Judul : Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis
Penulis : Tim Pusdalitbang Suara Muhammadiyah
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, Februari 2018
Ahmad Syafii Maarif termasuk salah satu tokoh berpengaruh medio 1980-an, bersama Amien Rais dan AR Fakhruddin, versi Majalah Tempo. Pada 27 Maret 1993, majalah ini menurunkan artikel Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, “Tiga Pendekar dari Chicago” yang mengulas generasi awal cendekiawan Indonesia di Universitas Chicago. Ketiga sosok yang mendapat sentuhan langsung dari pemikir muslim Fazlur Rahman ini adalah Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Syafii Maarif.
Menurut Gus Dur, Syafii Maarif berada di posisi tengah antara Norcholish Madjid yang mengusung keterbukaan Islam menyerap nilai universal dari manapun datangnya, dengan gagasan Amien Rais bahwa Islam sebagai sumber nilai, yang harus dikembangkan sehingga bisa diserap oleh umat lain. Meski berbeda, ketiganya sepakat tentang perlunya umat Islam melakukan perubahan pandangan hidup guna meraih kemajuan, terutama dalam hal etos dan kedisiplinan.
Pertanyaannya, dari mana Gus Dur menilai? Dari lisan dan tulisan. Jika Nurcholish dan Amien Rais mempunyai dua panggung sekaligus, berbeda halnya dengan Syafii Maarif kala itu. Sosok ini banyak menyampaikan gagasannya melalui tulisan di berbagai media. Tulisannya khas, analisisnya tajam, didukung data akurat dan aktual. Kepiawaiannya ini merupakan buah dari proses panjang.
Adalah karena kiprahnya sebagai seorang jurnalis. Buku ini mengungkap fase penting dalam perjalanan Buya Syafii sebagai seorang wartawan sejak usia muda. Ketika bersekolah di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, Syafii mengasah nalar jurnalistiknya melalui majalah Sinar, dan sempat menjadi pemimpin redaksi. Ketika mahasiswa, di tahun 1965, Syafii telah menjadi bagian dari majalah Suara Muhammadiyah, sebuah media yang dianugerahi MURI sebagai “Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama.”
Posisi pertamanya hingga tahun 1972 adalah sebagai korektor. Kesungguhan mengantarkannya ke posisi wartawan dan redaktur (Saat ini menjabat sebagai Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah). Tulisan utuh pertamanya di Suara Muhammadiyah terbit pada halaman 24 edisi No. 4-5 Th. 38, Februari-Maret 1966 dengan judul “Kepentingan Sedjarah bagi Muslim” (Lihat hlm 55). Artikel ini memperlihatkan kecenderungannya pada sejarah. Tulisan-tulisan sosok yang kerap memakai nama pena Salman Sumpur ini dikategorikan dalam genre jurnalisme historis.
Berdasarkan dokumen yang ditemukan Yuanda Zara, hingga sebelum keberangkatannya ke Amerika Serikat, Syafii Maarif tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kartu anggota PWI-nya bertanda tangan wartawan dan sastrawan terkenal, Mahbub Junaidi, yang menjadi ketua PWI Pusat kala itu.
Sebagai wartawan, Syafii Maarif terbiasa bertemu tokoh-tokoh besar, yang meluaskan cakrawala pergaulannya. Di saat yang sama, dia mengendapkan pengetahuan serta mengkayakan horison pengalaman dan wawasannya. Wartawan lebih dari sekedar mengumpulkan dan menyajikan informasi. Buya Syafii bahkan kerap menjadi penerjemah karya intelektual dunia. (Ribas)