YOGYAKARTA, Suara Muhammdiyah-Setelah lama ditunggu, sore ini, 8 Ramadhan 1439 H, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meluncurkan buku Himpunan Putusan tarjih jilid III. Peluncuran buku Himpunan Putusan tarjih jilid III ini, dilakukan dalam acara pembukaan Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam kata pengantar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar menyatakan kalau Himpunan Putusan Tarjih jilid III ini memuat putusan-putusan Tarjih dari empat Musyawarah Nasional (Munas) yang materinya mencakup pertama, keputusan Munas Tarjih Ke-26 di Padang (1424/2003) yang meliputi etika politik, etika bisnis, pengembangan putusan Tarjih, pornografi dan pornoaksi, serta masalah hisab-rukyat.
Kedua, putusan Munas Tarjih Ke-27 di Malang (1431/2010) yang meliputi fikih tata kelola, tuntunan seni budaya, beberapa masalah ibadat dan muamalat, dan pedoman hisab Muhammadiyah.
Ketiga, keputusan Munas Tarjih Ke-28 di Palembang (1435/2014) yang meliputi fikih air dalam perspektif Muhammadiyah, tuntunan menuju keluarga sakinah, dan tuntunan manasik haji.
Keempat, keputusan Munas Tarjih Ke-29 di Jogjakarta (1436/2015) yang meliputi tuntunan salat lima waktu dan fikih kebencanaan.
Terkait dengan putusan-putusan Tarjih dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid III ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, khususnya terkait masalah ibadah, yaitu adanya beberapa perubahan terhadap putusan Tarjih dalam HPT lama (yang di sini disebut jilid I). Perubahan tidak selalu berarti menghapus lalu dibuat yang baru, tetapi juga berarti menambah atau mengubah.
Beberapa perubahan dapat dicatat sebagai berikut:
Masalah niat. Dalam putusan Tarjih pada jilid I, niat salat dilakukan bersamaan dengan mengucapkan takbir “Allāhu akbar” sambil mengangkat tangan pada takbiratul ihram. Ini merupakan pandangan yang dianut dalam mazhab Syafii yang berpendapat bahwa niat adalah rukun. Oleh karena itu ia berada dalam dan merupakan bagian dari salat. Sementara jumhur ulama berpendapat niat dapat saja mendahului salat karena niat adalah syarat, bukan rukun salat.
Putusan Tarjih dalam jilid III ini (Munas Ke-29) menguatkan pendapat jumhur bahwa niat dapat saja dilakukan sebelum memulai salat karena ibadah harus dilakukan dengan sadar dan dikehendaki dan untuk itu harus diniatkan sebelum mengerjakannya.
Masalah doa pendek dalam tasyahud awal. Dalam putusan Tarjih pada jilid I, tidak disebutkan doa pendek pilihan yang dapat dibaca sesudah membaca salawat pada tasyahud awal. Dalam jilid III ini diberikan beberapa contoh doa pendek pilihan yang dapat dibaca pada saat duduk tasyahud awal.
Masalah ucapan salam penutup salat. Dalam putusan Tarjih pada jilid I, salam penutup salat adalah as-salāmu ‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh (lengkap hingga wa barakātuh). Dalam putusan Munas Tarjih Ke-27 dan 29 dinyatakan adanya pluralitas bacaan salam penutup salat di mana pada dua putusan ini salam penutup salat itu bisa juga dicukupkan hingga wa raḥmatullāh, di samping bisa dibaca lengkap hingga wa barakātuh.
Masalah bacaan pada salat janazah. Dalam putusan Tarjih pada jilid I, pada salat janazah bacaan al-Fatihah dan salawat kepada Nabi saw dibaca sesudah takbir pertama. Dalam putusan Munas Tarjih Ke-26 pada jilid III ini diputuskan bahwa selain dari cara tersebut di atas, dapat juga dilakukan bahwa sesudah takbir pertama cukup dibaca al-Fatihah, sementara salawat dapat dibaca sesudah takbir kedua. Jadi di sini diterapkan prinsip tanawuk (pluralitas) dalam ibadah. Masih terdapat beberapa kasus lain di mana prinsip tanawuk (pluralitas) ibadah diterapkan.
Masalah bersuci ketika tawaf. Dalam putusan Tarjih pada jilid I, tidak disyaratkan bersuci untuk melakukan tawaf asalkan tidak dalam keadaan junub. Pada putusan Munas Tarjih Ke-28 untuk tawaf disyaratkan bersuci dari hadas kecil. Namun apabila ketika sedang melaksanakannya wuduknya batal (terjadi hadas kecil), tawaf dapat secara sah dilanjutkan hingga selesai tanpa mengulangi wuduk apabila mengalami kesulitan untuk mengulangi wuduk berdasarkan asas pemberian kemudahan sesuai dengan firman Allah, Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran [QS al-Baqarah (2): 185]. (red)