CANBERRA, Suara Muhammadiyah- Beberapa waktu lalu Komunitas Pengajian Khataman Canberra menyelenggarakan diskusi yang bertajuk “Ikhtiar Muhammadiyah dalam Pengembangan Ekonomi Umat”. Kali ini, Ketua Komunitas Khataman Canberra, Muhammad Hariyadi Setiawan, menghadirka Drs. Moh. Mas’udi, M.Ag, selaku Sekretaris Majelis Tarjih, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam acara ini hadir pula pelbagai komunitas seperti Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Australia mahasiswa dengan pelbagai disiplin ilmu yang digeluti, khususnya kebijakan publik, ekonomi dan politik.
Pada kesempatan tersebut, Moh. Mas’udi memperkenalkan praktik Ekonomi Islam yang sangat berpotensi mampu membangun ekonomi masyarakat dari lapisan terbawahnya, sekaligus melawan segala tekanan kapitalisme neoliberal.
Secara reflektif, ia menandaskan bahwa sebenarnya praktik Ekonomi Islam saat ini, memang tidak mudah untuk terlepas dari jeratan kapitalisme yang dehumanistik; yang hanya menguntungkan pemilik kapital dan semakin memarginalkan kaum miskin. Terlebih bahwa, kapitalisme neo-liberal telah menguasai seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama aspek politik dan pemerintahan, hukum dan perundang-undangan, serta kehidupan sosial dan kebudayaan.
Segala produk yang dikonsumsi oleh orang Indonesia, sejak bangun tidur hingga kembali ke peraduan, telah dikuasai oleh pelbagai korporasi, terutama korporasi asing. Di saat yang sama, daya saing yang dimiliki oleh orang bangsa terlalu lemah dan bahkan dilemahkan oleh “daulat pasar multinasional”. Singkat cerita, “pasar kerakyatan” tidak cukup berdaulat berhadapan dengan kontestasi ekonomi pasar bebas yang sedemikian beringas dan trengginas.
Yang paling menggegerkan adalah penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Alih-alih menaati amanat konstitusi, dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat banyak, hal tersebut malah menjadi lumbung penghidupan bagi pelbagai korporasi multinasional. Dalam bidang pertambangan misalnya, bangsa Indonesia tampaknya memang tidak terlampau berdaulat di hadapan para pemilik kapital yang sangat digdaya itu.
Dalam jerat benang kusut ekonomi neoliberal yang sulit sekali diurai, akibat yang ditimbulkan sangatlah terasa, terutama bagi rakyat kecil. Tatkala harga minyak dunia naik misalnya, sementara itu pemerintah hendak mencabut subsidi minyak, maka kenaikan harga minyak di dalam negeri tidak dapat dihindari. Tentu saja dengan naiknya harga minyak ini, harga-harga lainnya turut membumbung tinggi. Dengan pendapatan harian yang tidak menentu, orang-orang miskin seperti semakin terpojok; penderitaannya semakin berat karena ketidakmampuan membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Setali tiga uang, di tengah segala keprihatinan ini, menurutnya, praktik Ekonomi Islam yang ada sangatlah terbatas. Yang paling tampak di permukaan adalah Perbankan Syariah, Asuransi Syariah dan “Baitul Maal wa Tamwil” atau lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Sayangnya, praktik-praktik Ekonomi Islam yang demikian, masihlah belum mampu menyejahterakan rakyat. Bahkan dalam pelbagai praktik tertentu, justru menjadi penetrasi pasar kapitalisme neoliberal dengan sasaran pasarnya (konsumennya) adalah kaum Muslim.
Kendati sedemikian rumit, menurut Moh. Mas’udi, jalan penyelesaiannya harus diupayakan. Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini berhemat bahwa, umat Islam Indonesia perlu pelbagai strategi ekonomi yang bersifat kooperatif. Artinya saling bergotong-royong untuk menyejahterakan, bersama-sama menuju kesuksesan ekonomi dan melindungi “pasar kerakyatan” mereka dari serangan pasar kapitalisme global.
Seperti yang dilakukan oleh UMY, yakni menginisiasi lahirnya program Beduk Mutu. Program ini adalah kepanjangan dari Bela Beli Produk Muhammadiyah Bermutu. Program ini semacam membuka pasar yang berupa supermarket, namun memiliki proteksi yang kuat dari serangan pasar bebas dan tentu saja, persaingan bebas.
Beduk Mutu ini diselenggarakan untuk menjembatani hubungan ekonomi antara penjual dan pembeli, khususnya di lingkungan Muhammadiyah. Nilai tambahnya adalah, konsumen non-Muhammadiyah juga dipersilahkan untuk datang dan berbelanja. Karena itu, segmen pasarnya sangat jelas.
Jadi, di samping sirkulasi finansial hanya beredar di sekitar komunitas, komoditas yang terbaik dan bermutu juga dapat dinikmati para konsumennya. Seutuhnya aktivitas pasar Beduk Mutu dapat dikontrol dengan baik. Artinya, para produsen atau pemasok barang tidak perlu resah memikirkan masalah “spekulasi harga” yang biasanya dapat dipermainkan oleh para pemain pasar yang tidak pernah peduli dengan nasib kemanusiaan.
Menurutnya, memang pasar komunitas Beduk Mutu ini memerlukan pengembangan-pengembangan selanjutnya, untuk dapat lebn ih menyejahterakan baik itu bagi produsen maupun konsumennya. Meskipun tidak ada persaingan, kecuali persaingan di antara komunitas setempat, bukan berarti kreativitas dan inovasi mengenai mutu produk tidak perlu diupayakan.
Barangkali Beduk Mutu ini juga sama sekali belum menyentuh masalah-masalah ekonomi-politik kebangsaan yang begitu rumit. Akan tetapi, sekurang-kurangnya ada sesuatu yang terus diupayakan, sehingga tidak menyerah begitu saja. Islam mengajarkan agar supaya kaum beriman terus-menerus berupaya mencari solusi bagi pelbagai masalah yang dihadapinya, terutama masalah kapitalisme yang dehumanistik. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam salah satu ayat al-Qur’an surat al-Hasyr, yang secara moral menyeru bahwa “agar supaya kapital itu tidak dikuasai, dihegemoni, atau didominasi kaum kapitalis belaka.” [hb].