie
Panutan umat manusia, Rasulullah saw, suatu hari di dalam kehidupannya pernah menyatakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau: “Khayrul qurun qarni, tsummal ladzina yalunahum, tsummal ladzina yanunahum”, (Futuhat Makkiyah 3/ 210). Pernyataan itu tidak semata merupakan kalimat apriori yang melesat dari ruang hampa, akan tetapi sepenuhnya berdasarkan realitas yang bisa diinvestigasi oleh sejarawan manapun di dunia.
Keberhasilan beliau mencetak generasi unggulan mutlak berhubungan dengan posisi beliau yang disetting oleh Allah SWT sebagai murabbin zhahiran wa bathinan (pendidik lahir dan batin) yang prestasinya tidak mungkin terjejeri oleh keberhasilan pendidik manapun di dunia dari awal mula penciptaan hingga akhir zaman. “Sahabat-sahabatku”, sabda beliau saw ketika bertutur tentang keberhasilannya di bidang pendidikan secara holistik, “laksana bintang-gemintang. Dengan yang manapun saja di antara mereka kalian mempertautkan diri, maka kalian akan mendapatkan petunjuk.”
Dalam keterkaitan dengan pendidikan Islam (baik yang formal maupun informal) di era kekinian, berbagai landasan dan penyokong pendidikan Rasulullah saw yang telah melahirkan generasi terbaik itu mutlak sangat penting untuk dijlentrehkan secara kontekstual agar bisa dijadikan fondasi yang sanggup mengobarkan semangat edukasi profetik di tengah berlangsungnya proses belajar dan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pertama, seorang pendidik mesti memiliki hubungan vertikal yang bagus dengan Allah SWT lebih dulu sebelum memasuki gelanggang pendidikan. Hal semacam itu memungkinkan baginya untuk semata mempunyai satu orientasi, yaitu memerankan diri sebagai pengejawantahan dari kehadiran Ilahi yang penuh dengan belas-kasih mengajarkan ilmu pengetahuan kepada seluruh peserta didik.
Edukasi transendental: demikianlah bisa kita terminologikan. Di dalam koridor dan bingkai peran yang sakral seperti itu, dapat dipastikan bahwa berbagai keinginan untuk mendapatkan materi dan aneka ragam puja-puji (apalagi dengan cara-cara yang kemaruk) di balik aktivitas mengajar akan menjadi luruh, hengkang dan menjauh. Dengan lisanul hal, seorang pendidik yang telah sampai pada derajat yang agung itu akan mengungkapkan sebuah kalimat stambuk yang dengan tandas telah diungkapkan oleh para rasul: “Aku tidaklah mengemis upah kepada kalian atas upayaku mengajar kalian. Tiadalah upahku kecuali diserahkan kepada Tuhan semesta alam”, (QS. Asy-Syu’ara: 109).
Kontekstualisasi periode Mekkah yang merupakan episode ketauhidan yang dulu diterapkan oleh Rasulullah saw mesti diinternalisasi oleh seorang pendidik ke dalam kosmos kesadaran batinnya terlebih dahulu agar dia sanggup “berniaga” dengan Allah SWT dalam melaksanakan tugas-tugas edukatif di sekolah. Sebagai sandaran baginya, Allah SWT akan senantiasa mengirimkan paket-paket ketentraman batin dan “kecukupan” yang memadai untuk keberlangsungan tugas-tugasnya. “Allah akan selalu menolong hambaNya selama si hamba menolong saudaranya”, sabda Rasulullah saw.
Kedua, seorang pendidik mesti memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan mendalam di bidang pelajaran yang ditekuninya sehingga para murid menjadi leluasa menanyakan dan mendiskusikan berbagai problem ilmiah yang dihadapi. Ilmu yang luas dan dalam adalah samudra yang senantiasa menantang kecerdasan dan kreatifitas rasio para murid: di situ, mereka bisa membentuk karakter keilmuan dan mempertajam pisau analisa.
Ketiga, seorang pendidik mesti memiliki retorika yang cemerlang dan bahasa yang fasih agar menarik bagi semua peserta didik dan mudah dicerna oleh kapasitas pemahaman mereka. Sehingga transformasi ilmu pengetahuan menjadi lancar dari si pendidik kepada murid-muridnya. Respon pun dari para murid akan menjadi maksimal. Ilmu pengetahuan yang memantul dari buku-buku ajar lalu menjelma “gerbong-gerbong kereta cahaya” yang sedemikian akslaratif meluncur ke berbagai stasiun kemungkinan dan masa depan yang remang-remang.
Jika tiga poin di atas itu telah dieksplorasi dengan segenap ketulusan, kesungguhan dan cinta dalam pemahamannya yang luas, sementara para murid telah terkondisikan dalam sebuah sistem pendidikan yang dinamis, maka masih tinggal satu lagi tugas mulia yang seharusnya dengan senang hati dilaksanakan baik oleh para pendidik maupun para murid, yaitu senantiasa meluangkan waktu, utamanya tengah malam, untuk merintihkan madah-madah doa ke hadaratNya agar mereka dijadikan generasi-generasi yang unggul pada kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti. Wallahu a‘lamu bish shawab.
Kuswaiidi Syafi’ie adalah pengasuh PP Maulana Rumi, Bantul Jogjakarta
————–
*Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bina Akhlak” Majalah Suara Muhammadiyah, edisi no.11 tahun 2013