JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Berqurban dalam ritual ibadah ‘Idul Adha meniscayakan spirit berkorban dalam hidup dan melakukan kebaikan. Dalam beragama serta kehidupan berbangsa dan bernegara juga memerlukan pengorbanan lahir dan batin sebagai wujud dari ketulusan, pengabdian, dan ibadah semata karena Allah demi meraih ridha dan karunia-Nya. Dalam kehidupan di dunia tiada manusia bekerja dan meraih keberhasilan tanpa pengorbanan. Dalam bahasa Indonsia berkembang makna “korban” sebagai satu napas dengan “qurban”. Berkorban artinya menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya. Demikian di antara pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam khutbah Idul Adha 1439 H di Lapangan Kompleks Bank Indonesia (KOPERBI) Jalan M.H. Thamrin Jakarta Pusat, pada Rabu 22 Agustus 2018.
Menurut Haedar, banyak orang berkata rela berkorban demi sesuatu yang dianggap luhur dan penting, sehingga apapun dilakukan meskipun terasa berat dan menuntut pengorbanan harta, kedudukan, dan bahkan nyawa. Kata berkorban tidak jarang dipakai sebagai retorika, ketika seseorang menyatakan bersedia berkorban tanpa pamrih, tetapi sesungguhnya ada kepentingan di baliknya. Terbukti ketika pamrih itu tidak terjadi, yang bersangkutan tidak berbuat seperti yang semula diikrarkan. Sebagian orang-orang berjanji membela bangsa dan negara, tetapi sejatinya memperjuangkan kepentingan diri sendiri, kroni, dan kelompok atau golongannya sendiri.
Secara lahiriah, ujar Haedar, setiap yang berkorban menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada sesama, tetapi sejatinya yang bersangkutan berqurban kepada Allah dengan berani mengorbankan sesuatu yang dimilikinya untuk sesuatu yang lebih utama, yakni semakin mendekatkan diri kepada Allah sekaligus berbuat kebajikan yang luhur atau ihsan kepada sesama. Karenanya jangan merasa berat untuk berqurban hanya seekor hewan bagi yang berkemampuan. Kuatkan diri untuk merasa wajib berqurban. Dalam satu hadis Nabi bersabda yang artinya: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat Ied kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar bahkan rela mengorbankan putra tercintanya Ismail, yang diikuti oleh keikhlasan Ismail yang masih belia, demi menaati perintah Allah dan merengkuh ridhanya. Meskipun akhirnya kurban nyawa itu tidak terjadi, namun keluarga Nabiyullah itu teruji keikhlasan, ketaatan, dan ketaqwaannyan kepada Sang Khaliq. “Sementara itu mungkin di antara sebagian kita masih merasa sayang untuk berkurban hanya seekor hewan, sebagaimana berkorban harta kekayaan lainnya, karena terlalu mencintai harta dan dunia melampaui takaran. Semoga kita kaum muslimin yang menunaikan shalat Idul Adha saat ini terhindar dari sikap demikian. Bagi yang kebetulan belum sempat berniat, masih terbuka waktu setelah kembali dari shalat ini untuk menunaikan ibadah qurban,” tuturnya.
Bersamaan dengan perayaan ‘Idul Adha, saudara-saudara muslim dari seluruh dunia saat ini tengah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Mereka telah selesai menunaikan wukuf dan kini sedang mabit di Mina untuk jamarat. Dengan jiwa ‘Idul Adha, berkurban, dan berhaji tentu diharapkan setiap insan muslim dalam menjalani kehidupan semakin lebih baik dalam mewujudkan keshalihan dengan melakukan segala amal kebaikan dalam hidup. Dengan berqurban maupun berhaji dan ibadah lain bagi yang menunaikannya, setiap muslim melakukan penjinakkan atau bahkan peluruhan terhadap penyakit egoisme dan cinta berlebihan terhadap segala hiasan dunia seperti harta dan tahta.
“Bahwa musuh terbesar manusia adalah diri sendiri yang mencinta ego dan kesenangan dunia melebihi kewajaran, sehingga mengidap penyakit ta’bid ‘an al-nafs (diperbudak diri) dan ta’bid ‘an al-dunya (membudakkan diri pada dunia). Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri dan angkara dunia di tengah relasi orang lain dan lingkungannya,” ungkap Haedar.
Qabil putra Adam tega membunuh saudaranya Habil demi kepentingan diriya. Fir’aun sewenang-wenang memperlakukan orang lain, bahkan dengan karena kecongkakannya Raja Ramses itu menyatakan diri sebagai “tuhan yang maha tinggi”. Qarun yang konglomerat selain pelit juga rakus menghisap orang lemah dan menguasai kekayaan publik secara semenamena. Sementara Hammam di zaman kekuasaan Bani Israel itu menunjukkan karakter sebagai pejabat korup dan menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan dirinya, sehingga jabatannya tidak menyejahterakan rakyatnya.
“Pada titik dialektik antara hasrat dan kendali diri di tengah hegemoni hasrat duniawi itulah sesungguhnya Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui peristiwa Qurban mengajarkan mozaik ruhaniah yang berharga. Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menalukkan diri dan dunianya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki. Mana mungkin ketiga insan kekasih Tuhan itu rela hati berkorban nyawa Ismail, jika mereka masih terbelenggu oleh ego diri dengan segala kepentingannya yang ragawi. Mereka adalah insan yang terbebaskan dan tercerahkan dari hasrat egoisme yang naif, kemudian menjelma menjadi para altruis yang selalu peduli dan berbagi bagi kepentingan orang banyak,” urai Haedar.
Banyak problem hari ini, kata Haedar, berawal dari sikap ketamakan ego. Ketika bangsa ini masih dililit problem kesenjangan sosial dengan seglintir orang atau kelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri. Tatkala korupsi, konflik sosial, dan perilaku ajimumpung masih menjadi pemandangan umum. Sesungguhnya sumber utamanya karena ketamakan ego untuk memiliki apa saja dengan hasrat rakus. Mereka hanya mengabdi pada libido ketamakan yang tak berkesudahan, tak peduli bila harus merugikan kehidupan sesama dan lingkungan semesta. Ketika manusia cinta diri dan dunia secara berlebihan, mereka tak pernah puas diri meraih kedigdayaan dunia hingga ajal memisahkannya (QS At-Takatsur: 1-2).
“Tidak kenal tua maupun muda, bahkan siapapun, makanala cinta kuasa dan dunia sudah menyala-nyala dalam diri manusia, maka segala cara ditempuh dan dihalalkan. Mereka secara lahiriah tampak perkasa di hadapan orang lain, tetapi sejatinya menjadi orang lemah karena menjadi budak dunia. Nabi Muhammad mengingatkan bahwa melawan hawa nafsu sebagai jihad akbar. Perang menaklukan diri melebihi perang Badr dan Uhud,” katanya.
Karenanya setiap muslim yang berqurban mengandung makna ruhani dirinya menanam dan menebar benih kebaikan selain untuk dirinya tetapi untuk sesama umat manusia. Tanamkan jiwa peduli, berbagi, dan beramal kebajikan lebihlebih untuk orang-orang yang membutuhkan. Termasuk bagi saudara-saudara sebangsa di NTB maupun di tempat lain yang tengah ditimpa musibah. Kembangkan solidaritas sosial yang memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yang tulus sebagai sesama anak bangsa. Kembangkan kebiasaan gemar menolong, berbagi rizki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terrzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, dan berbagai kebaikan sosial yang utama.
Hadar kemudian mengajak segenap jamaah untuk menghindarkan diri dari segala bentuk kerakusan yang merugikan orang lain dan menumbulkan kerusakan hidup seperti korupsi, gratifikasi, eksploitasi alam, monopoli, oligopoli, kejahatan kerah putih, politik uang, serta segala tindakan amoral dan asosial. Islam mengajarkan persaudaraan sesama dan menjauhi segala perbuatan nista. “Dalam kehidupan sehari-hari sikap sosial yang luhur dan mulia harus terus ditumbuhkan ketika egoisme cenderung merebak dalam kehidupan bangsa. Jika ketimpangan sosial masih tinggi dan segelintir orang menguasai kekayaan negeri tanpa rasa sungkan, hal itu menunjukkan luruhnya solidaritas sosial yang autentik dari kehidupan kolektif bangsa ini. Jauhi kekerasan, permusuhan, kebencian, dan saling menghinakan sesama anak bangsa agar keutuhan negeri tetap terjaga secara harmoni,” tukasnya.
Terakhir, Haedar mengingatkan bahwa pasca Idul Adha, setiap muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, mengadvokasi kaum kaya agar mau berbagi, dan membangun menebar serba kebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi. “Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama. Orientasi keagamaan dalam kehidupan sosial yang indah ini jangan mekar sesaat di kala ritual, tetapi mewujud dan menyebarluas sepanjang masa dalam kehidupan sebagai pantulan iman dan ihsan yang merahmati semesta alam,” pungkas Haedar Nashir. (ribas)