JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi narasumber dalam Bincang Kebangsaan dan Peluncuran Buku “Membaca Indonesia #menyatukan Kepingan” yang disusun oleh Desk Hukum Harian Kompas. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Cincin Api lantai 5 Menara Kompas, Palmerah Jakarta pada Senin (13/8) itu turut dihadiri Ketua PBNU Marsudi Syuhud, Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua DPR RI Bambang Soesetyo, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Eko Sulistyo.
Haedar Nashir menyoroti sistem perpolitikan saat ini yang berada dalam kondisi rentan, semisal menguatnya oligarki politik, politik transaksional, hingga politik identitas. Oleh karena itu, Haedar menyatakan bahwa Indonesia harus benar-benar matang dalam menentukan sikapnya guna menghadapi tantangan ke depan.
Dalam kasus oligarki partai politik, Haedar melihat bahwa ada banyak kemunduran ketika nasib negara ditentukan hanya oleh segelintir elit parpol. Tidak mengherankan jika Pilpres 2019 seolah mengulang Pilpres 2014, tanpa ada calon lain yang bermunculan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur ambang batas minimal 20 persen suara bagi parpol atau koalisi parpol yang berhak mengusung capres-cawapres. “Perlu ada tata ulang, agar kita keluar dari politik oligarkis,” tuturnya.
“Menghadapi satu abad Indonesia bukan pada pertanyaan apakah Indonesia ada, tetapi bagaimana Indonesia tetap ada. Pertanyaan ini lebih menantang. Apalagi untuk berada di situasi 2045 yang merupakan pematangan era post modern. Bagaimana Indonesia hadir bukan sekedar eksis tapi sekaligus menjadi negara modern jika ingin melampaui bangsa lain dalam mewujudkan cita-cita nasional,” ujar Haedar.
Indonesia sebagai sebuah negara harus berpikir ultra-visioner atau jangka sangat panjang demi tercapainya cita sebagai negara dan bangsa yang besar. Untuk memulainya, Indonesia perlu untuk berkaca pada sejarah perjalanan bangsa. “Masa lalu adalah masa depan dan masa kini kita. Dalam surat Al-Hasyr ayat 18 ada hal menarik. Kesadaran masa depan bagi seorang muslim disejajarkan dengan ketakwaan. Ekuivalen,” ungkapnya.
Jika ragam persoalan bangsa Indonesia hari ini dibiarkan berlarut-larut, kata Haedar, dikhawatirkan akan menjadi penghambat bagi perwujudan cita-cita luhur Indonesia di masa depan. Dibutuhkan nalar berpikir jernih untuk menyelesaikan masalah dari hulu ke hilir. “Ada problem krusial, yaitu stagnasi. Misalnya kerukunan, toleransi, dan kedamaian yang kita tidak tahu gunanya untuk apa. Sehingga ketika disengat oleh suatu pihak, kita panik luar biasa. Juga kasus terorisme. Ketika kita ajak berpikir secara jernih, malah mandek di situ,” katanya.
Dalam banyak kasus tersebut, banyak elit yang mengambil sikap yang berjangka pendek, seolah-olah menyelesaikan masalah, padahal justru sebaliknya. “Kita selalu berbicara mengenai hal yang tidak kita paham sehingga terjadi disorientasi dari perspektif keagamaan maupun politik. Para pemimpin suka menanggalkan nalar sehat demi kalkulasi,” imbuh Haedar.
Menghadapi masalah destruksi dalam beragam bidang kehidupan kebangsaan dan keumatan, Haedar menawarkan rekonstruksi sebagai sebuah solusi. Terlebih, menyongsong satu abad bangsa Indonesia pada 2045, bangsa ini harus sudah memenuhi cita-cita kemerdekaannya. Untuk itu, perlu peran semua komponen bangsa.
“Pemerintah dan civil society harus duduk bersama mencari formula agar tidak dilumat oligarki. Harus ada keberanian kita sebagai bangsa. Asumsinya, jika 2045 negara semakin modern, harus ada keberanian untuk menjadi modern dan tidak komunal,” urai Haedar.
Tak kalah penting adalah membangun sistem yang baik, sehingga tidak lagi bergantung pada sosok. “Warga bangsa yang punya prestasi harus dihargai dan memperoleh tempat dalam konstruksi negara. Yang terakhir bangun sistem, supaya agama tidak stagnan seperti genangan air, seolah oase tapi tidak memberikan apa-apa,” tukas Haedar Nashir. (ribas/kompas/ppmuh)