Bulan Sabit di Atas Pohon Beringin

Bulan Sabit di Atas Pohon Beringin

Judul               : Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010

Penulis             : Mitsuo Nakamura

Penerbit           : Suara Muhammadiyah dan UMY Press

Cetakan 1        : Oktober 2017

Tebal               : Ixviii + 488 halaman

Ukuran            : 15 x 23 cm

 

Pohon beringin besar nan rimbun menjulang di sekitar kompleks Masjid Agung Mataram dan Makam Kotagede. Pohon dengan daun lebat itu membuat suasana teduh. Tidak sekedar untuk bernaung melepas penat, pohon dengan nama ilmiah ficus benjamina ini punya makna simbolik dan identik dengan kejawen. Di antara rumpun itu dinamai waringin sepuh, yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai saksi hidup kelahiran dan berkembangnya Kotagede hingga kini.

Dalam kepercayaan masyarakat Kotagede, tulis Ardi Teristi Hardi, pohon waringin sepuh itu ditanam oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pula yang pertama menunjukkan lokasi untuk tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan, yang nantinya menjadi Kerajaan Mataram Islam. Menurut Babad Tanah Jawi, sejak berdirinya Mataram Islam di tengah Hutan Mentaok, banyak orang mulai berdatangan. Hutan lebat itu perlahan berubah menjadi daerah makmur dengan pangan berlimpah, tersebab tanahnya yang subur. Kawasan inilah yang menjadi cikal bakal Kotagede.

Sebagai kota tua bekas ibu kota kerajaan, Kotagede merupakan kota warisan dan memiliki jejak sejarah panjang. Kekhasan ini memikat seorang professor emeritus Chiba University Jepang, Mitsuo Nakamura. Selama puluhan tahun, Nakamura mengumpulkan setiap kepingan fenomena sosiologi-antropolgi di kota ini. Menurutnya, Kotagede mewakili cara-cara hidup tradisional masyarakat Jawa di kawasan urban.

“Kotagede dianggap sebagai sebuah pilihan tepat untuk memelajari urbanisme tradisional di Jawa. Kota itu muncul dalam sejarah sebagai salah satu Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam di akhir abad dua puluh enam dan terus mempertahankan identitas fisik serta budayanya hingga masa modern,” kata Nakamura saat peluncuran buku magnum opusnya itu di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jakarta, Jumat pekan pertama Oktober 2017.

Ahmad Najib Burhani menyebut, melalui karya ini, Nakamura juga mengoreksi tesis utama Geertz sebelumnya tentang hubungan Islam dan kejawaan, bahwa Islam tak memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Jawa. Dalam praktiknya, Islam adalah keimanan yang hidup dan berperan vital dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana didokumentasikan oleh Nakamura dalam karya ini, Islam ala Muhammadiyah menjadi kekuatan dinamis yang mampu mentransformasikan kompleksitas sosio-kultual dari tradisi kejawen.

“Dalam konteks Muhammadiyah Kotagede, Jawa dan Islam melebur menjadi satu dalam nilai-nilai etika. Muhammadiyah berhasil mentransformasikan Kotagede dari sebuah kota yang sebelumnya memiliki identitas kejawaan yang sangat kuat menjadi kota yang juga penuh dengan semangat Islam yang reformis,” ungkap Najib.

Temuan ini menjadi salah satu alasan pemilihan judul buku. Merepresentasikan kejawen dengan pohon beringin dan melambangkan Islam dengan bulan sabit. Buku Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010  ini merupakan karya monumental tentang Muhammadiyah yang merupakan penyempurnaan dari judul yang hampir sama dan pernah terbit tahun 1983. Pada 2012, juga sempat diterbitkan ulang oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura dalam edisi bahasa Inggris.

Keistimewaan buku “Edisi Revisi Ditambah Bagian Dua” ini adalah pada tambahan naskah sesuai dengan realitas paling mutakhir. Penambahan tersebut di antaranya tentang perkembangan aktivisme Muhammadiyah dan kegiatan warga Kotagede yang terjadi pada tahun 1972-2010. Penyempurnaan ini juga sebagai upaya untuk menghadirkan kembali sebuah karya yang memberi pemahaman tentang arti perjuangan membangun peradaban.

Haedar Nashir juga mengingatkan tentang pentingnya kesadaran sejarah ini. Menurutnya, generasi baru di Muhammadiyah perlu menelaah dan membaca ulang Muhammadiyah sebagai sebuah movement. “Karena sebuah gerakan sosial, dia hadir tidak lepas dari siapa pendirinya, dari konteks apa berdirinya,  apa yang dilakukan oleh para pendiri,” tuturnya. “Apa yang ditemukan Nakamura lewat kajian antropologi dan sosiologinya ini mengajak kepada kita melihat Muhammadiyah bukan sebagai gerakan doktriner,” kata Haedar saat peluncuran. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version