Haedar Nashir: Jangan Ada Absolutisasi dalam Politik!

Haedar Nashir: Jangan Ada Absolutisasi dalam Politik!

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang berdimensi luas. Dalam hal pengaturan tata kelola negara, Islam tidak memberi patokan yang baku. Demikian halnya dengan dimensi politik, Islam tidak melakukan absolutisasi, tetapi Islam membingkai kehidupan dengan nilai-nilai luhur. Hal itu dikatakan dalam acara diskusi publik di Masjid Kampus UGM, yang turut dihadiri oleh rektor UGM Panut Mulyono dan ketua MPR RI Zulkifli Hasan.

Secara historis, kata Haedar, Islam dan kebangsaan sebenarnya sudah selesai. Umat Islam berkonstribusi bagi bangsa. Umat Islam bersama kekuatan lainnya mengambil peran strategis dalam perjuangan kemerdekaan, di awal kemerdekaan, hingga kini di masa mengisi kemerdekaan.

“Secara theologis, sebenarnya juga sudah selesai. Muhammadiyah sudah melahirkan dokumen negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah,” katanya. Muhammadiyah memandang bahwa negara Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama dan kini saatnya membuktikan dan mengabdikan diri pada bangsa.

Bentuk negara Pancasila, menurut Haedar, merupakan hasil ijtihad para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besarnya adalah tokoh Islam. Di sana ada perwakilan Muhammadiyah, NU, dan perwakilan lainnya. “Bentuk negara dalam Islam adalah hasil ijtihad. Tidak ada bentuk baku tentang negara Islam. Asal prinsipnya sejalan dengan nilai keadilan, musyawarah, qudwah, persatuan, rahmat, dst,” kata Haedar.

Secara ideologis, Islam juga sudah selesai.  “Umat Islam sudah sepakat,” ungkap Haedar. Terjadi negosiasi dan kompromi demi kesatuan bangsa. Pergantian 7 kata dalam Piagam Jakarta, kata Haedar, bukan suatu kekalahan bagi Islam. Justru penghapusan 7 kata itu menunjukkan pergantian dari dimensi syariat menjadi dimensi tauhid, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tauhid tentu lebih tinggi dibanding syariat.

Secara politik, Islam secara politik juga sudah selesai, tetapi dinamis. Para tokoh founding father itu sebenarnya nasionalis dan sekaligus islamis. “Islam dan nasionalis tidak bertentangan sebenarnya. Jika ada pertentangan, maka itu dalam wilayah politik. Maka dalam bidang politik, jangan ada absolutisme. Kalau absolutisasi itu urusan tauhid,” urai Haedar. Semua hanya beda perspektif dan artikulasi politik saja. Sebenarnya punya visi misi dan tujuan yang sama.

“Dalam berpolitik harus dewasa, akil baligh,” harap Haedar. Penting untuk menjadi perhatian bersama supaya pesta demokrasi jangan memecah belah. Sekali terpilih, maka kita akui sebagai hasil pemilihan yang sah. (ribas)

Exit mobile version