Syaddad bin Aus radhiallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai Syaddad, kalau engkau melihat orang menyimpan emas dan perak, maka ucapkanlah kata-kata ini: Allahuma inni asaluka tsabata fi al-amri wa al-azimati ‘ala al-rusydi wa asaluka musajibati rahmatika wa azaimi maghfiratika“.
Artinya, “Wahai Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau ketetapan dalam masalah (agama) dan keinginan kuat untuk (melaksanakan) kebaikan. Dan aku memohon kepada Engkau keharusan mendapat rahmat-Mu dan kekuatan dalam (menggapai) ampunan-Mu.” Hadis shahih diriwayatkan oleh Thabrani.
Emas adalah perlambang pesona duniawai yang sering menjebak manusia beriman sekalipun. Dunia itu ladang beramal, tetapi juga sering menjelma menjadi mata al-ghurur, sumber segala permainan hidup yang membelokkan arah jalan. Lalu, orang beriman pun menjadi sesat jalan. Berbelok dari jalan lurus yang digariskan Tuhan dan Sunnah Nabi.
Dalam kehidupan ini, tidak mudah senantiasa memperoleh petunjuk untuk tetap berada di jalan lurus. Setiap hari seorang muslim yang menegakkan shalat memohon untuk ditunjukkan ke jalan lurus, ihdina shirat al-mustaqim. Tujuhbelas kali pada setiap shalat lima waktu do’a itu dipanjatkan, sungguh sebuah bilangan yang cukup banyak. Berarti, betapa intensifnya permohonan kepada Allah Yang Maha Kuasa itu agar sang hamba istiqamah di jalan-Nya dan tidak berbelok ke jalan Syeitan.
Namun kenyataan sering lain. Lain do’a, lain pula langkah dan tindakan. Doa meminta jalan benar, kaki melangkah ke jalan salah. Permohonan ditunjukkan kebaikan, perbuatan malah menuju keburukan. Memanjatkan harapan akan diberi hal-hal yang pantas, tangan dan sekujur tubuh berbelok arah ke dunia serba tak patut. Lalu hidup menjadi nifaq, lain di kata beda pula dalam tindakan.
Shalat rutin dilakukan. Ibadah haji dan umrah bahkan berkali-kali. Slahat sunnah tak pernah tanggal. Atrbut pakaian hingga tampilan fisik serba Islami. Tetapi, pada saat yang sama jalan kehidupan banyak berbelok arah dari jalan Ilahi. Mereka yang paham agama bahkan terlibat skandal dan masuk penjara karena korupsi. Penyebabnya ialah hasrat berlebih meraih harta dan segala kesenangan duniawi dengan menempuh segala cara.
Ketika susah dan berjuang dari bawah sarat idealisme. Begitu setia dengan kebenaran, kebaikan, dan keadaban. Tetapi begitu naik tangga sukses kehidupan kemudian berbelok haluan. Menjadi pecinta harta, tahta, dan segala perhiasan dunia melebihi takaran. Menjadi serba israf alias berlebihan. Akhirnya diri dikuasi dunia, bukan menguasai dunia, sehingga menjadi budak dunia.
Maka, hadirkan hati ketika bermunajat kepada Allah agar senantiasa ditunjukkan ke jalan lurus dan dihindarkan dari segala jalan bengkok. Nabi Muhammad pernah digoda dengan segala pesona duniawi yang apapun akan dipenuhinya asalkan behenti dari mis risalah dakwah. Nabi tak tergoda sedikit pun, beliau tetap istiqamah di jalan Ilahi. Teladan Nabiyullah ini tidak banyak diikuti, yang sering diikuti hal-hal yang mudah dan menyenangkan hati saja. Jejak Nabi yang berat dan penuh mujahadah, jarang diikuti.
Di tengah dunia yang sarat galau dan penun godaan, manusia beriman diuji derajat ketaqwaannya. Apakah tetap di jalan lurus atau berbelok arah jalan hidup. Hal-hal ang benar, baik, dan patut itu sungguh mahal dan memerlukan pendakian yang berat untuk melakukan serta mencapainya. Sebaliknya jalan yang salah, buruk, dan nista itu biasanya gampang dan sarat pesona sehingga tidak sedikit orang beriman sekalipun dengan mudah tergelincir. Bahkan, sebagian mereka merasa yakin benar di jalan salah, sehingga tak pernah merasa tersesat. Jadi koruptor pun merasa sebagai korban kezaliman, meski jalan hidup yang ditempuh dan diraih secara kasat mata sungguh di luar kelaziman. Umat pun dicekoki indokstrinasi keagamaan dan nalar yang sesat dan menyesatkan.
Maka Allah Ta’ala mengingatkan agar para hamba kaum beriman menepati jalan lurus. Allah berirman dalam Al-Quran, yang artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153). Masihkah mau kukuh di jalan salah? Semoga tidak.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Ibrah Majalah Suara Muhammadiyah Edidi Nomor 3 tahun 2014