Pandangan Majelis Tarjih tentang Gerhana Bulan Total pada Sabtu, 28 Juli 2018

Pandangan Majelis Tarjih tentang Gerhana Bulan Total pada Sabtu, 28 Juli 2018

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Tarjih edisi ke-7 di Masjid Gedhe Kauman mengangkat tema kapita selekta putusan dan fatwa tarjih, terkait dengan fenomena gerhana bulan. Sesuai dengan hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, gerhana bulan total (insyaallah) akan terjadi pada Sabtu, 28 Juli 2018.

Wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Fathurrahman SW, menjelaskan bahwa gerhana merupakan fenomena alam. “Gerhana adalah keadaan gelap di muka bumi di siang hari disebabkan oleh terhalangnya sinar matahari oleh bulan. Atau tidak terlihatnya bulan di malam hari disebabkan ia masuk dalam bayang-bayang bumi,” tuturnya.

Mengapa gerhana terjadi? Oman memberi jawaban. Pertama, bumi dan bulan adalah benda gelap. Akibatnya, ketika tersinari oleh matahari akan menimbulkan bayang-bayang. Benda gelap itu tidak memiliki sinar sendiri dan tidak tembus cahaya. Ketika bumi disinari matahari, maka ia akan membuat bayang-bayang. Demikian juga ketika bulan tersinari oleh matahari, maka ia akan membuat bayang-bayang. Kedua, bumi dan bulan masing-masing beredar pada orbitnya. Akibatnya, posisi bumi, bulan, dan matahari berubah-ubah. Yaitu matahari-bulan-bumi atau matahari-bumi-bulan.

“Dalam posisi matahari-bulan-bumi, jika bayang-bayang bulan mengenai permukaan bumi, maka terjadilah gerhana matahari di tempat tersebut. Dalam posisi matahari-bumi-bulan, jika bulan masuk ke bayang-bayang bumi, maka terjadilah gerhana bulan,” ulasnya.

Peredaran bumi mengelilingi matahari berbentuk elips, tidak bulat. Sehingga dalam waktu setahun itu, ada saat ketika bumi sangat dekat dengan matahari dan ada pula ketika bumi sangat jauh dengan matahari.

Gerhana matahari, kata Oman, terjadi pada saat konjungsi atau ijtimak, tetapi tidak setiap terjadi konjungsi, selalu ada gerhana. Sebaliknya, gerhana bulan terjadi saat oposisi (kebalikan ijtimak), yakni saat bulan purnama, karena saat itu bumi berada di antara matahari dan bulan. Tetapi tidak setiap saat oposisi (istikbal) terjadi gerhana bulan, karena saat oposisi bumi tidak selalu persis berada pada garis lurus antara titik pusat bulan dan titik pusat matahari. Hanya apabila menyentuh garis lurus itu terjadi gerhana. Artinya gerhana bulan saat purnama hanya terjadi apabila garis nodal menunjuk lurus ke arah matahari.

Dijelaskan Oman, syarat-syarat gerhana, pertama, bayang-bayang mengarah ke bumi atau mengarah ke bulan. Kedua, bayang-bayang cukup panjang sehingga menjangkau bumi atau menjangkau bulan.

Gerhana bulan total pada Sabtu, 28 Juli 2018 (di Amerika masih tanggal 27). Gerhana sebagian mulai pukul 01.24 WIB, bulan memasuki bayang-bayang semu. Gerhana bulan total akan terjadi pada pukul 02.30 WIB, masuk ke bayang-bayang inti. “Kita merasakan warna bulan yang kita lihat,” urainya.

“Puncak gerhananya jam 03.22 WIB, bulan masuk penuh ke bayang-bayang bumi. Gerhana total berakhir pada pukul 04.13 WIB, jelang subuh, lepas dari bayang-bayang inti, tinggal di bayang-bayang semu. Gerhana sebagian berakhir atau keluar dari bayang-bayang semu pada 05.19 WIB,” tukas Oman. (ribas)

Fatwa Tarjih

Dalam Putusan Tarjih XX di Garut tahun 1976 tentang salat Kusufain tidak disebutkan gerhana seperti apa yang disunatkan untuk melakukan salat gerhana. Pernyataan Putusan tersebut bersifat umum, yaitu “Apabila terjadi gerhana matahari atau bulan” [Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76 Tahun 1977, h. 4 dan 22].

Dalam Putusan Tarjih XXVII di Malang tahun 2010 tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah diberikan ketentuan salat gerhana lebih rinci, namun tidak menjelaskan secara tegas tentang gerhana bulan penumbral apakah juga dilakukan salat gerhana. Dalam Putusan itu ditegaskan, “Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kusūf al-kullī), gerhana sebagian (al-kusūf al-juz’ī), dan gerhana cincin (al-kusūf al-halqī) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusūf)” [Berita Resmi Muhammadiyah, No. 6, 2010-2015 / Ramadhan 1435 H / Juli 2014 M, h. 281]. Pernyataan ini nampaknya lebih tertuju kepada gerhana matahari.

Pada tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa tentang gerhana. Fatwa tersebut pada butir 2 menegaskan, “Salat gerhana matahari hanya dilakukan oleh orang di kawasan yang sedang mengalami gerhana dan tidak dilakukan oleh orang yang berada di kawasan lain yang tidak berada dalam bayangan umbra/antumbra/penumbra (tidak mengalami gerhana). Difatwakan tanggal 08 Januari 2010 M / 22 Muharam 1431 H]. Fatwa ini khusus mengenai gerhana matahari.

Terkait dengan shalat gerhana bulan penumbral dan shalat gerhana, silahkan dibaca penjelasan utuh Fatwa Tarjih: Shalat Gerhana Ketika Gerhana Bulan Penumbral yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Yogyakarta pada hari Jumat, 18 Maret 2016 M / 9 Jumadil Akhir 1437 H.

Exit mobile version