Judul : Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban
Penulis : Zakiyuddin Baidhawi dan Azaki Khoirudin
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan 1 : Mei 2017
Tebal : xxxviii + 490
Ukuran : 15 x 23 cm
“Menurut saya, Muhammadiyah itu organisasi yang cukup besar. Saya sering bicara ke orang Muhammadiyah, kamu harus bangga dengan organisasimu.” Kalimat itu diutarakan Prof Hyun-Jun Kim dalam bedah buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban karya Azaki Khoirudin dan Zakiyudin Baidhawi, di UM Surakarta pada Agustus 2017.
Penyataan Kim itu tidak berangkat dari ruang hampa. Muhammadiyah punya akumulasi modal yang terus membesar dan potensi yang tidak pernah pudar. Sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah didorong oleh etos yang berbeda dengan banyak organisasi pembaharuan lainnya.
Dalam prolog buku ini, Prof Amin Abdullah menyatakan bahwa gerakan keagamaan sosial Muhammadiyah tidak lagi dalam tataran konsep dan gagasan belaka, tetapi menjadi praksis sosial. Pilihan etos Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan ini berbeda dengan pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani yang menyebarluaskan ide Pan-Islamisme; dengan Muhammad Abduh yang mengetengahkan pembaharuan pendidikan; dengan Muhammad bin Abdul Wahab yang melakukan pembaharuan akidah; dengan Kemal Ataturk yang menitikberatkan pada pembaharuan politik.
Buku ini memotret etika yang menjadikan Muhammadiyah terus menggeliat hingga usia lebih dari seabad. Buku yang diterbitkan Suara Muhammadiyah ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama yang terdiri dari 6 bab membahas tentang landasan pemikiran di Muhammadiyah. Sementara 6 bab di bagian kedua menguraikan tentang praksis peradaban dan aktivisme Muhammadiyah.
Keseluruhan gerak Muhammadiyah yang paling menonjol ini dikenal dengan istilah trisula lama dan baru. Trisula lama berkutat dalam aktivitas pendidikan (schooling), pelayanan sosial (feeding), dan kesehatan (healing) yang merupakan jawaban terhadap kondisi umat Islam Nusantara di awal berdirinya Muhammadiyah.
Sementara trisula baru merupakan majelis atau lembaga Muhammadiyah yang menjadi jangkar pemihakan Muhammadiyah terhadap mustadl’afin dan new mustadl’afin dengan segenap kegiatan yang melampaui segala sekat SARA dan batas negara. Terdiri dari Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC), Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM).
Penulis buku ini menyebut, Muhammadiyah memiliki basis theologis islamic movement yang kokoh. Yaitu Qur’an Surat al-Maun dan surat al-Ashr. Keseriusan Kiai Dahlan dalam menanamkan makna dari dua surat ini bisa dilihat dari lamanya pengajaran. Surat al-Ashr diajarkan selama 7 bulan. Sementara surat al-Ma’un selama 3 bulan berturut-turut.
Kedua surat itu menjadi etos Muhammadiyah yang berkemajuan. Al-Maun mendestruksi dan mengkritik kemapanan serta sistem peradaban sosial-ekonomi juga kehidupan personal. Sementara al-Ashr, menjadi inspirasi membangun dengan landasan amal sholeh dan kedisiplinan. Al-Ashr mengisi apa yang diruntuhkan dengan kritik sebelumnya. Inilah etos yang menggerakkan Muhammadiyah untuk mandiri, berdaya, sekaligus tanpa menghilangkan elan vitalnya untuk melakukan keberpihakan dan pemberdayaan terhadap kaum marjinal.
Buku ini juga menguraikan tentang basis sosio-filosofis Muhammadiyah. Berbekal dari basis yang kokoh, maka tidak mengherankan jika Muhammadiyah bisa memainkan banyak peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Meskipun sebagai gerakan sosial keagamaan, tapi Muhammadiyah bisa memainkan peran di banyak posisi, mulai politik, ekonomi, hingga peran kultural.
Muhammadiyah menawarkan konsep ummah, civil society, dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam konsep ummah dimaksudkan bahwa seluruh manusia merupakan satu. Sementara dalam konsep masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah mengajukan rumusan seperti keluarga sakinah hingga qaryah thayyibah. Semua itu berbasis pada nilai iman dan amar makruf nahi munkar. (Muhammad Ridha Basri)