YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Tingginya angka pengidap gangguan perkembangan pada anak atau yang masuk ke dalam kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengharuskan para pegiat pendidikan memiliki sensitivitas yang ekstra terhadap kebutuhan dalam pembelajaran ABK. Salah satunya disleksia, atau gangguan belajar (Learning Disability) adalah gangguan yang paling sering ditemui pada anak. Menurut Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Kasiyarno saat membuka Kuliah Pakar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), kurang lebih ada 25 juta anak di Indonesia yang mengidap gangguan ini.
“Para calon pendidik harus mampu merancang pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik, termasuk dalam menghadapi anak-anak yang berkebutuhan khusus,” ungkap Kasiyarno yang juga Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI) wilayah DIY di Ruang Sidang UAD lantai 1, Senin (9/7). Kuliah pakar yang dihadiri oleh dua pembicara ternama yaitu dr Purboyo Solek, Sp.A(K), Direktur Melinda Child Development Center & Indigrow, dan dr Kritiantini Dewi, Sp.A, Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI) diikuti oleh seluruh mahasiswa semester 2 FKIP yang terdiri dari 9 prodi. Kegiatan ini juga merupakan implementasi dari kerjasama yang dijalin antara UAD dan ADI sejak tahun 2016 lalu.
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang memiliki konsen yang besar terhadap pendidikan, sekaligus berkomitmen mencetak tenaga pendidik yang mumpuni di bidangnya, turut berperan dalam mendorong awareness masyarakat terhadap disleksia. Senada dengan itu, Ketua Panitia Kuliah Pakar yang bertajuk ‘Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Paripurna dari Anak Berkebutuhan Khusus untuk Mendapatkan Generasi Masa Depan yang Baik’, Iyan Sofyan mengatakan UAD berencana untuk merintis keberadaan Child Development Center (CDC) di Yogyakarta, melihat masih banyak kasus Disleksia pada anak yang tidak ditangani sedini mungkin dan secara komprehensif. Kuliah Pakar tersebut, menjadi salah satu upaya UAD melalui FKIP untuk menciptakan tenaga pendidik yang terampil dalam menangani ABK.
“Seperti yang juga telah diungkapkan oleh Rektor UAD saat diamanahkan menjadi Ketua ADI Yogyakarta, UAD ingin menggagas keberadaan CDC di Jogja yang hingga saat ini belum memiliki CDC seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Padahal Jogja adalah Kota Pelajar,” terang Iyan.
Iyan menambahkan bahwa seperti yang digarisbawahi oleh Rektor UAD Kasiyarno sebelumnya, bahwa keberadaan Fakultas Kedokteran di UAD juga mampu memperkuat keberadaan CDC ke depan. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya tenaga professional yang multidisiplin, pemeriksaan di CDC dapat dilakukan secara holistic dan integrative antara dokter juga terapis. Iyan juga mengatakan bahwa dengan keberadaan CDC nantinya pelayanan ABK bisa terintegrasi sehingga memudahkan dalam melakukan penanganan juga deteksi dini.
“Hingga saat ini masih ada perbedaan diagnosa antara dokter, psikolog dan pakar anak terkait gangguan disleksia. Sehingga, memungkinkan terjadinya perbedaan diagnosa dan treatment. Keberadaan CDC sangat penting karena dapat menciptakan kesepahaman antara satu ahli dan lainnya dalam penanganan ABK,” ungkap Iyan.
Iyan juga menambahkan bahwa untuk gangguan disleksia, diagnosa sudah bisa dimulai sejak anak berusia 2 tahun hingga 7 tahun. Menurutnya, 10 persen dari 1000 kelahiran anak memiliki kemungkinan mengidap disleksia. Di antara sejumlah tanda-tandanya adalah kesulitan mengingat serta keseimbangan atau kemampuan motorik yang terganggu. (Th)