Politisasi Perda atau Perda yang Dipolitisasi

Politisasi Perda atau Perda yang Dipolitisasi

Judul Buku: Politik Perda Syariat: Dialektika Islam dan Pancasila di Indonesia

Penulis       : Ma’mun Murod Al-Barbasy

Tebal          : xxxii, 400 halaman

Cetakan      : I, April 2018

Penerbit      : Suara Muhammadiyah

 

Syariat Islam adalah sistem hukum yang paling lengkap dan sejak lama telah menjadi daya tarik bagi banyak pihak untuk mengkajinya. Tidak hanya dijadikan sebagai pedoman yang mengatur tata kehidupan, tapi juga telah menjadi bagian dari diskurus global dan tarik menarik ideologis. Saat ini, perhatian terhadap syariat Islam menguat seiring lahirnya gerakan revivalisme Islam pada paruh abad ke-20 yang mengusung gagasan penerapan syariat Islam di banyak negeri Muslim, tidak terkecuali Indonesia, di mana muncul beragama kelompok masyarakat yang menaruh perhatian dan menyebarkan gagasan dan ajakan perlunya penerapan syariat Islam.

Munculnya upaya penegakan syariat Islam melalui pembuatan Perda Syariat di banyak daerah merupakan impact dari euphoria demokrasi yang terjadi di tingkat Pusat. Namun, apa yang disebut Peraturan Daerah (Perda Syariat) menjadi isu kontroversial. Satu pihak menganggapnya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang produk hukum dan perundang-undangannya harus berlaku bagi semua rakyat. Karenanya, apa yang disebut Perda Syariat harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum, karena hanya berlaku dan diperuntukkan bagi umat Islam. Sementara pihak lain memandang bahwa apa yang disebut sebagai Perda Syariat, yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (DPRD) itu, baik propinsi maupun kabupaten/kota, adalah produk demokratis yang mencerminkan aspirasi (mayoritas) rakyat.

Masing-masing kubu pemikiran mempunyai pendukungnya sendiri. Kubu kedua (pendukung Perda Syariat), biasanya terdiri dari partai-partai Islam atau partai-partai berbasis massa Muslim, dan pemerintah daerah yang terpilih atas dukungan partai-partai tersebut, atau pemerintah daerah dengan arus kuat aspirasi Islam politik. Bahkan, dalam beberapa kasus ide Perda Syariat juga didukung oleh partai-partai lain di daerah yang menjadi basis kelompok aspiran Muslim. Sementara kubu pertama, penolak Perda Syariat, adalah partai-partai sekuler dan pemerintah daerah dengan masyarakat non-Muslim atau elemen-elemen yang menolak Islam politik yang bersifat legalistik-formalistik. Kubu pertama ini mencakup pemerintah pusat yang berpandangan bahwa hukum positif, baik tingkat nasional dan lokal, haruslah berlaku menyeluruh bagi semua kelompok masyarakat (hal ini tercermin dari perintah Presiden Joko Widodo kepada Mendagri untuk mengevaluasi perda-perda yang bertentangan dengan konstitusi, termasuk Perda Syariat, dan Mendagri sempat membatalkan sejumlah Perda Syariat).

Buku yang berasal dari disertasi Ma’mun Murod Al-Barbasy ini, sebagaimana dikatakan Din Syamsudin dalam kata pengantarnya, membahas kasus Perda ”Syariat” di Kota Tasikmalaya secara jernih dan apa adanya. Walaupun bersifat kasuistik dari suatu daerah, namun studi ini dapat menjelaskan fenomena apa yang disebut Perda Syariat secara nasional. Tentu pembentukan dan penerapan perda seperti itu bervariasi dari daerah ke daerah, namun terdapat benang merah yang sama, yaitu bahwa perda-perda itu merekonstruksi realitas dalam kehidupan masyarakat dan berniat baik untuk memberi solusi bagi terwujudnya masyarakat yang bermoral. Dalam kaitan ini, buku ini penting dan perlu dibaca. (Imron N Geasil)

Exit mobile version