JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik serta PP Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi tentang revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme). Acara itu diselenggarakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Jalan Menteng Raya 62, pada Rabu, 23 Mei 2018.
Direktur Pusdikham Uhamka, Mantan Komisioner Komnas HAM RI 2012-2017 Maneger Nasution, dalam paparannya menyatakan beberapa hal yang harus dibenahi dalam pemberantasan terorisme. Selama ini, pemberantasan terorisme kerap melakukan perampasan HAM secara sewenang-wenang
“Siyono angka ke-120 dalam catatan Komnas HAM yang mati tanpa proses hukum,” ungkapnya. Hal itu merupakan perampasan hak asasi orang secara sewenang-wenang. Selain itu, dalam penindakan selama ini juga kerap menimbulkan penganiayaan dan penyiksaan. Komnas HAM tidak punya hak untuk masuk selain penyelidikan dan memberikan rekomendasi. “Siyono menjadi titik pandora untuk melihat narasi yang sering berkembang,” ungkapnya.
Hal lainnya yang menjadi catatan Manager Nasution, adalah tindakan aparat yang menciptakan rasa takut, pelarangan penggunaan penasehat hukum, penghentian dan pelarangan beribadah, pelarangan komunikasi dengan keluarga dan penasehat hukum.
Menurutnya, akar masalah terorisme tidak tunggal. Ada banyak faktor. “(1) Faktor separatis, seperti di daerah konflik memungkinkan. (2) Faktor kemiskinan. Kasus Surabaya dan dr Azhari merupakan pengecualian. Banyak yang berangkat ke Syiria karena dijanjikan materi. (3) Faktor kekecewaan pada pimpinan yang tidak demokratis. (4) Faktor tirani minoritas terhadap mayoritas. Bisa dilihat pada skala lokal. (5) Faktor ketidakadilan. (6) Faktor radikalisasi agama,” ulasnya.
Selain itu, kata Maneger, penanganan terorisme selama ini tidak terawasi dengan benar. “Perlu ada lembaga independen yang mengawasi dari hulu hingga hilir yang keanggotaan dari berbagai kalangan,” katanya. Hal lainnya, perlu dibenahi SOP kerja kepolisian berbasis HAM hingga pendanaan lembaga yang menangani terorisme tidak boleh selain dari APBN, apalagi dari korporasi.
Ketua LHKP Yono Reksopodjo, dalam paparannya menyebut bahwa terorisme merupakan sebuah produk, yang penting untuk melihat prosesnya sebelum menjadi suatu produk. “Jika mendorong UU, maka perlu untuk membuat UU mulai dari pencegahan hingga penindakan. Terorisme merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pelaku yang ingin menyampaikan apa yang ada di kepalanya. UU yang dibuat harus bisa untuk menyalurkan rasa marah (yang ada di kepala) itu,” katanya
Semisal dalam UU Narkotika, kata Yono, pengguna dan pengedar berbeda. Jika pengedar dihilangkan, pengguna juga akan hilang. Harusnya perspektif demikian juga dipakai dalam melihat persoalan terorisme.
Senada, Pengamat Kepolisian UI Prof Bambang W Umar, menyebut bahwa latar belakang terorisme lebih banyak karena faktor politik dan ekonomi. Politik ekonomi menjadi faktor utama dan perbaikannya perlu komprehensif.
“Dalam konteks politik, Indonesia sebagai negara hukum, dalam pembuatan UU, asas hukum menjadi landasan. Tapi dalam rumusan itu justru, semisal penahanan yang sampai ratusan hari itu kan tidak menunjukkan adanya asas hukum. Demikian dalam aspek penahanan, penyidikan,” katanya.
Terorisme bukan mono causa, tapi banyak sebab. Kesenjangan ini kuat sekali di Indonesia “Penanganannya justru harusnya dengan penanganan hukum yang adil. Bukan dengan cara destruktif seperti sekarang ini. Bukan nongol, babat-nongol, babat,” ungkapnya. RUU Terorisme perlu ditinjau secara mendalam sehingga bisa menjadi UU yang berkeadilan
Sebagai contoh perlakuan adil adalah dalam perlakuan negara terhadap semua kelompok dan golongan. “Penganut Islam moderat dan tidak moderat jangan dibeda-bedakan, apalagi stigma radikal dan tidak radikal,” ujarnya.
Lebih penting, kata Widodo, negara perlu berinvestasi dalam upaya membangun karakter bangsa yang tidak mudah terseret pada terorisme, bukan sekadar memfokuskan pada penanganan setelah kejadian. “Negara maju dengan kerusakan moral juga butuh biaya besar untuk memperbaikinya. Kemajuan material dengan gedung-gedung dan pembangunan fisik harus berbanding dengan biaya pembangunan jiwa dan moral,” katanya.
Adapun Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menyarankan pemerintah perlu membuka daftar nama WNI yang pulang dari Irak, Afganistan, dan Suriah. Pemerintah sering mengatakan ada sekitar 1.000 WNI atau 10.0000 yang pulang dari Suriah dan Irak serta meminta agar ormas Islam untuk hati-hati dan terlibat dalam program deradikalisasi.
“Itu enggak pernah dikasih (daftar namanya). Terus kami harus melakukan apa dong? Ngubek-ngubek kemana? Kami enggak punya instrumen intelijen,” ujarnya. Jika datanya dibuka, tentu organisasi semisal Muhammadiyah bisa membantu dalam proses pengawasan dan pembinaan paham moderasi.
Selain itu, perlu dikritisi tentang narasi monolog dari polisi dalam setiap kasus terorisme. “Njarasi monolog menciptakan simulacra. Jika berbeda akan dianggap sebagai tidak pro terorisme. Nalar sehat kita dipertaruhkan,” ujarnya.
Dahnil juga mengkritisi pasal 13A yang termasuk krusial. Bunyi pasal tersebut, “…setiap orang yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.” Menurutnya, pemberlakukan pasal 13 A bisa menyasar siapa saja, termasuk ormas Islam sebesar Muhamadiyah sekalipun bisa dipidana. Ketika suatu ormas disusupi, maka ormas tersebut bisa dipidana.
Sementara itu, Pegiat HAM Haris Azhar menyatakan bahwa HAM itu tidak butuh pengakuan-pengakuan. Kehadiran negara adalah untuk melindungi HAM. “Konsep negara muncul 4-5 abad terakhir. Manusia muncul jauh sebelumnya. Hak asasi melekat pada manusia. Inheren pada diri. Tidak perlu bahasa. Muncul negara sebagai konsep untuk supaya co-eksistensi antar sesama manusia, suapaya tidak saling mengenasikan,” katanya.
Hal itu perlu dijadikan filosofi bagi negara dalam membuat UU apapun. Negara sebagai seni mengatur warganya sehingga tidak saling meniadakan. “Negara itu bukan pemilik kuasa atas semua. Tapi mengelola supaya tidak saling meniadakan hak-hak asasi seseorang. Jangan mensimplikasi masalah,” katanya. Oleh karena itu, dalam pembuatan UU Antiterorisme yang diperlukan adalah paradigma bahwa UU itu untuk melindungi warga negara dari terorisme, bukan untuk membunuh terorisme secara semena-mena. (ribas)
Baca juga:
Beri Masukan ke DPR, Haedar Nashir: RUU Antiterorisme Harus Komprehensif
Muhammadiyah Serahkan Kajian Akademik untuk Masukan RUU Antiterorisme
Haedar Nashir: Terorisme adalah Tindakan Biadab, Zalim dan Fasad Fil Ardh