Takwa Sesaat

Takwa Sesaat

Foto: Lazismu Bandung

Oleh : Ana Dwi Itsna Pebriana

Marhaban yaa Ramadhan.. Marhaban yaa Ramadhan..

Disadari atau tidak sontak kita akan mendendangkan sebuah lagu ketika membaca untaian kalimat itu. Ya, itu merupakan potongan lagu Opick “Ramadhan Tiba” yang akhir-akhir ini pasti sering kita dengar. Bahkan di pusat perbelanjaan sekalipun.

Mengawali bulan Ramadhan, banyak broadcast-broadcast bermunculan. Isinya tak jauh dari kalimat Air tak selamanya jernih, begitupun dengan lisanku… dan seterusnya, yang berujung pada ucapan permohonan maaf dan selamat menunaikan ibadah di bulan suci Ramadhan bagi yang menjalankan.

Menurut Ahmad Nizaruddin (2007 : 3) banyak orang berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan ketika Ramadhan menjelang. Berbagai macam kebutuhan dan keinginan pun menjadi sasaran untuk diperjualbelikan. Tak lupa juga busana muslim termasuk mukena, sarung, koko dan kopiah menjadi rebutan. Tujuannya tak lain agar ibadah yang dijalankan lebih khusyuk. Padahal hal tersebut tidak selamanya menjamin kekhusyukan seseorang ketika beribadah.

Banyak hal tak terduga yang terjadi secara tiba-tiba di bulan Ramadhan. Pengeluaran ibu-ibu membengkak seketika, shalat lebih rajin dari biasanya, cara berpakaian yang berbeda dari biasanya dan maraknya lagu religi yang dibuat kaula muda. Tak dapat dipungkiri pula banyak wanita yang menutup aurat dengan memilih mengenakan hijab di bulan ini.

Umat muslim akan bersuka cita kala menyambut bulan suci Ramadhan. Menyiapkan berbagai macam panganan untuk disediakan dan dinikmati bersama keluarga nanti. Hal ini tentu wajar, karena Ramadhan hanya datang sekali dalam setahun. Maka tak heran kehadirannya pun akan disambut dengan penuh kegembiraan dan berbagai macam persiapan.

Ramadhan adalah bulan spesial yang memiliki banyak keutamaan dan tidak dimiliki pada bulan-bulan lainnya. Di bulan ini, seseorang dilatih untuk menahan perutnya dari rasa lapar dan dahaga. Menahan lisannya dari berbagai ucapan buruk yang sering dilontarkannya dahulu kala. Hingga Allah pun membuka lebar-lebar pintu ampunan-Nya.

Ungkapan Marhaban yaa Ramadhan sebagaimana yang sering digaungkan, memiliki makna filosofis yang sering terabaikan. Ungkapan tersebut bermakna kesiapan mental seorang hamba dalam menyambut bulan yang begitu diagungkan ini. Kesiapan mental yang tidak hanya mencakup keberanian dalam menahan lapar dan dahaga kala terik mendera, tapi juga seberapa mampu seseorang dalam menjaga lisan dan perbuatannya dari perilaku tercela.

Namun hal tersebut nyatanya sulit dilakukan. Masih banyak kaum muslim yang hanya berpuasa secara fisik saja. Tidak makan dan minum seharian namun lisan dan amarah tidak dikendalikan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits : “Betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut kecuali lapar dan dahaga.” (HR. At-Thabrani)

Fenomena ini hampir selalu terjadi dan menjadi pengingat khusus bagi orang yang berpuasa. Karena pada dasarnya puasa bukan untuk adu kuat fisik semata tapi justru harus dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak dengan Allah maupun sesama manusia.

Di bulan ini juga banyak yang beramai-ramai menuju masjid untuk tarawih bersama. Bershalawat bersama hingga di waktu sahur pun ramai-ramai berkeliling untuk saling membangunkan tetangga. Namun hal ini tak berlangsung lama, indahnya Ramadhan nyatanya hanya isapan jempol belaka.

Pada akhirnya Ramadhan yang selalu dinanti justru malah dikhianati. Masjid-masjid yang pada sepuluh hari pertama selalu ramai, hari-hari selanjutnya justru kehilangan jamaah setianya. Hal tersebut bukan tanpa alasan, justru beribu alasan sering dilontarkan. Buka Bersama bareng kawan lama atau teman kantor menjadi pemicunya.

Momen buka bersama memang langka dan sangat berkesan. Tapi bila hal itu membuat ibadah di bulan Ramadhan terganggu maka kebaikan yang selama ini diharapkan akan pupus begitu saja. Shalat maghrib dilalaikan, tarawih jama’ah terabaikan, sahur kesiangan. Tentu bukan ini yang menjadi bagian dari planning seseorang ketika menjelang Ramadhan.

Ramadhan adalah momentum seorang hamba untuk memaksimalkan dan memperbaiki ibadahnya pada Sang Pencipta. Memperbaiki hubungannya dengan sesama dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Allah pun memerintahkan berpuasa dengan tujuan takwa, takut pada Allah dengan senantiasa mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ramadhan tak lain hadir sebagai upaya untuk memperkokoh benteng iman dan takwa pada Allah melalui banyak kebaikan yang bisa dilakukan seorang hamba. Tadarus Al-Qur’an selepas menunaikan shalat lima waktu, berdzikir menyebut nama-Nya dengan khusyuk hingga bersedekah pada mereka yang tak mampu.

Namun pada kenyataannya, banyak dari kita yang masih menganggap bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan hanya ritual semata. Hanya untuk menggugurkan kewajiban berpuasa belaka. Selepas Ramadhan pergi, kehidupan normal kembali. Masjid-masjid kembali sepi, tempat hiburan semakin ramai dikunjungi.

Ketakwaan pada Allah jangan hanya terjadi di bulan Ramadhan saja. Ia harus senantiasa ada dan dilakukan setiap waktu. Ramadhan memang agung namun ia hanya menjadi media takwa sesaat ketika orang-orang hanya mengistimewakannya tanpa mengambil pelajaran darinya.

Mari jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk berbenah diri, ajang menyiapkan bekal kebaikan untuk bulan-bulan yang akan datang. Hingga rahmat Allah yang selalu diharapkan pun dapat memberi warna dalam kehidupan.

Selamat berpuasa.

Wallahu ‘alam bishsawab…


*Penulis adalah Kader IMM Komisariat Ashabul Yamin UIN Sunan Gunung Djati, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Exit mobile version