YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Dialog Ideopolitor Gelombang II pada Jum’at (27/7) yang bertempat di Jayakarta Hotel, Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan keynote speech dalam acara ini. Turut hadir Ketua PP Muhammadiyah Dahlan Rais, Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, dan juga Ketua MPK PP Muhammadiyah Ari Anshori.
Muhammadiyah berada dalam dinamika kehidupan kebangsaan dan keagamaan yang kompleks. Haedar menyampaikan bahwa karakter Muhammadiyah sebagai organisasi tengahan dituntut untuk memerankan gerakan yang lebih dinamis. Sesuai dengan konteks kehidupan yang dipenuhi oleh ragam aliran dan corak ideologi yang heterogen.
“Setelah kita bergerak secara optimal dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi dan juga politik, maka kita juga perlu berfikir untuk memainkan peran dakwah dalam konteks kekinian yang lebih dinamis,” tutur Haedar.
Haedar menyebutkan lima hal yang perlu menjadi perhatian dalam diskusi ideopolitor kali ini. Pertama, terkait paham keislaman. “Perjuangan paham keislaman Muhammadiyah yang utama adalah al-ruju ila al-Qur’an wa al-sunnah,” ungkapnya. Dalam hal memahami ajaran Islam dan penafsiran terhadapnya, Muhammadiyah senantiasa berpedoman pada prinsip manhaj tarjih.
Meskipun sama-sama mengusung jargon al-ruju ila al-Qur’an wa al-sunnah, Muhammadiyah tidak sama dengan banyak gerakan salafi lainnya. Yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan purifikasi lainnya adalah bahwa Muhammadiyah selain melakukan purifikasi juga mengembangkan dinamisasi atau modernisasi.
“Tajdid Muhammadiyah bergerak antara pemurnian dan juga pengembangan. Bagaimana kita tidak hanya fokus pada aktualisasi, namun juga meningkatkan perspektif kita dalam memahami Al-Quran, baik pada bayani, burhani, dan irfani,” tutur Haedar. Pemahaman al-Qur’an yang tidak tekstual ini menghasilkan penafsiran yang mampu memberi konstribusi bagi permasalahan masyarakat kontemporer.
Kedua, dimensi ideologis. Muhammadiyah dengan segenap manhaj dan ideologinya telah sangat mumpuni untuk memandu kehidupan warganya. Ke depan, Muhammadiyah harus membangun pranata-pranata sosial modern baru. “Kelebihan modern dakwah Muhammadiyah yakni menghasilkan gerakan amaliyah,” imbuh Haedar.
Ketiga, dinamisasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah (AUM). “Kita perlu melakukan pembaharuan organisasi dan aum, jangan merasa nyaman dengan apa yang kita miliki, kita harus memperluas jaringan dan pendirian AUM,” tutur Haedar. Amal-amal usaha Muhammadiyah sebagai pusat keunggulan perlu terus dihadirkan dalam semua aspek kehidupan dengan inovasi-inovasi.
Keempat, dimensi peran keumatan, kebangsaan dan kemasyarakatan universal. Dengan karakternya yang moderat, Muhammadiyah bisa menjadi jembatan bagi segenap gerakan dan kelompok lainnya. “Muhammadiyah harus bisa mengambil peran dalam keumatan, kebangsaan, dan kemasyarakatan secara universal. Kita coba memberi pandangan dan orientasi keislaman di tengah konteks kekinian dan masa depan,” jelas Haedar.
Kelima, strategi perjuangan. Langkah dakwah Muhammadiyah dilakukan secara kultural. Adapun dalam ranah politik, Muhammadiyah dipandu oleh khittah. “Muhammadiyah secara organisasi tidak berada pada perjuangan politik praktis, tetapi Muhammadiyah mendorong kader-kader untuk mengambil peran-peran kebangsaan,” pungkas Haedar Nashir. (ribas/ppmuh)