YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Persepsi bahwa Muhammadiyah anti kebudayaan kerap terdengar. Anggapan yang tidak tepat sasaran itu mungkin dikarenakan oleh corak keagamaan Muhammadiyah yang melakukan purifikasi. Padahal pemurnian yang dilakukan oleh Muhammadiyah hanya pada ranah akidah dan ibadah mahdhah. Sementara dalam urusan muamalah, seni budaya termasuk di dalamnya, merupakan urusan yang mubah dan Muhammadiyah justru melakukan dinamisasi.
“Pada dasarnya, Muhammadiyah sejak awal berdiri melakukan kerja-kerja kebudayaan,” tutur Haedar dalam Seminar dan Diskusi Kebudayaan yang digelar di Grha Suara Muhammadiyah pada Senin, 2 Juli 2018. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Suara Muhammadiyah yang bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Ketika Muhammadiyah membuat Suara Muhammadiyah pada 1915, itu kerja kebudayaan. Awalnya, Suara Muhammadiyah berbahasa Jawa dan sejak 1923 mengembangkan bahasa Melayu. Ini bentuk kebudayaan. Kongres Pemuda (yang dianggap tonggak menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa persatuan) itu pada 1928, jauh sebelum itu, Suara Muhammadiyah memulai,” urainya.
Haedar juga menjelaskan, bahwa sejak 1912, Kiai Ahmad Dahlan mempelopori pendidikan modern juga merupakan kerja kebudayaan. “Ketika mendirikan Aisyiyah pada 1917 dan Aisyiyah menjadi pelopor Kongres Perempuan juga merupakan kegiatan kebudayaan,” katanya. Kerja semisal itu terus dilakukan oleh Muhammadiyah sampai hari ini.
Dalam prakteknya, Muhammadiyah tidak asal mengikuti semua jenis warisan kebudayaan leluhur. “Kita rawat kebudayaan yang baik yang hidup di masyarakat, tetapi kita harus selektif,” katanya. Untuk beberapa konten, Muhammadiyah melakukan perbaikan dan menawarkan gagasan budaya baru yang lebih sesuai dengan etika dan norma-norma agama. Menurut prinsip Muhammadiyah, kebudayaan tidak boleh mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), isyyan (kedurhakaan), dan ba’id ’anillah (terjauhkan dari Allah).
“Muhammadiyah dalam urusan akidah dan ibadah sesuai dengan yang digariskan oleh Quran dan Hadis,” ungkapnya. Sementara di luar itu, maka Muhammadiyah melakukan kreativitas dan dinamisasi. Di sinilah pentingnya memilah antara wilayah yang harus paten dan wilayah yang butuh dinamisasi. “Wilayah kebudayaan jangan dicampur aduk dengan urusan keagamaan,” ujarnya.
Haedar menyebut bahwa pada Tanwir tahun 2002, Muhammadiyah mengeluarkan dokumen dakwah kultural. Strategi kebudayaan Muhammadiyah menyatukan dimensi ajaran kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid sosial keagamaan. Ciri khas strategi kebudayaan Muhammadiyah timbal balik antara sisi normativitas al-Qur’an dan as-Sunnah serta historisitas pemahamannya sesuai dengan kontek masyarakat.
“Kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat dalam kehidupan. Yang sering disebut sebagai cipta, karya, dan karsa manusia. Kebudayaan itu sistem pengetahuan kolektif manusia dalam merespon kehidupan,” ungkapnya.
Muhammadiyah mendukung konsep kebudayaan yang diusung melalui UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Konsep pemajuan Kebudayaan senafas dengan alam pikiran Muhammadiyah,” ujarnya.
Awal berdirinya Muhammadiyah, kata Haedar, berangkat dari kegelisahan Kiai Dahlan tentang ketertinggalan umat Islam. Oleh karena itu, Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah ingin memajukan umat Islam dan bangsa ini. Jalan menuju kemajuan itu adalah dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, Muhammadiyah menginisiasi lembaga pendidikan modern.
Realitas masyarakat modern hari ini menuntut adanya kepastian yang bersifat saintifik. “Dengan ilmu pengetahuan, Muhammadiyah sudah bisa menghitung kapan Idul Fitri, Idul Adha, Ramadhan, dan lain-lain hingga tahun 2083,” ujarnya.
“Alam pikirannya Muhammadiyah menginginkan masyarakat itu efisien, realistis, hemat. Berlawanan dengan alam pikiran komunal ketika itu,” ungkap Haedar. Dalam hal ini, dakwah Muhammadiyah ditujukan untuk melakukan perbaikan masyarakat dengan beragam strategi, termasuk dengan strategi kebudayaan. “Itulah dakwah kultural. Mengubah culture dengan culture. Dakwah yang sesuai dengan alam pikiran masyarakat. Membentuk masyarakat madani,” kata Haedar.
“Setelah dijajah cukup lama, kultur kita tidak menjadi maju dan modern, maka di sini Muhammadiyah berperan. Perubahan sosial itu tidak bisa cepat. Tetapi kalau kebudayaan lama terus diikuti, tanpa diperbaiki, maka masyarakat tidak maju-maju. Perlu dirubah pelan-pelan. Umat Islam tidak cukup menjadi moderat, tapi juga harus maju. Moderat itu baik. Tetapi menjadi baik saja tidak cukup, kita harus maju,” urainya.
Haedar juga mengingatkan bahwa Muhammadiyah juga perlu menyerap perubahan budaya yang begitu cepat. Semisal budaya baru dunia digital. Kita mengalami digitalisasi. Alat-alat komunikasi menguasai kita, menjadikan kita seperti the modular man. Padahal seharusnya ada jarak, supaya tidak terserap atau tercerabut akar budaya dan habitat asli manusia oleh teknologi. (ribas)