Terkait 200 Mubaligh Rujukan, Haedar Nashir: Hargai Niat Baik Kemenag

Terkait 200 Mubaligh Rujukan, Haedar Nashir: Hargai Niat Baik Kemenag

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Semenjak dikeluarkan daftar 200 nama mubaligh rekomendasi Kementerian Agama Republik Indonesia, pada Jumat (18/5), muncul beragam pro dan kontra di masyarakat. Dimintai tanggapan terkait hal ini, ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, memberi apresiasi pada niat baik Menteri Agama dengan disertai beberapa catatan penting terkait kebijakan ini.

“Muhammadiyah menghargai niat baik Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin untuk meningkatkan kualitas mubaligh yang bisa menumbuhkan spirit keislaman di tubuh umat Islam. Islam yang damai, Islam yang rahamatan lil alamin, Islam yang punya komitmen kebangsaan dan kemanusiaan. Itu jadi komitmen semua ormas Islam,” kata Haedar usai shalat Tarawih di Masjid Islamic Center UAD, Yogyakarta, pada Senin (21/5) malam.

Haedar berharap Kementerian Agama berlapang dada menerima masukan yang disampaikan oleh berbagai kalangan terkait hal ini. “Masukan-masukan dari berbagai pihak dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan ke depan,” ungkapnya. Guna menyelesaikan pro dan kontra, semua pihak harus dilibatkan. “Alangkah baiknya menteri agama bertemu dengan ormas-ormas islam dan mencari solusi bersama,” tambahnya

Menurut Haedar, jauh lebih penting bagi Menteri Agama dan semua pihak untuk mengembangkan akhlak mubaligh, semacam etika tabligh. “Itu jauh lebih kuat dan memberi makna yang bersifat dakwah. Sehingga etika dakwah itu, para mubaligh tahu mana yang benar dan salah, tahu yang baik dan tidak baik untuk disampaikan. Mungkin suatu masalah benar, tapi tidak baik disampaikan di muka publik. Ada juga wilayah pantas dan tidak pantas,” katanya. Sesuatu yang benar dan baik ketika ada konteks tertentu menjadi tidak patut untuk disebarkan dan disampaikan. Hal ini membutuhkan kepekaan supaya mengutamakan hal yang lebih menolak  mudharat.

Inilah yang disebut dengan akhlak dakwah. “Prinsip dakwah itu kan bil hikmah wal mauizatil hasanah, wa jadil hum billati hiya ahsan,” ungkap Haedar. Dalam prinsip ini, mubaligh perlu mengedepankan metode penyampaian yang baik dan keteladanan, sehingga esensi pesan yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik. Tidak menimbulkan sakit hati dan terlebih permusuhan di tengah umat.

Haedar meminta semua pihak untuk tidak meperunyam masalah, sembari mencari solusi bersama. “Masalah ini juga jangan menimbulkan kontroversi terus-menerus yang membuat kita saling tuding, saling curiga, saling berada dalam posisi saling berseberangan satu sama lain, yang membuat umat saling berpecah belah. Jangan terkalahkan oleh isu dan persoalan yang bisa diselesaikan dengan bersama,” harapnya.

Kepada semua, Haedar berharap untuk tidak larut dalam perdebatan yang tidak substansi ini. Masih banyak persoalan keumatan dan kebangsaan yang perlu diselesaikan bersama. “Jangan terus dalam posisi pro dan kontra yang membuat kita kehilangan waktu untuk amal-amal yang lebih penting,” tukas Haedar Nashir.

Sementara itu, mantan ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah, juga mendukung kebijakan pemerintah untuk mengatur semacam kode etik bagi penceramah agama. Namun demikian, penyusunan kriterianya seharusnya dibicarakan terlebih dulu secara terbuka dan melibatkan banyak kalangan. “Secara prinsip, harus ada debat publik tentang kode etik bicara di depan publik, khususnya wilayah agama,” ujar Amin Abdullah.

Menurutnya, pemerintah perlu membahas secara terbuka terlebih dulu kriteria tentang materi dan batasan ceramah agama di ruang publik dengan melibatkan banyak pihak, mulai tokoh agama, politikus, ulama, perguruan tinggi hingga budayawan, seharusnya dilibatkan untuk membicarakan kode etik tersebut. (ribas)

 

Exit mobile version