Fikih Informasi

Fikih Informasi

Fikih Informasi Dok Ilustrasi

Fikih Informasi

Oleh: Muhammad Azhar

Dalam tulisan singkat ini Penulis mengangkat seputar Fikih Informasi (Fiqh al-Naba’) atau Fikih Informasi, dengan mencuplik sebagian dari draft yang sudah Penulis susun bersama anggota tim lainnya. Revolusi informasi membawa banyak manfaat pada satu sisi, dan memberi pula dampak negatif pada sisi lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat orang semakin mudah untuk mendapat, mengelola, menyimpan, dan mengirim  informasi dengan berbagai bentuk dan variasinya.

Komunikasi informasi yang meningkat membawa individu kepada banyak pilihan, sehingga membuat individu lepas dari keterasingan (Cooley, 1909 via Peters & Pooley, 2013: 682-683). Menyadari kompleksitas masalah dan akan efek negatif dari perkembangan teknologi informasi, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 19 tahun 2016 sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Informasi (information) menurut  asal katanya berasal dari istilah dalam bahasa Prancis kuno “informatio”, atau dalam bahasa Latin “informare”, yang berarti pembentukan pikiran atau pengajaran. Informasi menurut kamus dapat diberi pengertian sebagai “fakta tentang sesuatu atau tentang seseorang yang diberikan atau dipelajari (https://en.oxforddictionaries.com). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi diberi pengertian sebagai:  1) penerangan; 2) pemberitahuan; kabar atau berita tentang  sesuatu; 3) keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat dalam bagian-bagian amanat itu.

Istilah informasi dapat disejajarkan dengan istilah dalam bahasa Arab “khabar” (bentuk jamaknya akhbaar) yang artinya berita. Adapun dalam Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 1, informasi diberi pengertian sebagai: “Pernyataan, keterangan, gagasan, serta tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai perkembangan teknologi informasi serta komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.”

Ada beberapa istilah informasi yang dikenal dalam Islam, yaitu Naba’, Khabar, dan I’lam. Menurut Ibnu Manzhur, naba’ sinonim dengan kata khabar. Bentuk pluralnya adalah anba’ (Ibnu Manzhur, t.t.: 4315). Kata naba’ berserta derivasinya disebut sebanyak 68 kali dalam al-Quran. Meskipun sinonim dengan khabar, kata naba’ ini seringkali digunakan untuk menunjukan suatu informasi yang penting. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa naba’ bermakna informasi yang luar biasa besar (al-ha’il), mengerikan (al-mufzhi’), dan membuat orang terpukau (al-bahir) (Ibnu Katsir, t.t.: Vol. 15: 227).

Al-Raghib al-Ashfahani mengatakan naba’ adalah informasi yang mengandung faedah besar, yang dapat menghasilkan sebuah pengetahuan pasti (al-‘ilm) atau hipotesa kuat (ghalabah al-zhann). Karenaya, suatu informasi tidak dapat dikatakan naba’ ketika informasi tersebut  tidak mengandung tiga hal tersebut (faedah besar, pengetahuan pasti, atau hipotesa kuat). Kata Nabi juga berasal dari isim fa’il naba’ (nabi’ dan nabiy).

Pada kehidupan anak cucu Nabi Adam AS, tentu lebih banyak lagi informasi yang berkembang, dan jauh lebih kompleks dibanding di masa awal kehidupan umat manusia era Nabi Adam AS ketika itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yang benar, tak sedikit pula yang beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).

Nabi Adam AS sendiri pernah terpapar informasi hoax berisi godaan dari Iblis agar Adam AS dan isterinya, Hawa, berkenan memakan buah khuldi. Akibat paparan informasi yang hoax tersebut menjadi penyebab bagi Adam AS dan Hawa untuk pindah dari kehidupan di surga, yang memiliki berbagai fasilitas penuh kenikmatan, menuju kehidupan dunia yang serba kekurangan.

Pada era yang lebih belakangan, yakni masa Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah terpapar informasi hoax, yakni berkembangnya isu tentang dugaan perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dengan seorang sahabat, Safwan bin Mu’attal. Keduanya tertinggal dari rombongan, sebab Aisyah harus mencari kalungnya yang hilang di tengah padang pasir. Kondisi tersebut membuat Aisyah dan Safwan terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax tersebut dikoreksi langsung oleh al-Quran (QS. Al-Nur: 11-22).

Mengingat semakin derasnya arus informasi dalam kehidupan umat manusia saat ini, maka ada beberapa tips yang dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi benar tidaknya sebuah informasi. Ada beberapa aspek etika yang perlu diperhatikan dalam penyampaian dan penerimaan informasi:

  1. Idealnya, seorang produsen informasi harus sifat adil. Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani, dan diperjelas lagi oleh al-Qari, ada 5 hal yang dapat mengurangi sifat adil: a) Suka berdusta (al-kadzib); b) Tertuduh telah berdusta (at-tuhmah bil-kadzib); c) Fasik; d) Al-Jahalah, yang bersangkutan kurang dikenal sebagai perawi hadis; e) Pelaku bid’ah. Adil itu berpihak pada kebenaran dan tidak partisan, serta menjaga muru’ah. Adil di sini menyangkut kualitas pribadi.

Selain adil, juga dikenal istilah dhabith. Jika adil berhubungan dengan kualitas moral dari penyampai informasi, maka sifat dhabith ini lebih terkait dengan kualitas intelektual. Ada yang berpendapat bahwa seorang yang dhabith adalah yang memiliki daya hafal yang sempurna dan memiliki kemampuan menyampaikan hafalannya kepada orang lain. Ada istilah tamm al-dhabth dan ada khafif al-dhabth (kualitas setingkat hadis hasan). Ada juga istilah dhabth al-shadr dan dhabth al-kitab.

Ada lima hal yang mengurangi ke-dhabith-an seseorang: a) Lebih banyak salahnya dalam periwayatan; b) Lebih menonjol lupanya ; c) Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan atau al-wahm; d) Riwayatnya bertentangan dengan periwayatan orang lain yang tsiqah (mukhalafah ‘an al-tsiqah) ; e) Buruk hafalanya (su’u al-hifz). Secara umum, kualitas perawi atau penyampai informasi harus terpercaya (tsiqah). Tsiqah ini merupakan gabungan antara sifat ‘adil dan dhabith.

  1. Melakukan tabayyun langsung (direct clarification) kepada seseorang yang dikaitkan dengan isu negatif yang berkembang terkait diri orang tersebut. Al-Quran telah memperingatkan pentingnya tabayyun ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat: 6).

  1. Pada umumnya, informasi yang benar tidak menggunakan kata-kata yang bombastis, sarkastis, dan sejenisnya.
  2. Sejauh analisis subjektif tentang seorang figur atau institusi tertentu yang bersifat negative campaign, tentu masuk dalam aspek criticism yang dapat diterima. Hanya informasi yang berbau fitnah (black campaign) yang tidak dibenarkan dan bisa dijerat UU ITE maupun pidana lainnya.
  3. Idealnya, penerima informasi tidak langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yang diperoleh, tetapi harus membandingkannya terlebih dahulu dengan sumber informasi yang mainstream lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar suatu berita, tidak cukup dari satu portal berita atau satu TV saja. Namun, jauh lebih baik membandingkan dengan portal atau TV lainnya.
  4. Seringkali, seseorang menerima kiriman sebuah gambar, yang boleh jadi itu merupakan hasil editan, atau gambar yang berbeda waktu (jam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun) dan tempat kejadiannya. Untuk kasus seperti ini, link Google Image dapat membantu untuk klarifikasi. Demikian pula tentang video yang diperoleh, boleh jadi sudah mengalami editan.
  5. Jika seseorang menolak sebuah infromasi atau gagasan dari seseorang, fokuslah pada argumen yang disampaikan, hindari sifat apologetik dan personal judgement.
  6. Secara spesifik, terkait isu keagamaan, harus dicermati, apakah sang informan sedang memposisikan dirinya sebagai insider (lebih kental keterlibatan emosionalitas keberagamaan yang subjektif), atau sebagai outsider (lebih memposisikan dirinya sebagai pengkaji, atau seseorang yang sedang melakukan analisis sebagai “pengamat” secara objektif).
  7. Setiap orang, wajar saja memposisikan diri sebagai lover-follower atau pun sebagai hater terhadap suatu isu atau figur tertentu. Jika terjadi pro-kontra tentang suatu isu atau informasi yang tidak bisa dikompromikan, maka jalur yuridis-konstitusional merupakan jalan terbaik untuk dijadikan solusi. Apa pun keputusan hakim di pengadilan harus diterima dengan lapang dada oleh para pihak yang bertikai. Karena yang demikian merupakan cerminan dari cara berdemokrasi yang baik.
  8. Imam Syafi’i, bapak usul fiqh, menyebutkan, bahwa kegiatan penyebaran informasi yang belum diyakini kebenarannya, sebagai: “kebohongan tak terlihat atau tersamar” (al-kadzib al-khafi). Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi’i mengemukakan:

أّنَّ اْلكَذِبَ الَّذِي نَهَاهُمْ عَنْهُ هُوَ اْلكَذِبُ اْلخَفِيُّ وَذَلِكَ اْلحَدِيثُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ صِدْقُهُ.

Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya (Imam al-Syafi’i, 2006: 267).

  1. Setiap Muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai.
  2. Menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
  3. Memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
  4. Kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi.
  5. Penyebaran informasi memuat konten yang benar, bermanfaat, bersifat umum, tepat waktu dan tempat, tepat konteks, dan memiliki hak untuk penyebaran informasi (tidak melanggar hak kekayaan intelektual).
  6. Dalam membagikan informasi dilarang menyebarkan ghibah (penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukai), fitnah, dan namimah (adu domba). Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk: (1) melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan, (2) melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan, (3) menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup, (4) menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syar’i, dan (5) menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya.
  7. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
  8. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak, hukumnya haram.
  9. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
  10. Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya (poin 11-20, lihat Fatwa MUI tentang Media Sosial, No. 24/2017).

Wallahu a’lam bisshawab.

Muhammad Azhar, Dosen FAI-Pascasarjana UMY/Bidang Publikasi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

 

Exit mobile version