YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–
Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah dibuka secara resmi oleh ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, pada Kamis, 9 Ramadhan 1439 H/24 Mei 2018 M. Kegiatan yang diikuti oleh perwakilan dari seluruh PWM se-Indonesia ini mengusung tema ‘Keadaban Digital: Dakwah Pencerahan Zaman Milenial’. Haedar berharap warga Muhammadiyah mampu untuk melampaui dunia digital dan memanfaatkan teknologi informasi dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan dakwah dan tajdid sesuai prinsip dakwah lil muwajahah. Memberi alternatif dakwah pencerahan bagi kekeringan spiritual umat.
“Era ini sangat dominan. Hidup kita sekarang di zaman revolusi industri keempat. Kita sungguh dihadapkan pada kenyataan ada 5 milyar dari 7 milyar penduduk dunia menggunakan ponsel selular,” kata Haedar dalam pengajian yang sudah berlangsung sejak 1986 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
Para penguasa dunia hari ini, kata Haedar, merupakan mereka yang menguasai dunia digital. Mereka merupakan orang-orang terkaya di dunia yang umumnya masih berusia muda. “Uang sebagai penanda kekuasaan telah bergeser,” katanya. Ke depan, kita harus siap dan menanggapi fenomena dan perubahan ini.
Di era ini banyak hal yang berubah, termasuk dalam hal relasi orang tua dan anak. “Orang tua tidak lagi dominan dalam pola asuh. Perlu perubahan pola asuh secara substantif,” ungkapnya. Relasi sosial tidak lagi bersifat langsung dan impersonal.
Dalam relasi digital ini, empati dan faktor rasa mulai tergerus. “Lewat media, dia menggunakan hukum yang netral dan objektif. Makanya di medsos sekarang banyak ujaran-ujaran yang vulgar dan kasar,” katanya. Proses penyebarannya juga begitu cepat. Ayat tentang tabayyun menjadi penting dihadirkan.
Kehadiran dunia digital, kata Haedar mengutip Fukuyama, telah membawa dunia pada era disrupsi. “Mengakibatkan kejahatan digital, porak-poranda institusi keluarga, pudarnya ikatan pernikahan, adanya hubungan sosial yang rusak. Inilah yang disebut dengan era disrupsi,” katanya.
Haedar mengingatkan bahwa bukan media digital yang salah, tetapi manusia yang tidak bisa mengelola dan memanfaatkan teknologi informasi itulah sumber masalah yang sebenarnya. Aspek penyiapan mental manusia inilah yang perlu dibenahi. Sehingga tidak tergantung dan terserap oleh teknologi. Tidak mencerabut budaya dan nilai-nilai keadaban.
Akibat media digital juga di antaranya adalah luruhnya orientasi nilai, menghilangkan nalar rasa dan nalar spiritual. Alam pikiran tereduksi. Hubungan relasi paguyuban berganti menjadi hubungan yang lebih individualis.
Dunia digital merupakan dunia maya. Realitas yang ada merupakan realitas bentukan, tetapi nyata. Orang menjadi terpolarisasi dalam afilisasi kelompok-kelompok. “Inilah dunia simulacra,” ujarnya.
Dalam konteks ini, imbuh Haedar, perlu ada keadaban. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak. QS al-Hujurat ayat 1-12 menguraikan tentang akhlak secara rinci. Ujaran-ujaran teriakan dan kasar sekarang bisa lewat media sosial. Tidak lagi berpijak ada prinsip moral akhlak.
Musuh tabayyun itu hoax. Orang bahkan mengirimkan hoax dan menikmatinya. “Ada psikologi orang bermedsos itu ingin menjadi yang pertama mengetahui dan menyebarluaskan,” ungkapnya. Media sosial juga terkait dengan aspek psikologi, terkait kenyamanan dan kecenderungan pribadi. (ribas)