Pengajian Tarjih 6: Menebar Kasih Sayang untuk Menjaga Kehidupan

Pengajian Tarjih 6: Menebar Kasih Sayang untuk Menjaga Kehidupan

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Tarjih Edisi ke-6 di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta kembali digelar pada Rabu malam, 4 Juli 2018. Kajian berseri yang menghadirkan narasumber Ustadi Hamsah dan Asep Sholahudin itu kembali melanjutkan bahasan Tafsir At-Tanwir dan ulasan tentang ibadah pasca Ramadhan.

Anggote Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ustadi Hamsah menjelaskan tentang awal surat al-Fatihah sebagai kelanjutan bahasan sebelumnya yang membahas ayat pertama dari surat pembuka dalam al-Qur’an. Dalam ayat pertama, esensinya adalah tentang kasih sayang atau rahmat Allah. Rahman dan rahim yang menjadi sifat dominan Allah diharapkan bisa ditiru oleh manusia dalam menjalani kehidupan.

Baca : Pengajian Tarjih 5: Al-Qur’an adalah Rahmat bagi Manusia

“Mengapa kita perlu menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk hidup, makhluk Allah? Karena itu untuk menjaga kehidupan. At Tanwir mengawali penjelasannya dengan kehidupan itu sendiri. Tema pertama adalah asal usul kehidupan,” kata Ustadi.

Menurut dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga itu, At-Tanwir menjelaskan bahwa alam semesta dan segala kehidupan di dalamnya diciptakan Allah sebagai wujud rahmat-Nya. “Alam dan kehidupan diciptakan oleh Allah dengan desain yang sempurna. Ciptaan yang sempurna merupakan wujud kasih sayang. Jika tidak sempurna, maka tidak sayang,” urainya.

Alam semesta ada karena diciptakan Allah dan keberlangsungan alam semesta itu dalam pemeliharaan Allah. “Islam tidak mengajarkan bahwa alam itu ada dengan sendirinya,” kata Ustadi. Sementara itu, dalam perkembangan dunia modern yang mendewakan sains dan teknologi, ada yang berpendapat bahwa alam ada dengan sendirinya. Pemahaman ini meniscayakan bahwa agama dan Tuhan tidak lagi dibutuhkan, karena ilmu pengetahuan telah menjawab semua persoalan.

Pemahaman itu ditolak oleh At-Tanwir. “Islam mengajarkan bahwa alam semesta itu ada dengan kasih sayang Allah. Tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang menciptakan. Hanya Allah yang ada tanpa ada yang menciptakan. Sesuatu yang ada disebabkan oleh sesuatu yang ada sebelumnya,” ulasnya.

Dalam perdebatan teologi, ada pendapat umum bahwa semua yang ada di alam semesta disebabkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah. “Menurut al-Kindi, jika diruntut ke belakang maka akan ketemu dengan yang pertama, al-Illatu al-ula. Penyebab pertama,” kata Ustadi.

Ayat pertama dari surat al-Fatihah menjelaskan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta. “Kata-kata alhamdulillahhi rabbil ‘alamin itu belum ada nama-Nya (Allah). Al-Fatihah belum menyebutnya. Rabb semesta alam belum dijelaskan. Siapa sih rabb itu?” ungkapnya.

Hal itu memiliki pesan tersirat. “Al-Fatihah ditaruh di depan mengajak kita berpikir, untuk menujukkan siapa rabb itu,” katanya. Bagi kita yang telah Muslim sejak lahir, rabb semesta alam itu pasti Allah, tetapi bagi banyak manusia lainnya, pertanyaan siapa Tuhan masih dibutuhkan penjelasan.

Penjelasan tentang siapa rabb itu kemudian dijawab dalam Quran Surat Al-Ikhlas. “Allah memperkenalkan siapa rabb itu melalui surat al-ikhlas. Qul huwa Allah ahad. Ahad itu tunggal, bukan satu. Esa. Esa itu tunggal, bukan satu. Satu itu eka. Allahu al-shamad. Allah yang tunggal itu tempat makhluk bergantung, mengabdikan diri,” urainya.

Di ayat selanjutnya juga masih tentang siapa Rabb. “Lam yalid wa lam yu lad. Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Allah selalu ada, tiada awal dan akhir. Makhluk beranak dan diperanakkan. Wa lam yakun lahu kufua al-ahad. Tidak ada yang bisa menyamainya. Bahkan menyamai bayangannya saja tidak ada. Laisa kamislihi syaian. Kata Ibnu Arabi, tidak pernah mungkin ada orang yang bisa menyerupai seperti, seperti Allah,” ulas Ustadi.

Hal paling esensi, Allah adalah Tuhan yang selalu menebarkan kasih. Semua mahkluk-Nya dibina dengan segenap kasih sayang. “Dalam kondisi tertentu, kadang manusia merasa tidak adil. Padahal Allah memperlakukan semua makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang dan adil,” ungkapnya.

Allah sebagai zat yang menciptakan alam semesta dan manusia. Apa pun yang diciptakan Allah pasti dipelihara dengan baik, dengan penuh kasih sayang. Semua diatur Allah dalam kasih sayang. Dari awal sampai akhir, semua makhluk dibina dalam kerahiman. Manusia dikandung selama 9 bulan dalam rahim. Rahim memiliki makna yang mendalam. “Manusia diatur seluruh alur aktivitasnya dengan penuh kasih sayang. Allah yang rahman dan rahim menempatkan makhluk-Nya dalam kerahiman, rahim seorang ibu,” kata Ustadi.

“Allah punya kekuasaan yang mutlak, mencipta , memelihara, hingga mengembalikan semuanya kepada-Nya. Tanpa mencipta apa-apa pun, Allah tetap sebagai rabb yang Agung. Tanpa menciptakan makhluk pun, Allah yang Maha Agung,” ulas anggota tim penulis Tafsir At-Tanwir itu.

Jika demikian, mengapa Allah memilih menciptakan? Hal itu adalah rahasia-Nya. Allah sama sekali tidak membutuhkan makhluk untuk memuja-muja-Nya. Tanpa ada yang memuja pun, Allah telah Agung. “Manusia dicipta untuk mengabdi. Manusia menjadi saksi bagi keagungan Allah,” katanya.

Konsekuensi dari poin ini juga meniscayakan bahwa yang paling tinggi hanya Allah, sedangkan semua makhluk, semua manusia itu setara di hadapan Allah. Keragaman manusia bukan untuk dibeda-bedakan, tetapi untuk saling menghormati dengan penuh kasih sayang. Sesuai dengan filosofi Jawa. “Urip sak podho podho itu dalam sekali maknanya. Manusia itu sama di hadapan Allah,” tukas Ustadi Hamsah.

Sementara itu, Asep Sholahudin, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjelaskan seputar puasa Syawal. Menurutnya, ibadah puasa memiliki makna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. “Yang lebih penting adalah menerapkan nilai-nilai berpuasa dalam kehidupan. Satu shiyamu jawarih, puasa anggota badan. Orang yang berpuasa tidak berkata kotor, juga tidak suka gaduh. Tidak berbuat yang membikin orang lain tidak senang. Juga meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” ujarnya. Ibadah yang dilakukan harus memberi dampak dalam peningkatan kualitas diri. (ribas)

Baca juga :

Pengajian Tarjih 2: Cara Memahami Agama dalam Muhammadiyah

Pengajian Tarjih: Rawat Semangat Islam Berkemajuan di Masjid Gedhe Kauman

Membaca Tafsir At-Tanwir

Exit mobile version