Fikih Kebencanaan
Oleh: Muhammad Azhar
Setelah sukses mengadakan Munas Tarjih ke-28 tentang Fikir Air, maka pada tanggal 19-22 Mei 2015, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah kembali menggelar Munas ke-29 yang bertemakan tentang Fikih Kebencanaan. Munas ini merupakan kelanjutan dari Munas-munas sebelumnya yang sukses mengkaji tentang: Fikih al-Ma’un, Fikih Perempuan, Fikih Tata Kelola Pemerintahan, Fikih Seni dan Kebudayaan. Pada Munas Tarjih 2017, juga telah dibahas Fikih Perlidungan Anak dan Fikih Informasi. Dalam Munas tersebut dikaji pula tentangz Fikih Lalulintas walau masih dalam bentuk seminar, belum dalam bentuk penyusunan draft akademik. Secara informal beberapa personal Majelis Tarjih juga telah mengkaji tentang Fikih Kebinekaan bersama Maarif Institute.
Menurut rencana, pada tahun 2019, Majelis Tarjih dan Tajdid akan mengagendakan kajian Fikih Demokrasi dan Fikih Difabel. Di masa mendatang, sebaiknya Majelis Tarjih juga idealnya dapat mengkaji tentang: Fikih Kuliner, Fikih Tata Ruang Perkotaan, Fikih Sumberdaya Alam, Fikih Udara, Fikih Kemaritiman, Fikih Transportasi, Fikih Anggaran dan Standar Penggajian, Fikih Perburuhan, Fikih Demografi dan Generasi Milenial, dan lain-lain.
Terkait dengan realitas faktual bahwa Indonesia memang ditakdirkan berada pada wilayah ring of fire, maka Majelis Tarjih telah menyusun draft Fikih Kebencanaan (dan telah diterbitkan menjadi buku termasuk dalam edisi berbahasa Inggeris dengan judul: Coping With Disaster, Principle Guidance from an Islamic Perspective, Majelis Tarjih –MDMC, 2016), yang antara lain berisi tentang: Chapter I: INTRODUCTION. Pada Chapter II: THE CONCEPT OF DISASTER; A. Terminologies of Disaster in the Qur’an and Hadith; B. Classification of Disaster; 1) Natural Disaster: (a) Earthquake; (b) Volcanic Eruption; (c) Tsunami; (d) Landslide; (e) Flood; (f) Drought. Pada bagian berikutnya: 2) Non-natural Disaster: (a) Technology Failures; (b) Epidemic/Outbreak; (c) Social Conflict or Social Unrest or Riot; (d) Terror.
Pada Chapter III; INTERPRETING DISASTER; A. How to View Disaster; B. Attitude towards Disaster. Lalu pada Chapter IV: PERSPECTIVE ON MANAGING DISASTER; A. How to Look at Preventive Measures (1. Understanding the Causes of Disaster; 2. Understanding the Role of Humans in Natual Settings); B. Disaster Management in Practise (1. Mitigation and Preparedness; 2. Emergency Response; 3. Recovery after a Disaster).
Pada Chapter V (FULFILLING THE RIGHTS OF THE AFFECTED PEOPLE). Bab ini berisi (A. The Rights to Manage Disaster Risks; 1. Defining the Context; 2. Identifying the Risks: Threat and Vulnerability Analyses; 3. Risk Analysis; 4. Risk Evaluation; 5. Handling Risk: Identification, Selection and the Plan of Actions). Bagian B. The Right to Manage Vulnerability (1. Underlying Causes of Vulnerablity; 2. The Vulnerability of the Dynamic Pressure; 3. The Vulnerability of Unsafe Conditions). Pada bagian; C. The Right to Receive Emergency Assistance (1. The Right to Life with Dignity; 2. The Right to Receive Humanitarian Assistance; 3. The Right to Protection and Security. Pada bagian D; The Right to Rehabilition and Reonstruction. Bagian E; The Right to Carry Out Disaster Management System, dan pada bagian F; Being Resilient as a Community.
Adapun pada Chapter VI: WORSHIP IN THE EVENT OF DISASTER, A. How to Perform Ablutions in an Emergncy Situation: Tayammum; B. Doing Prayers in Unclean of Dirty Clothes; C. Doing Prayers with Private Parts not Fully Covered; D. Perfoming Prayers During Disaster; E. Make Up Prayers in Case of Evacuation; F. Time Limits for Jama’ Prayers During Disaster; G. Fasting During Evacuation; H. Treating the AffectedBodies; I. Prayers for Missing Deceased Who Is Believed to Have Died (Salat Ghaib); J. Compulsory Charity (Zakah) Funds for the Affected People. Terkahir buku ini diutup dengan ChapterVII (Conclusion, Bibliography, Glossary).
Konsep tentang bencana ada yang tergolong pada natural disaster, namun ada pula yang terkait dengan human error. Yang pertama tentu “murni” dari kuasa Allah SWT, sedangkan yang kedua sering dianggap sebagai kesalahan prilaku manusia. Kasus gempa bumi (earth quake), lumpur Lapindo (menurut sebagian pakar geologi), angin topan dan puting beliung, membekunya es di AS, dan semisalnya, bisa digolongkan pada natural disaster. Sementara banjir, kebakaran dan sejenisnya termasuk pada wilayah human error, sebagaimana firman Allah SWT: “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia”. Dalam firman yang lain juga dicantumkan bahwa segala hal positif itu datangnya dari Allah, adapun yang negatif akibat ulah manusia sendiri.
Berbicara tentang bencana tentunya tak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang Taqdir, Ikhtiar dan Sunnatullah (yang telah diketahui maupun yang belum diketahui atau terdeteksi). Di kalangan ulama Islam banyak penafsiran tentang tiga konsep tersebut. Di sini penulis sederhanakan sebagai berikut: Taqdir merupakan ketetapan ilahi, sesuai dengan upaya minimal atau maksimal (ikhtiar) manusia dalam memahami dan menjalani hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) di bidang social maupun natural selama hidup di dunia. Bila sunnatullah di bidang sosio-kultural memiliki dimensi relativitas yg tinggi, maka sunnatullah di wilayah natural-fisikal nilai relativitasnya lebih rendah. Sunnatullah atau hukum alam dan sosial ini akan menimpa semua umat manusia tanpa melihat aspek suku, bangsa bahkan agama.
Misalnya, non-muslim yang rajin membaca, belajar dan berusaha tentu akan lebih cerdas, kaya, sehat dan sejahtera dibanding umat muslim yang malas belajar, malas berusaha dan malas berolah-raga. Contoh lainnya, bangunan gereja yang memiliki penangkal petir akan lebih selamat dari sambaran kilatan petir ketimbang masjid yang dibangun tanpa penangkal petir. Jadi, secara sunnatullah, hukum alam yang berlangsung di dunia ini bersifat adil dan objektif.
Secara taqdir dan sunnatullah, umumnya masin-masing daerah atau negara sudah punya “sunnatullah”-nya sendiri-sendiri sesuai bakat alam yg mengitari. Misalnya, negara AS dan sebagian Eropa selalu akan didera badai topan dan es; Jepang, sebagian wilayah Iran dan pantai selatan Jawa maupun Sumatera, Papua, Maluku, Lombok, lebih “berbakat menikmati” gempa karena secara sunnatullah memang berada di wilayah ring of fire. Daerah-daerah yang dekat pegunungan tentu lebih berpotensi mengalami bencana dampak meletusnya gunung api seperti Merapi (Jateng), Marapi (Sumbar), Sinabung (Sumut), Bromo (Jatim), Anak Kerakatau (Selat Sunda), dll. Demikian contoh-contoh potensi bencana di daerah atau negara lainnya.
Namun, mengingat manusia sebagai khalifatullah fil-ardl, maka baik potensi bencana yang natural disaster maupun human error, tetap berlaku firman Allah bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri terlebih dahulu berupaya merubah nasib mereka sendiri.“ (QS ar-Ra’du: 11).
Maka untuk menjadi manusia sebagai agen ikhtiar dan agen perubahan yang memiliki kemampuan manajerial dalam pengelolaan alam dan kehidupan sosial, sudah barang tentu sangat dibutuhkan sarjana dan ilmuan yang ahli dalam mengelola lingkungan dan tanggap bencana.
Menarik sekali, misalnya, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah dibuka program S2 Social Worker yang lulusannya kelak diharapkan memiliki ketrampilan manajerial di bidang pembangunan maupun ahli di bidang kebencanaan dan sejenisnya. Pada level Negara juga telah diwujudkan sebuah institusi kebencanaan yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), demikian pula 33 cabangnya di daerah-daerah atau BPBD.
Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah juga telah membentuk MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), juga ormas lain terkait bantuan kemanusiaan seperti DSUQ, LAZIS, Dompet Dluafa, dll. Berbagai perusahaan juga telah memiliki unit CSR (Corporate Social Responsibility) yang sebagian unit kerjanya aktif di bidang kebencanaan. Demikian pula PMI/Palang Merah Indonesia, dll.
Secara personal, banyak bermunculan para relawan (voluntir) di bidang komunitas tanggap bencana sosial, komunitas pelestari lingkungan seperti yang telah banyak ditampilkan dalam acara Kick Andy. Di dunia internasional seperti Malaysia, telah muncul gagasan criminilizing war yang dipelopori mantan PM Malaysia, Dr. Mahatir Mohammad, dalam rangka mengeliminasi bencana sosial.
Demikian pula halnya yayasan kemanusiaan yang dipelopori oleh mendiang Nelson Mandela, Afrika Selatan. Mengingat perang juga akan melahirkan bencana social yang maha dahsyat, seperti yang kini tengah terjadi di Mesir, Suriah, Yaman, Irak, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar bahkan Thailand Selatan yang sering berpotensi mengalami perang saudara. Khusus di Indonesia, masyarakat juga berharap lembaga seperti masjid, gereja dan peribadatan lainnya, serta berbagai lembaga pendidikan sosial bisa dikembangkan menjadi pusat antisipasi bencana yang secara periodik melakukan edukasi, kampanye bahkan didesain sejak dini menjadi tempat pengungsian tatkala ada bencana. Yang tak kalah pentingnya adalah – terutama bagi partai politik – agar jangan sampai ada “politisasi bencana”.
Maka secara keseluruhan, umat dan warga bangsa di masa depan perlu lebih meningkatkan lagi wawasan tentang humanitarianisme yang sejatinya memang membutuhkan ketulusan dan energi social yang berkelimpahan melalui konsep Ihsan.
Yang perlu juga disadari oleh umat dan warga bangsa bahkan warga dunia masa kini adalah bahwa bencana alam kini bukan lagi sebagai musibah yang perlu ditakuti, tetapi manusia butuh paradigma baru dimana bencana social dan alam sebaiknya dianggap sebagai “sahabat”. Saatnya kini manusia “bersahabat” dengan berbagai bencana. Untuk itu diperlukan sikap mental antisipatif sejak dini berupa edukasi wawasan kebencanaan social maupun alam sejak kanak-kanak, bahkan sejak TK/SD sebagaimana pendidikan simulasi bencana di sekolah-sekolah dasar di Jepang. Juga pentingnya pewarisan “kisah-kisah” bencana melalui buku, film serta dokumentasi foto-foto pasca bencana, agar generasi muda masa depan lebih sadar bencana, mengingat 80% wilayah Indonesia memang rawan bencana.
Selain itu perlu diadakan pelatihan secara periodik tentang antisipasi pra dan pasca bencana seperti persiapan tehnis: masker (minimal kain yang dibasahin), penyediaan stok makanan, air bersih untuk minum, penerangan, tikar, kasur, selimut terutama bagi anak-anak balita dan kaum perempuan, paling tidak selama 7 hari pasca bencana. Biasanya bantuan social pasca bencana butuh berhari-hari sampai ke korban bencana. Juga perlunya kesadaran warga untuk bersedia direlokasi seperti korban bencana Merapi di luar radius 15-20 km, Sinabung 5 km, serta daerah rawan longsor maupun pembangunan rumah susun bagi penduduk sekitar sungai.
Wawasan tentang filosofi, teologi serta fikih bencana, fikih air, fikih lingkungan, dll perlu dirumuskan secara lebih aktual dan kontekstual, mengingat kajian Islamic studies klasik selama ini belum berbicara banyak tentang kebencanaan tersebut. Kinilah saatnya para guru, dosen, da’i, khatib, ustaz, kiai, penulis secara gencar dan massif mendakwahkan tentang isu bencana ini secara lebih aktual dan kontekstual, selain isu korupsi, narkoba, bahaya rokok dll.
Tak kalah pentingnya adalah membangun rasa solidaritas keumatan dan kebangsaan melalui penggalangan dana dan bahan material lainnya yang dibutuhkan para pengungsi dan korban bencana alam.
Perlu juga ditambahkan di sini bahwa dalam mengantisipasi datangnya bencana diperlukan tiga tahapan: pertama, Mitigas: kesiapan psikologis, sosiologis, politis, ekonomis dan cultural pada saat SEBELUM datangnya bencana, yakni pentingnya bagi masyarakat untuk mengikuti informasi para pakar bencana seperti dari BMKG, BNPB, BPDB dan sejenisnya yang selalu mewanti-wanti masyarakat tentang, misalnya, status: NORMAL, WASPADA, SIAGA dan AWAS dari letusan gunung api. Banyaknya korban gunung Merapi maupun Sinabung salahsatunya sebagian masyarakat cuek dengan peringatan dini pra-bencana.
Kedua, tahapan Tanggap Darurat terutama beberapa jam atau hari setelah terjadi bencana. Ketiga, tahap Rekonstruksi atau Rehabilitasi pasca bencana. Idealnya Pemda, tokoh-tokoh masyarakat sudah memberikan edukasi kepada warga sekitar pada tahap Mitigasi/pra-bencana. Negara Jepang telah mengantisipasi datangnya bencana pada tahap pertama (mitigasi) sehingga bisa meminimalisir korban jiwa. Demikian juga setiap daerah di tanah air sebenarnya memiliki banyak kearifan local yang bisa dimodifikasi untuk tahapan mitigasi.
Ke depan, umat serta warga bangsa perlu mewujudkan konsep dan aplikasi green city yakni mengembalikan tata manajemen perkotaan kembali menuju suasana pedesaan yang asri, original dan harmoni (friendly) dengan alam.
Wallahu a’lam bissahawab.
Muhammad Azhar, Penulis adalah anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Download Fikih Kebencanaan Pdf