JAKARTA, Suara Muhammadiyah–Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang tidak anti budaya. Majelis Tarjih sudah membahas masalah kebudayaan dan kesenian dalam forum muktamar tahun 1995 di Banda Aceh. Dalam keputusan tersebut di antaranya menyatakan bahwa menciptakan dan menikmati karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), darar (bahaya), ‘isyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (keterjauhan dari Allah), yang merupakan rambu proses penciptaan dan menikmatinya.
Terkait relasi Muhammadiyah dengan budaya, sikap Muhammadiyah sejak awal berdiri di pusat kejawen Keraton Yogyakarta adalah inklusif dan tidak anti budaya.Hal itu disampaikan Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih, Tajdid dan Tabligh, Prof Dr Yunahar Ilyas Lc dalam Silaturahim Idul Fitri Keluarga Besar Muhammadiyah DKI Jakarta, Ahad (1/7). Kegiatan ini turut dihadiri publik figur Eko Patrio dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dalam acara yang digelar di Perguruan Muhammadiyah Cabang Slipi Komplek, Jakarta Barat tersebut, Yunahar menyoroti gejala adanya warga Muhammadiyah yang seringkali mempermasalahkan budaya-budaya di Indonesia apakah Islami atau tidak islami, hanya berdasar pertanyaan ada hadisnya atau tidak.
Menurutnya, budaya merupakan urusan muamalah duniawiyah yang hukum asalnya mubah atau boleh. Justru Muhammadiyah menjadikan budaya sebagai instrumen dan strategi dakwah Islam. “Budaya adalah ekspresi keagamaan, dan selama tidak melanggar syari’at, itu tidak dilarang. Oleh karena itu, jangan asal tuduh bid’ah,” ujar Yunahar.
Dalam perkara muamalah, agama tidak memberi batasan rinci, asalkan memberi manfaat dan tidak melanggar prinsip agama. “Di Indonesia, banyak yang ma’ruf dan sesuai dengan Islam. Turunan fikihnya, jika ada nash yang memerintahkan maka menjadi wajib. Jika ada yang menyarankan melakukannya, menjadi sunnah. Jika ada yang menyarankan tidak melakukannya, maka menjadi makruh. Jika ada yang melarang, maka menjadi haram. Jika didiamkan atau tidak ada nash, maka menjadi mubah,” tuturnya.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia itu juga menegaskan bahwa dalam beragama, ekspresi berbeda dengan syari’ah. Ekspresi timbul karena perasaan penghayatan. Menurut Majelis Tarjih, rasa seni adalah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang normal yang dibawa sejak lahir. Ia merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia yang menuntut penyaluran dan pengawasan baik dengan melahirkannya maupun dengan menikmatinya. Artinya proses penciptaan seni selalu bertitik tolak dari pandangan seniman tentang realitas (Tuhan, alam dan manusia).
“Dalam ibadah mahdah dan masalah akidah, Muhammadiyah tegas. Tetapi dalam budaya, Muhammadiyah harus jeli. Sebab budaya membutuhkan kreativitas atau bahasa arabnya bid’ah. Kita harus jeli mana yang tsabit (paten) dan mana yang mutaghayyirat (boleh dikembangkan). Oleh karena itu, visi tajdid kita adalah purifikasi (dalam bidang akidah dan ibadah) dan dinamisasi (dalam bidang budaya). Yang murni dimurnikan, yang budaya dikembangkan. Jangan terbalik,” imbuh Yunahar. Maksudnya, jangan longgar dalam urusan akidah dan justru ketat dalam urusan muamalah. (ribas/ppmuh)