YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bentuk kecurangan di dunia pendidikan salah satunya praktik ‘perjokian’, masih menuai keresahan di kalangan pengelola perguruan tinggi. Dari tahun ke tahun, kasus perjokian tak pernah surut, sedangkan penanganan secara hukum terhadap praktik perjokian sendiri belum diatur. Modus-modus perjokian semakin hari kian berkembang. Padahal, sistem keamanan dan pemeriksaan yang diupayakan sudah tergolong sangat ketat. Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menjadi salah satu perguruan tinggi yang diresahkan oleh praktik tersebut.
Belum lama membuka Fakultas Kedokteran di kampusnya, petugas Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) UAD mendapati sejumlah calon mahasiswanya memanfaatkan jasa joki dalam test masuk Fakultas Kedokteran gelombang ke 3. Tepatnya pada Ahad, (29/7) UAD berhasil menciduk 9 peserta test yang melakukan kecurangan tersebut. Imam Azhari, Kepada Bidang Administrasi dan Evaluasi Akademik UAD mengatakan bahwa paktek kecurangan dibuktikan dengan keberadaan sejumlah barang bukti. Di antaranya adalah ear piece, ponsel, Aki, Access Point, tas berisikan alat-alat pemancar, baju yang sudah dilubangi, rambut palsu, juga jilbab.
“9 orang di antaranya 7 yang menggunakan earpiece, di antara 7 itu 1 orang dengan ponsel diletakkan di dadanya untuk memotret soal, dan 2 orang yang membawa tas berisikan peralatan seperti aki, access point, dan lain-lain. Mereka semua menggunakan jasa joki yang sama yang saling bekerjasama,” terangnya dalam konferensi pers yang digelar UAD di Ruang Sidang Rektorat, Senin (30/7).
Sejumlah pelaku kecurangan juga tertangkap oleh panitia setelah diperiksa menggunakan metal detector. Satu peserta test yang membawa ponsel untuk memotret soal pun terciduk karena gelagat mencurigakannya tercium oleh panitia test. “Kami mendapati beberapa gambar soal sudah berhasil diambil pelaku melalui ponsel untuk dikirimkan ke joki yang ada di luar kampus, namun belum sampai selesai kami sudah bisa mengamankan peserta test dan melakukan penyisiran lebih lanjut. Jadi tidak ada soalnya bocor,” kata Imam.
Sebelumnya, peserta tersebut memang lolos dari pemeriksaan karena datang terlambat ke dalam ruangan. Keterlambatan ini menurut Imam sudah direncanakan agar bisa lolos dari pemeriksaan.
“Metal detector mendeteksi keberadaan earpiece yang digunakan oleh sebagian pelaku kecurangan. Namun ada juga yang tidak bisa kita ambil ear piece nya karena terlalu dalam dimasukkan ke dalam telinga sampai pengguna merasa kesakitan. Ini merupakan upaya kamuflase. ” Sebelumnya, di gelombang I penerimaan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, UAD juga berhasil mendapati 2 orang joki yang menggantikan peserta test.
Imam juga menambahkan bahwa sebenarnya alat-alat yang digunakan oleh joki ini tergolong mudah didapatkan. Namun, cukup jelas bahwa mereka sangat mengetahui seluk-beluk IT dan celah-celah yang memungkinkan untuk melakukan kecurangan. “Alat-alat ini bisa ditemukan di pasaran,” tukasnya.
Setelah terciduk, kesembilan pelaku kecurangan tersebut dibawa ke ruangan panitia untuk diinterogasi. Menurut Kepala Biro Akademik dan Admisi UAD, Wahyu Widyaningsih, sebagian besar peserta tidak mengethui sebelumnya bahwa akan ada joki yang membantu mereka dalam mengerjakan soal.
“Mereka ada yang bingung, bahkan yang membawa 2 tas berisi aki dan access point tidak tau apa isi tas mereka. Akan tetapi orang tua mereka lah mengetahui hal tersebut,” jelasnya sembari mengatakan bahwa perkiraan jumlah uang yang akan digelontorkan para pengguna jasa joki itu adalah 10 hingga 150 juta. Wahyu juga menghimbau kepada para calon mahasiswa ataupun orang tua agar terus waspada terkait penawaran-penawaran yang diberikan oleh pelaku perjokian. Menurutnya, pelaku perjokian sering kali memanfaatkan momentum ketika berada di tempat pendaftaran test, ataupun setelah test berlangsung untuk mendekati calon klien.
Sedangkan Rektor UAD Kasiyarno mengatakan bahwa praktik semacam ini sudah berlansung sejak lama namun pemerintah belum memberikan respons berupa aturan hukum berupa payung hukum yang mengaturnya. “Sebelumnya di Gelombang I kami sudah berupaya untuk mengadukan pelaku perjokian ke polisi namun karena belum ada payung hukum yang menaunginya sehingga mereka bebas. Kami harap melalui media pemerintah bisa memperhatikan usulan kami agar bisa ada penanganan hukum terhadap kasus semacam ini.”
Pasalnya, kasus perjokian ini dianggap mampu menurunkan marwah pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Akan ada asumsi bahwa lulusan perguruan tinggi tertentu tidak berkualitas karena berasal dari praktik kecurangan. Namun menurut Kasiyarno kasus seperti ini meskipun sangat meresahkan tidak akan menurunkan kualitas yang telah ditetapkan oleh UAD. “Dengan terungkapnya praktik ini menandakan bahwa kami serius dalam menyelenggarakan pendidikan dan penerimaan mahasiswa baru. Sistem pemeriksaan dan pengamanan kami sudah sangat ketat, itu saja masih bisa kebobolan. Tentunya ke depan kami akan terus melakukan tindakan tegas bagi pengguna jasa perjokian. Mereka langsung kami blacklist dari UAD.”
Kasiyarno juga mengungkapkan keresahannya dengan modus-modus kecurangan yang semakin berkembang. Menurutnya, dengan upaya penginformasian kepada publik terkait kasus perjokian yang tertangkap basah saat penyelanggaraan test penerimaan seperti yang dialami UAD menjadi cara untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa di perguruan tinggi lainnya. “Agar yang lain juga bisa waspada,” kata Kasyarno. (Th)