YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guru besar IAIN Salatiga Zakiyuddin Baidhawi menyatakan bahwa era digital telah mengubah banyak hal dalam fenomena sosial keagamaan. Otoritas keagamaan bergeser dari sebelumnya bertumpu pada sosok kiai konvensional, kini berubah ke otoritas digital.
“Otoritas digital menggantikan otoritas konvensional. Internet menyediakan platform tanpa batas bagi ekspresi dan sirkulasi kepercayaan,” tuturnya dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Jumat, 25 Mei 2018.
Kondisi ini sudah diprediksi oleh Kuntowijoyo dengan buku esainya, Muslim Tanpa Masjid. Generasi sekarang tidak lagi belajar dalam relasi langsung, tetapi dalam relasi tidak langsung. “Mereka tidak perlu datang ke kiai, ke masjid, mereka bisa belajar agama di mana-mana,” urainya.
Zakiyuddin mengingatkan bahwa di era media baru ini, sumber otoritas keagamaan dan penafsir keagamaan bisa jadi adalah mereka yang mengelola web. “Sumber otoritas baru adalah admin dan penulis konten bisa menjadi penafsir keagamaan baru. Webmaster bisa mempengaruhi orang di luar struktur tradisional,” kata pengurus Lazismu PP Muhammadiyah ini. Di era digital berimplikasi pada matinya kepakaran. “Tidak perlu cendekiawan dan inteligensia,” ujarnya. Hari ini semua orang bisa menjadi pakar.
Di era ini dampak negatifnya adalah terjadi propaganda ekstremisme di dunia internet, merebaknya birahi/seks maya, kejahatan maya, black hacker vs white hacker, dan semisalnya. Sementara itu, dampak positifnya, internet bisa menghadirkan solidaritas baru. Filantropi keagamaan juga bisa memanfaatkan internet.
Jika mampu dimanfaatkan, media digital bisa menjadi wadah dan ruang sosial baru. Gerakan sosial keagamaan baru, kata Zakiyuddin, bisa muncul tanpa wadah nyata, mereka hanya memiliki latar kesamaan ideologi dan kecenderungan. Internet bisa memfasilitasi dan menghimpun massa. Pada akhirnya, mereka bisa menggerakkan perubahan. (ribas)