JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Meiliana (44), warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, divonis kurungan 1,5 tahun penjara dengan pasal penodaan agama setelah mengeluhkan suara azan yang dinilai terlalu keras. Hukuman ini dijatuhkan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8). Majelis hakim menyatakan Meiliana terbukti bersalah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156A KUHP.
Dimintai pandangan tentang kasus ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa semua pihak harus menghormati putusan pengadilan. Karena sudah masuk ke ranah hukum, proses dan keputusannya harus dihormati. Jika ada yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, tinggal melakukan upaya hukum lainnya, yakni banding.
“Kalau ranah hukum kan ranah yang memang hitam putih dan dia kalau kita bersengketa secara sosial tidak tuntas ya di ranah hukum. Nah, kalau dihukum kita terima putusan hukum. Bagi yang tidak puas, naik banding,” tuturnya di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (23/8), usai menerima silaturahim Presiden Jokowi.
Namun yang terpenting, bagaimana masyarakat bisa memupuk sikap toleransi antarsesama. “Kita menghormati setiap keputusan pengadilan. Di luar itu, yang paling penting bagaimana kita seluruh warga bangsa yang beragama dan masyarakat itu terus saling memupuk toleransi. Kuncinya di situ,” kata Haedar
Seluruh elemen masyarakat harus berkomitmen mengupayakan sikap toleransi dalam artian luas. Semua pihak dengan tulus dan dewasa harus saling menahan diri dan menjaga suasana kondusif. “Misalkan di masjid tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang beda agama, yang di gereja juga begitu. Warga juga jangan terlalu sensitif juga. Kadang masyarakat kurang proporsional juga. Kalau ada hiburan kadang tanpa izin gede-gede suaranya sering nggak terganggu, tapi ada suara azan sedikit kencang terganggu. Ini kan saya pikir kalau dipupuk itu ada kedewasaan sehingga tidak semua hal masuk ke ranah hukum,” ungkapnya.
Muhammadiyah menilai bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak selalu harus mengedepankan dimensi hukum. Di samping dimensi hukum, ada dimensi lain lain yang melampaui. “Jangan semua dimensinya dimensi hukum, dimensi hitam putih, tapi juga dimensi toleransi dari semua pihak baik dari umat beragama ataupun masyarakat,” ujar Haedar.
Terkait dengan suara pengeras suara azan, Haedar mengatakan bahwa azan itu memang harus terdengar oleh para jamaah sekitar tempat ibadah. Namun soal seberapa keras suaranya, semua ada kadarnya dan proporsional. “Azan harus terdengar sehingga yang dengar tahu dipanggil azan. Kalau di dalam hati nggak kedengeran jamaah. Soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing-masing,” tukasnya.
Terpenting, Haedar mengingatkan supaya terus memupuk dialog, silaturahim, dan kerukunan. Kepekaan dan sikap saling menghargai harus dikedepankan. Sehingga kasus serupa tidak terulang. “Bukan soal besar-kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja. Tapi ini ada rasa yang hilang antar warga masyarakat. Ini yang mesti kita bina,” urai Haedar Nashir. (ribas)