Khutbah Idul Fitri 1439: Puasa Membentuk Keadaban Ihsan

Khutbah Idul Fitri 1439: Puasa Membentuk Keadaban Ihsan


Karena ada permasalahan penyesuain huruf Arab (missing font) maka terjadi beberapa kesalahan huruf Arab yang cukup mengganggu di teks khutbah ini, untuk mendapatkan teks khutbah secara lengkap dengan teks Arab yang benar silahkan download di bawah ini

>>Download PDF Khutbah Idul Fitri 1439 H

Oleh Dr H Haedar Nashir MSi

(teks Arab)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan Yang Maha Suci yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya yang tak bertepi. Shalawat dan salam untuk Nabi akhir zaman, Rasul yang hadir membawa risalah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Demikian pula keselamatan bagi para sahabat, keluarga, dan umat Muhammad yang menjadi pengikut dan penerus risalah dakwah yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan.

Pagi ini segenap kaum muslimin di persada tanah air dan sejumlah negeri menunaikan shalat dan merayakan Idul Fithri pada 1 Syawwal 1439 Hijriyah dengan khusyuk dan penuh kepasrahan. Gema takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih berkumandang di segenap cakrawala dengan segala kerendahan hati dan penuh pengharapan dari setiap insan beriman. Semuanya berpusat dan bermuara sebagai wujud ibadah untuk mendekatkan diri kepada Dzat Ilahi guna meraih ridha dan anugerah Allah Yang Maha Rahman dan Rahim nan tak terbilang.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Hari ini kita segenap muslim yang berpuasa merayakan berbuka puasa sebagaimana makna “Idul Fithri” sebagai ”Hari Raya Berbuka Puasa”. Setelah berjihad melawan hawa nafsu selama sebulan penuh, tibalah saatnya umat muslim untuk ”ifthar” yakni ”berbuka puasa”. Sejak 1 Syawwal ini kita dibolehkan kembali melakukan hal-hal yang dilarang selama berpuasa, yakni makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis. Merayakan berbuka puasa tentu tidak sekadar pekerjaan lahir, tetapi sekaligus iradah batin. Ketika berbuka-puasa, seorang muslim tidak sekadar bergembira secara lahiriah, tetapi lebih mendalam lagi berbahagia secara batiniah karena akan ”bertemu” (memperoleh karunia) Tuhan sebagai pahala istimewa dari puasanya sebagaimana sabda Nabi, ”li shâim farhatâni, fahhatun ’inda ifthârihi wa farhatun ‘inda liqâ‘i rabbihi”. Itulah kebahagiaan ganda umat yang berpuasa.

Kendati dibolehkan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis  namun segala sesuatunya harus tetap teratur dan tidak berlebihan sebagaimana Allah berfirman:

(teks Arab)

Artinya:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-‘Araf: 31).

Idul fitri juga sering dimaknai ”kembali pada fithrah”. Hal itu secara esensi tidaklah keliru, karena setelah berpuasa mereka dibebaskan dari dosa serta kembali ke jiwa yang bersih. Puasa yang dilaksanakan karena iman dan pengharapan akan pahala Allah akan membuahkan terbebas dari dosa sebagaimana hadist Nabi:

(teks Arab)

Artinya:

”Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala Allah niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu” (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari Abu Hurairah).

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Kita segenap kaum muslim baru saja mengakhiri puasa Ramadhan dengan segala rangkaian ibadah lainnya untuk membentuk diri menjadi insan bertaqwa. Puasa Ramadhan merupakan gemblengan ruhani yang paling revolusioner, yakni melatih diri menahan nafsu duniawi. Hasilnya ialah kualitas diri sebagai insan muttaqin, yakni orang-orang yang bertaqwa sebagaimana tujuan berpuasa yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran:

(teks Arab)

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”  (Q.S. Al-Baqarah/2: 183).

Taqwa ialah imtitsâlu al-awâmir wa ijtinâbu nawâhi lî al-tiqâihi ’an al-nâr, yaitu menjalankan segala perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, dan (hasilnya) dijauhkan dari siksa neraka. Seluruh sifat dan hal yang baik mesti dimiliki dan dilakukan oleh mereka yang taqwa sebagai buah berpuasa seperti jujur, amanah, adil, baik sengan tetangga, serta segala kebaikan yang membawa kemaslahatan hidup. Dalam bermuamalah dilakukan secara halal dan baik, termasuk dalam berniaga dan berpolitik. Orang bertaqwa bahkan harus berbuat baik dengan sesama meskipun berbeda agama, suku, ras, dan golongan sebagai ihsan dalam bermuamalah-dunyawiyah.

Allah sungguh memberikan penghormatan tinggi kepada orang bertaqwa,   ”inna akramakum ’indallahi atqakum”,  orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang bertaqwa di antara kamu” (QS. Al-Hujarat: 13). Karenanya jadikan taqwa sebagai puncak tertinggi keutamaan pribadi setiap muslim sebagai buah dari berpuasa dan segenap ibadah di bulan Ramadhan. Taqwa yang sebenar-benarnya taqwa, yaitu bertaqwa dalam jiwa, pikiran, dan tindakan. Bukan bertaqwa dalam batas kata-kata dan retorika.

Insan bertaqwa selalu bertaqarrub kepada Allah dan menjalani kehidupan dengan benar, baik, dan patut sesuai tuntunan ajaran Islam. Ketaatan dalam beribadah harus membuahkan ihsan, termasuk dalam menahan marah dan berujar dengan kata-kata yang baik. Insan muttaqin itu senantiasa beriman, berilmu, dan beramal shalih dengan sepenuh hati untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Orang bertaqwa itu hidupnya bersih lahir dan batin,  disiplin, tanggungjawab, taat aturan, suka bekerja keras, berani dalam kebenaran, rasa malu ketika salah, serta memiliki kehormatan dan martabat diri yang tinggi selaku manusia yang mulia dan utama. Orang bertaqwa itu pandai bersyukur atas segala nikmat Allah sekaligus sabar manakala memperoleh ujian, musibah, dan hal yang tidak menyenangkan dalam hidup.

Manakala puasa tidak melahirkan ketaqwaan, maka ibadah sebulan penuh itu tentu berhenti di batas formalitas belaka. Puasa yang sekadar lahiriah dan tidak menimbulkan perubahan perilaku ke arah perangai taqwa, maka puasanya seperti yang disebutkan Nabi dalam salah satu hadisnya:

(teks Arab)

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga”.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Puasa di bulan Ramadhan jika diproyeksikan untuk membentuk ketaqwaan maka pasca Ramadhan setiap muslim yang berpuasa harus menunjukkan sikap dan perilaku ihsan. Ihsan ialah kebajikan yang utama dan melampaui, sehingga derajatnya sangatlah tinggi. Dalam hadist Nabi disabdakan, ihsan ialah “Engkau menyembah Allah seolah engkau melihat Dia, kalaupun engkau tak mampu melihat Dia, sesungguhnya Allah melihatmu” (HR Bukhari-Muslim).

Hadist tersebut mengandung makna hakikat dan makrifat dalam habluminallah (hubungan dengan Allah), yang buahnya ialah hanluminannas atau hubungan antar insan yang serbaluhur.  Contoh ihsan ialah menahan marah ketika menghadapi hal yang tak menyenangkan, memaafkan orang yang berbuat salah kepada kita, menyambung tali silaturahim terhadap orang yang memutuskannya, berbuat lemah lembut terhadap mereka yang kasar, serta segala sikap dan tindakan yang luhur di atas rata-rata.

Aneka kebajikan buah puasa Ramadhan itu antara lain kemuliaan perilaku seperti lapang hati, sabar, toleran, penyantun, dan segala bentuk ihsan. Contohnya, manakala orang berbuat buruk, balaslah dengan kebaikan. Memang terasa berat berbuat kebaikan seperti itu, tetapi itulah perangai yang utama jika setiap muslim ingin sukses dari puasanya. Keutamaan itu melampaui raga fisik manusia, dia menembus ruhani terdalam berupa perilaku ma’rifat.

Kebajikan utama hasil puasa dimulai dari kemampuan diri mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana dalam sebuah hadist Nabi bersabda, yang artinya “Puasa itu perisai dari perbuatan buruk dan bodoh. Manakala ada orang yang mengajak bertengkar atau berseteru, katakanlah inni shaaimun, aku sedang berpuasa”. Maksudnya ketika orang lain berbuat buruk kepada diri kita, jangan diladeni, sebaliknya sikapi dengan sikap baik.

Jika setiap muslim mampu menahan diri dari nafsu makan, minum, dan pemenuhan biologis sebagai representasi sangkar-besi dunia maka dia akan menjadi insan yang ihsan, yakni mampu berbuat kebajikan utama karena dirinya terkendali dan memahami mana yang luhur dalam kehidupannya. Fondasi ihsan ialah keyakinan bahwa Tuhan menyaksikan dan menyertai diri setiap muslim yang berbuat kebaikan, laksana ibadah yang disaksikan Allah.

Umat Islam yang sukses puasanya tentu mampu menunjukkan kebajikan kolektif sebagai buah kebajikan individual berbasis kesalehan. Di tengah kehidupan yang sarat godaan seperti kekerasan, anarkisme, terorisme, korupsi, dan demoralisasi sosial maka sungguh diperlukan contoh teladan dari umat Islam dalam menampilkan perilaku utama. Ibarat oase di gurun sahara, puasa harus menjadi kanopi suci ajaran kebaikan serba utama. Demikian pula ketika media sosial semakin liar dan membuat orang mudah menyebar dusta, hoax, kebencian, permusuhan, dan segala keburukan lainnya yang membuat orang beragama pun sering menjadi kehilangan keadaban publik.

Karenanya sebagai wujud aktualisasi puasa dalam perilaku taqwa yang berbuah ihsan atau kebajikan utama, maka umat Islam pasca Ramadhan ini penting untuk memelopori gerakan keadaban ihsan di ruang publik. Tunjukkan perilaku ihsan dalam seluruh interaksi sosial kita, termasuk dalam menggunakan media sosial, sebagai bukti kesuksesan puasa Ramadhan dan Idul Fitri dalam perangai takwa di dunia nyata.

Pesan berbuat ihsan harus hadir dalam kehidupan setiap insan beriman pasca puasa dan Idul Fitri  di negeri ini. Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan saat ini selain memerlukan nilai mulia ihsan. Perbedaan agama, suku, ras, golongan, serta kepentingan politik tidak boleh menghilangkan nilai dan sikap kasih sayang, toleransi, kebaikan, serta perbuatan adil dan ihsan dari kaum muslimin terhadap siapapun. Allah memerintahkan kaum beriman untuk berbuat adil dan ihsan sebagaimana firman-Nya:

(teks Arab)

Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS An-Nahl: 90).

Sebarkanlah nilai ihsan sebagai perekat hidup berbangsa dan bernegara sebagai cermin risalah Islam rahmatan lil-‘alamin. Maknanya agar baik umat yang awam lebih-lebih muslim yang berilmu dan menjadi penyuluh ajaran dapat mempraktikkan ihsan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebarkan pesan-pesan positif yang ma’ruf dan membawa kegembiraan agar umat dan bangsa makin optimis dan damai dalam berperikehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Ketika harus menyuarakan peringatan atas hal-hal buruk atau munkar, gelorakan dengan cara yang ma’ruf dalam bingkai adil dan ihsan. Nabi akhir zaman mengajarkan keutamaan sikap adil dan ihsan perwujudan akhlak karimah sebagaimana risalah kenabiannya, “wamaa buitstu li-utammima makarima al-akhlaq”, bahwa “Aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”!

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Pasca Ramadhan dan Idul Fitri marilah kita berlomba-lomba dalam beramal kebajikan sepanjang hayat sebagai wujud bertaqwa buah puasa. Marilah kita terus menanam benih-benih serba kebaikan dalam hidup yang tidak terlalu lama ini, sehingga ketika menghadap keharibaan Allah sudah berbekal amal shaleh dan menutup lembaran hidup ini dengan husnul khatimah. Kita tidak tahu kapan Allah mengambil ajal kita, karena hidup dan mati kita sepenuhnya di sisi Allah. Jangan menunda-nuda waktu untuk berbuat kebaikan karena kita sungguh tidak tahu ambang batas hidup ini. Karena itu jadikan sepanjang hidup ini penuh arti dengan fondasi iman, Islam, dan ihsan yang bermuara taqwa guna meraih kebahagiaan dunia akhirat dan meraih surga jannatun na’im.

Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah SWT agar  kita selalu berada di jalan-Nya dan meraih ridla serta karunia-Nya:

(teks Arab)


Karena ada permasalahan penyesuain huruf Arab (missing font) maka terjadi beberapa kesalahan huruf Arab yang cukup mengganggu di teks khutbah ini, untuk mendapatkan teks khutbah secara lengkap dengan teks Arab yang benar silahkan download di bawah ini
>>Download PDF Khutbah Idul Fitri 1439 H


*Penulis adalah ketua umum PP Muhammadiyah

**Khutbah Idul Fitri ini dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 10 tahun 2018, 16-31 Mei 2018


Baca juga:

Khutbah Idul Fitri: Puasa dan Idul Fitri Meneguhkan Spiritualitas Perilaku Utama

Khutbah Idul Fitri: Kembali Kepada Fitrah Kemuliaan Islam

Khutbah Id Yunahar Ilyas: Agar Aman dan Damai Kembali Hadir

Exit mobile version