Judul Buku : Buya Hamka (Sebuah Novel Biografi)
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Imania Jakarta
Cetakan 1 : April 2018
Tebal Buku : 839 hlm
Sebuah novel biografi yang sempurna. Merangkum semesta Hamka yang par excellent. Haidar Musyafa berhasil menyajikan kepingan kehidupan Buya Hamka dengan penuturan yang hidup. Rangkaian peristiwa demi peristiwa yang penting dan memberi dampak pada pembentukan diri seorang Hamka berhasil dihadirkan. Membaca karya ini, kita akan disuguhi bahwa Hamka adalah sosok teladan dalam segenap kiprah dan dedikasinya: sebagai agamawan, negarawan, sejarawan, sastrawan, wartawan, mufassir, orator, dan seterusnya.
Manusia merupakan akumulasi dari perjalanan panjang melewati beragam persimpangan. Sebuah kepribadian ditempa oleh masa lalu. Horison pertemanan, jalinan pengalaman, jangkauan bacaan, dan pemaknaan-pemaknaan atas apa yang ditakdirkan merupakan hal yang membedakan kualitas setiap orang. Tenunan antara helai jatuh, bangun, bangkit, berlari, merupakan wujud dari sikap riang menyongsong takdir dan merayakan hidup.
Ketika hari ini kita mengenal sosok ulama paripurna bereputasi dunia, maka ada bagian-bagian penting dalam hidupnya yang perlu diketahui. Tidak sekali jadi, ada proses yang harus dilewati. Meskipun tidak pernah menamatkan sekolah formal, Hamka merupakan sosok petualang sejati dalam pengembaraannya menuntut ilmu dan menempa diri. Seorang manusia yang tumbuh mendewasa dengan tidak biasa.
Novel ini memberi gambaran utuh tentang dunia Hamka. Saya berkali-kali tertegun dengan rentetan peristiwa yang dikisahkan dalam karya ini. Terutama tentang masa kecil seorang Hamka. Haidar Musyafa sama sekali tidak memiliki beban moral untuk menguliti seorang Hamka yang masa kecilnya nakal dan suka memberontak pada ayahnya. Novel ini tidak menutup-nutupi marwah seorang ulama besar. Justru, memberi gambaran bahwa seseorang itu dibentuk oleh susunan puzzle yang penuh lika-liku. Bukan aib, jika seseorang punya masa lalu yang kelam. Sebuah pesan yang ingin disampaikan bahwa kehidupan manusia ini misterius, manusia tidak bisa menebak dirinya akan di mana dan ke mana.
Tiba-tiba saya teringat pernyataan Wakil Ketua MUI Prof Yunahar Ilyas dalam bedah buku Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern (2017) di UAD Yogyakarta. Katanya berkelakar, “Hamka itu kecilnya nakal luar biasa. Saya justru khawatir pada anak-anak hari ini yang lurus-lurus saja, besarnya akan jadi apa.” Maksudnya, anak-anak yang dianggap nakal, jangan buru-buru divonis tidak akan sukses di masa depan. Dengan alasan nakal dan super aktif, para pendidik atau orang tua tidak berhak untuk memasung kreatifitas dan kebebasan sang anak.
Hamka lahir di Nagari Sungai Batang pada 17 Februari 1908, dari keluarga berkecukupan dan berpendidikan. Tidak mudah bagi Hamka muda untuk lepas dari bayang-bayang nama besar ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), seorang ulama terkemuka yang berdakwah di Tanah Minang. Madrasah Thawalib melekat pada diri Haji Rasul. Kakek Hamka juga merupakan ulama yang disegani. Praktis, Hamka dijejali harapan sebagai pembawa obor Islam di kemudian hari, melanjutkan dakwah sang ayah dan kakek.
Atas harapan itu, semenjak kecil, Hamka disuguhi pelajaran ilmu-ilmu agama. Di Diniyah School dan Madrasah Thawalib sekaligus. Bahkan di malam hari, Hamka masih harus ke surau untuk belajar membaca al-Qur’an. Jiwa kanak-kanaknya terampas. Itulah awal mula kegelisahan, “Aturan-aturan Ayahanda Haji Rasul yang sangat ketat itu membuatku tak bisa mengekspresikan diri secara maksimal… Meski ilmu-ilmu yang diajarkan itu sangat penting untuk masa depanku, tapi gaya penyampaiannya yang keras dan terkesan kaku membuat jiwa kanak-kanakku merasa bosan. Sehingga aku pun malas untuk belajar” (hlm. 25).
Pemberontakan seorang anak dimulai. Haji Rasul hampir menyerah dan tak sanggup mendidik Hamka. Pernah, Hamka dikirim ke Pondok Pesantrian Parabek di bawah asuhan Syaikh Ibrahim Musa, yang juga sahabat dan murid dari Haji Rasul. Syaikh ini memiliki kelembutan dan kasih sayang lebih kepada para santrinya dan khususnya kepada Hamka. Namun, tetap saja hal itu tidak membuat Hamka luluh dan betah di pesantren. Hamka tidak kerasan dengan metode pembelajaran yang menoton, tanpa ada tukar pendapat.
Ketika sedang jenuh di Parabek, Hamka mengajak beberapa temannya yang malas untuk keluar pondokan secara diam-diam. Pergi ke bioskop untuk menonton film, ke pasar untuk menyabung ayam atau berjudi. Hamka muda ikut membeli seekor ayam aduan yang sangat bagus dan gagah (hlm. 80). Tujuh bulan bertahan, Hamka meninggalkan pesantren menuju Payakumbuh, menemui seorang peternak kuda pacu yang dikenalnya di pasar ketika dulu keluar pondok untuk menyabung ayam. Tanpa uang di saku, Hamka minta untuk diajari cara berkuda dan rela merawat kuda-kuda majikan ini sebagai imbalannya. Sampai Hamka diikutkan dalam sebuah lomba pacuan kuda. Kepiawaian Hamka memacu kuda dikalahlah oleh peserta lain. Majikan pemilik kuda kecewa dan Hamka diusir.
Hamka pulang ke kampungnya dan kembali menghabiskan banyak waktu di Bibliotek Zainaro milik Syaikh Zainuddin Labay El-Yunusy, yang juga guru Hamka di Diniyah School. Kata Syaikh Zainuddin, “Sebelumnya, saya menilaimu sebagai anak yang malas belajar karena sering membolos sekolah. Tapi melihat keseriusanmu membaca buku-buku di sini, saya sadar telah salah menilaimu. Ternyata kamu anak yang rajin dan cerdas” (hlm. 39). Bagi Hamka, menyelami pengetahuan di perpustakaan ini lebih mengasikkan dibanding harus duduk dan diam di kelas.
Tidak puas membaca di bibliotek, Hamka mencari cara supaya tumpukan pengetahuan itu bisa dibawa pulang untuk dibaca di kamarnya. Dengan kecerdikannya, Hamka berhasil mengakali izin, menyampul buku-buku tersebut dengan membawanya ke rumah. Dan itulah kesempatan Hamka membawa pulang buku sembari tetap harus menyembunyikan buku-buku itu dari ayahnya (hlm. 41). Hamka kecil merupakan pembaca yang rakus. Tidak membatasi diri untuk membaca ilmu-ilmu agama saja.
Ketika sedang jenuh membaca, Hamka belajar seni beladiri Silek pada pamannya, Kari Manamin. Dalam waktu singkat, Hamka mahir menguasai banyak jurus-jurus Silek. Pamannya sering menasehati supaya jurus-jurus yang dikuasai, digunakan untuk membela diri, bukan untuk melukai orang lain. Namun, jiwa muda Hamka yang masih bergelora tertantang untuk menguji ilmunya. Suatu saat, Hamka menantang preman yang paling ditakuti di dekat pasar. Keduanya pun beradu jurus. Pada mulanya dengan tangan kosong, lalu berlanjut dengan duel senjata tajam. Hamka akhirnya rubuh dan tubuhnya penuh luka (hlm. 104-106).
Hamka adalah sosok yang banyak bergaul. Pertemanannya sangat luas. Dari buku yang dibaca dan orang yang ditemui, Hamka mengkonstruksi dirinya. Hamka belajar dari pengalamannya dan pengalaman orang yang ditemuinya. Hamka sering ke pusat keramaian. Mendengarkan kaba, yaitu cerita rakyat yang disajikan dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik khas Minangkabau.
Ketika ayahnya melarang dan menganggap para pemain kaba tidak mengenyam bangku pendidikan formal, Hamka menjawab tegas, “Pengalaman mereka (pemain kaba) jauh lebih banyak, karena belajar dan mencari pengalaman di alam bebas. Tidak seperti anak-anak sekolahan yang hanya bisa duduk terkurung di ruangan pengap sambil mendengarkan para guru bercerita yang terkadang tak ada maknanya” (hlm. 35).
Hamka ditimpa banyak kepahitan hidup. Umur 12 tahun, ayahanda menceraikan ibu kandungnya, Shafiyah. Adat istiadat menjadi alasan. Peristiwa itu benar-benar mengguncang Hamka. Sosok ibu selama ini menjadi oase yang mencurahkan segenap kasih sayang pada jiwa Hamka yang sering dikekang. Sampai Hamka sempat berpandangan bahwa ayahnya adalah sosok lelaki yang kejam dan tega menelantarkan istrinya (hlm. 63). Kelak dalam beberapa karyanya, Hamka berusaha mendobrak adat istiadat leluhurnya yang bertentangan dengan nilai-nilai kemajuan dan kemanfaatan.
Puncak kekecewaannya, Hamka ingin pergi jauh dari ayahanda dan mencari pengalaman baru. Ia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa ia bisa belajar dengan caranya sendiri. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Hamka muda meninggalkan rumah di suatu malam. Berjalan seorang diri, keluar masuk hutan, menembus rimba. Tekadnya ingin menuju Pulau Jawa. Sesampai di Bengkulu, Hamka mengalami sakit cacar. Kulitnya membusuk. Kondisinya semakin hari semakin memprihatinkan, hingga sepasang suami-istri menampung serta mengobatinya.
Hamka kemudian kembali ke pangkuan orang tua dan mengurungkan niat ke Pulau Jawa. Sekembali ke Padangpanjang, Hamka bahkan ditinggalkan oleh sosok perempuan yang selama ini saling bertaut kasih asmara dan sangat mengaguminya. Sebabnya, Hamka yang sebelumnya tampan berubah oleh sebab penyakit cacar. Hamka sempat terpuruk.
Keinginan Hamka ke Tanah Jawa belum memudar. Desember 1924, Hamka bersama dengan saudagar Minangkabau, Marah Intan, berlayar ke Batavia dan kemudian ke Yogyakarta. Di kota pelajar ini, Hamka tinggal bersama pamannya, Ja’far Amrullah. Sosok inilah yang mengenalkan Hamka pada dunia pergerakan dan tokoh-tokoh progresif di Yogyakarta ketika itu. Hamka pun akrab dengan tokoh organisasi Muhammadiyah, Sarekat Islam, Tamansiswa, Budi Utomo, dan lainnya.
Hamka berkenalan dengan Kiai Haji Fachruddin, Ki Bagoes Hadikoesoemo hingga HOS Tjokroaminoto. Perjumpaan dengan para tokoh ini semakin membuka wawasan Hamka. Terpana dengan gagasan sosialisme Islam Tjokroaminoto, Hamka masuk menjadi anggota Sarekat Islam di usia 17 tahun. Tak berapa lama, Hamka tertarik dengan gagasan Muhammadiyah. Begitu tahu, banyak anggota Muhammadiyah dan Sarekat Islam merangkap organisasi, Hamka pun mendaftarkan diri sebagai anggota Muhammadiyah. Kedua organisasi ini memiliki visi misi yang sejalan dan saling mendukung. Jika Sarekat Islam melawan penjajah Belanda secara terang-terangan, maka Muhammadiyah melawan secara halus seraya mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul, membangun tata kelola pendidikan dan tatanan sosial modern, sehingga bisa sejajar dengan bangsa Barat yang telah maju.
Bertemu para tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang piawai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, Hamka juga menyatakan keinginannya untuk belajar menulis kepada Tjokroaminoto. Enam bulan di Yogyakarta, Hamka ikut dalam rombongan yang berangkat ke Bandung untuk memperdalam agama dan dunia kepenulisan pada Mohammad Natsir dan Ahmad Hasan. Bukan perkara mudah bagi Hamka untuk belajar menulis, namun dorongan dari Natsir dan A Hassan selalu menjadi cambuk untuk tidak menyerah. Setoran tulisan Hamka yang ke sepuluh akhirnya dimuat di majalah Pembela Islam (hlm. 206-209). Di kemudian hari, motivasi itu datang dari Haji Rasul, yang meminta Hamka banyak membaca sehingga punya banyak gagasan untuk ditulis.
Hamka lalu ke Pekalongan menemui kakak iparnya AR Sutan Mansur. Kemudian kembali ke Minangkabau dan bergiat di buletin Tabligh Muhammadiyah (hlm. 215). Hamka mulai piawai menulis dan sering mengirimkan tulisan ke berbagai koran dan majalah di Pulau Jawa, terutama Yogyakarta. Ia juga mulai kecanduan berpidato. Kumpulan pidatonya kemudian diterbitkan dengan judul Khattib al-Ummah. Pidatonya sering diremehkan para sejawat, bahkan oleh ayahnya.
Kata Haji Rasul, “Sebaiknya engkau isi otakmu itu dengan ilmu, belajar yang rajin. Jangan hanya sibuk berceramah yang tak ada manfaatnya sama sekali seperti itu. Percuma engkau merantau jauh-jauh ke Jawa, jika yang didapat hanya ilmu membual, mengobral kata-kata tiada guna.” Kalimat itu membuatnya kecewa. Hinaan itu pula yang dijadikan pemacu untuk membuktikan bahwa dia layak berpidato. Ia pun berkeinginan berangkat haji dan belajar ke Tanah Suci (hlm. 220).
Keinginan ini sempat gagal karena kampung halaman, termasuk rumah ayahnya beserta Madrasah Thawalib luluh lantak akibat gempa besar. Hamka yang ketika itu sudah tiba di Medan (untuk selanjutnya berlayar ke tanah suci), kembali lagi ke orang tuanya dan menyerahkan uang yang dikumpulkan untuk biaya haji kepada ayahnya. Ayahanda terharu dan menyesal. Hamka sadar bahwa kasih sayang ayahnya amatlah besar dibalik sikap kerasnya selama ini. Menebus rasa bersalah, Hamka bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk menikah dengan Siti Raham bin Endah Sultan, pada 5 April 1929. Saat itu, 21 tahun usia Hamka dan Siti Raham 15 tahun.
Sejak pernikahan, Hamka bersikeras untuk mandiri dan tidak lagi menumpang di rumah Haji Rasul, meskipun berkali-kali ditawari. Keduanya memilih tinggal di sebuah kamar asrama santri Tabligh School milik Muhammadiyah. Dari kamar sederhana ini, sebuah istana keluarga bahagia sedang dibangun. Beberapa kali, Hamka merasa bersalah karena belum bisa menjadi lelaki mapan. Hatinya semakin perih ketika istri tercinta diam-diam menjual pakaian dan perkakas rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (313-320).
Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke tanah suci menggunakan Kapal Karimata. Dengan menumpang hidup dan bekerja pada seorang pengusaha percetakan Hamid bin Majid Kurdi, Hamka belajar pada beberapa ulama di tanah Arab, terutama Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Sempat menjadi pemandu jamaah haji. Hamka juga mulai tertarik dengan gagasan pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha. Hamka pernah berkeinginan untuk menetap di Mekkah (karena hinaan orang-orang kampung kepada Hamka yang tidak punya ijazah sekolah), sampai akhirnya bertemu dengan Agus Salim dan membujuknya untuk segera pulang ke tanah air.
Sepulang dari Tanah Arab, Hamka disambut oleh ayahnya dengan mengharu-biru. Kali ini, ayahanda benar-benar bangga pada Hamka yang dianggapnya telah mengalami lompatan pengetahuan. Berbeda dengan ketika kembali dari Jawa, Hamka yang kembali dari Mekkah dianggap telah mengisi otaknya dengan ilmu agama. Haji Rasul menghadiahkan jubah dan serban terbaik untuk Hamka, sebagai wujud pengakuannya pada anaknya. Sejak saat itu, Hamka membantu sang ayah menjadi penyeru dakwah Islam dan aktivis Muhammadiyah di Sumatera Barat. Mendirikan Tabligh School untuk mengkader pemuda Muhammadiyah menjadi mubaligh. Di tahun 1935, Tabligh School berganti nama menjadi Kulliatul Muballighin.
Hamka dan pengurus Muhammadiyah Padangpanjang kemudian menerbitkan majalah Kemauan Zaman. Jauh setelahnya, atas permintaan KH Wahid Hasyim, Hamka menginisiasi majalah Mimbar Agama Departemen Agama. Hamka juga menggawangi terbitnya majalah Gema Islam, atas permintaan Jenderal Sudirman, Kolonel Muchlas Rowi dan dorongan KH Faqih Usman. Terlibat juga di majalah Pedoman Masyarakat (dibekukan Dai Nippon), Panji Masyarakat (dibredel Soekarno). Menjadi koresponden di majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Hamka juga menjadi wartawan beberapa buah surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Dunia jurnalistik, kepenulisan, dan kewartawanan menjadi jiwa Hamka. Rosihan Anwar menyebutnya sebagai wartawan besar.
Novel karya Haidar Musyafa ini sangat detil dalam menguraikan sepak terjang Buya Hamka. Publik bisa memahami bahwa ketokohan Hamka memang dirajut dari proses panjang. Hamka bertemu banyak orang, melawat ke banyak tempat, dan meramu berbagai makna dan hikmah dari setiap perjalanannya. Hamka pernah ke Amerika, Eropa, Pakistan, Mesir, Arab Saudi. Beberapa kisah perjalanannya sempat dituliskan Hamka dalam tulisan semisal, Empat Bulan di Amerika (hlm. 515).
Sampai di Barat, Hamka mengagumi kemajuan Barat, sisi lain Hamka mengkritik kemodernan yang nirnorma dan etika. Hamka bangga dengan nilai-nilai ketimurannya. Nurcholish Madjid dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka menulis, “Hamka berhasil mengubah postur kumal seorang kiai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan hormat dan respek.”
Di berbagai negara tersebut, Hamka menyampaikan pidatonya yang memukau. Banyak para tokoh dan tamu mancanegara yang terkesan dengan gagasan Hamka. Semisal ketika di Mesir, para pimpinan negara dan syaikh al-Azhar terkesan dengan paparan makalah Hamka tentang pengaruh paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Pemikir Muslim ternama yang hadir dalam forum itu antara lain Syaikh Ahmad Syarbasyi (Ketua Umum Asy Syabbanul Muslimun), Dr Muhammad Al-Bahay, Prof Dr Osman Amien, Syaikh Mahmoud Syaltot (perwakilan Universitas Al-Azhar).
Karena gagasan dan kiprahnya di bidang pergerakan dan pembaharuan Islam, Hamka pun dipromosikan untuk mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir (hlm. 541). Gelar serupa juga diterima Hamka dari Universitas Nasional Malaysia (PM Malaysia Tun Abdul Razak yang hadir dalam upacara ini mengatakan, “Hamka adalah kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”). Universitas Moestopo Jakarta kemudian mengukuhkan gelar guru besarnya. Dalam kesempatan berbeda, Hamka bertemu langsung dengan Thaha Husein, Fikri Abadah, hingga Raja Saud.
Mendedikasikan diri sepenuhnya dalam dunia intelektual, tidak menjadikan Hamka lupa dengan realitas politik. Hamka tetap punya kepedulian yang besar pada nasib bangsa dan perbaikan moralitas publik. Hamka mengenal politik sejak aktif di Sarekat Islam (yang menjadi saluran politik Muhammadiyah ketika itu) dan puncaknya dengan menjadi anggota konstituante dari Masyumi pada 1955, mewakili Jawa Tengah. Hamka dalam sebuah kongres Muhammadiyah juga mengusulkan supaya Muhammadiyah membuat Divisi Hikmah, yang fungsinya mengkaji persolan publik dan kebijakan pemerintah serta wadah bagi kader muda untuk mengetahui dunia politik. Sampai saat ini, Muhammadiyah memiliki Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP).
Novel ini juga mengabadikan perjumpaan awal Hamka dengan Bung Karno di Bengkulu, keduanya menyatakan komitmen pada bangsa. Kata Hamka kepada Bung Karno di hadapan Haji Abdul Karim Oei, “Sudah menjadi tugas kita untuk berjuang dan membangun negeri ini dengan seluruh tenaga, pikiran, dan waktu yang kita miliki” (hlm. 392). Pertemuan itu sangat membekas dalam ingatan keduanya dan terutama Hamka juga terinspirasi banyak dari Soekarno yang lebih muda.
Kisah Hamka dengan Soekarno juga mendapat porsi yang cukup besar dalam karya ini, bagaimana awal mula pertemuan, kedekatan dua tokoh, lalu perseteruan keduanya, Soekarno memenjarakan Hamka dengan tuduhan makar, hingga akhirnya Hamka bersedia mengimami jenazah Soekarno. Sebuah keteladanan negarawan yang menanggalkan ego dan dendam kesumat. Jiwa besar yang semakin langka di masa sekarang. Keduanya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dalam waktu beriringan, Hamka pada tahun 2011 dan Soekarno tahun 2012.
Karya ini merangkai apik tentang masa-masa Hamka di penjara, peranan besar Hamka di Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta kontroversi fatwa Natal, Hamka berdakwah di tanah Bugis Makassar, bergerak di Yayasan Al-Azhar. Bahkan juga tak melewatkan bagaimana ketika Hamka difitnah dan harus belajar ikhlas. Termasuk bagaimana ketika novel Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dituduh plagiat oleh Abdullah SP dan Pramoedya Ananta Toer, menjiplak novel Sous Les Tilleuls karya Alphonse Karr.
Polemik ini berakhir ketika beberapa sastrawan besar Nusantara semisal HB Jassin, Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, dan Soewardi Idris melakukan kajian dan penilaian selama tiga bulan dan hasilnya menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah murni karya Hamka dan tidak ada unsur plagiarisme (hlm. 610). Kecintaannya pada dunia sastra menjadi nilai tambah bagi Hamka. Dengan sastra, sisi intuisi dan kepekaannya terasah tajam.
Dalam suatu kesempatan, Ahmad Syafii Maarif menyebut Buya Hamka sebagai sosok yang percaya diri. Hamka berani bergaul dengan siapa saja, tak takut belajar apa saja. Membaca semua karya ilmuan Timur dan Barat. Tidak ada yang perlu dicurigai berlebihan, karena Timur dan Barat adalah ciptaan Allah. Hamka membaca karya ulama, sosiolog, sejarawan, filosof, sastrawan. Di antaranya Syaikh Zaki Mubarak, Syaikh Jurji Zaidan, Syaikh Abbas al-Aqqad, Syaikh Mustafa Al-Manfaluti, Syaikh Muhammad Husain Haikal. Ada juga Albert Camus, Willian James, Arnold Toynbee, Jeen Paul Sartre, Sigmund Freud, Pierre Loti, Karl Marx, dan lainnya (hlm. 284-285). Hamka merupakan ulama yang sangat terbuka. Berbagai bacaan tersebut telah menajamkan akal budi dan mata hatinya.
Ketika Pemerintahan Dai Nippon Jepang menduduki Hindia Belanda, lagi-lagi Hamka menunjukkan kepiawan dan kepekaan nuraninya. Hamka yang ketika itu menjabat sebagai ketua Muhammadiyah Sumatera Timur dan pimpinan redaksi majalah Pedoman Masyarakat harus cerdik berkompromi secara koperatif, bukan konfrontasi. Dai Nippon membekukan semua perkumpulan Bumi Putera serta semua penerbitan majalah dan surat kabar, yang dianggap sebagai corong perlawanan. Melawan sama artinya dengan bunuh diri.
Hamka pun menjalin hubungan baik nan elegan dengan Letnan Jenderal T. Nakashima. Jenderal Jepang ini terkagum dengan Hamka yang berpendidikan. Setelah melalui diskusi dan negosiasi, Muhammadiyah Sumatera Timur tidak jadi dibekukan, sementara majalah Pedoman Masyarakat tetap dibekukan, tetapi tidak ada larangan untuk membuat majalah baru. Celah itulah yang dimanfaatkan Hamka untuk mengantongi izin menerbitkan majalah Seruan Islam, yang tak lain adalah reinkarnasi dari majalah Pedoman Masyarakat (hlm. 422-432).
Semuan jalinan itu mempengaruhi gaya berpikir Hamka. Tafsir Al-Azhar yang ditulis Hamka di penjara selama dua tahun (1964-1966), sangat kental nuansa sosial-kemasyarakatan. Sebuah tafsir yang tidak lahir dari ruang hampa, tetapi diramu dari perjalanan panjang dan pengalaman keseharian. Sehingga hasilnya sangat membumi, dekat dengan pembaca dan bahasa tuturan yang renyah dinikmati. Demikian juga dengan karya-karya lainnya.
Hamka yang menolak poligami dan anti terhadap pengekangan terhadap kebebasan anak juga bagian dari eksternalisasi pengalaman panjang Hamka. Dalam bukunya Falsafah Hidup, Hamka menulis, “Berikan pada anak kebebasan berpikir dan tuntunlah dia di dalam kebebasan. Jangan dipaksakan, anak-anak menerima pelajaran yang tidak sesuai dengan bakatnya, baik oleh gurunya, atau oleh ayah bundanya, atau oleh yang berkuasa. Supaya dia tidak seperti kayu yang layu pucuk, karena tengah hari tepat disiram juga.” (Hamka: 2015, hlm. 241)
Karya Haidar Musyafa ini memberi perspektif yang lebih segar dalam memahami kehidupan Buya Hamka. Gaya penuturan bercerita membuat pembaca bisa menikmati alur peristiwa demi peristiwa yang telah diurutkan dengan kronologis. Riset mendalam menjadi kelebihan setiap novel biografi karya Haidar. Satu-satunya kekurangan novel ini adalah karena keinginan penulisnya untuk memasukkan semua data-data sejarah, yang dampaknya di bagian tertentu kehilangan nilai estetis yang biasanya menonjol dari sebuah karya novel. Terlepas dari itu, novel ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan usia. Wallahu’alam. (Muhammad Ridha Basri)