Oleh: Muhammad Ridha Basri
Foto Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir kembali viral, oleh sebab postingan akun media sosial Dzar al-Banna. Adalah potret seorang pria berkacamata dengan kemeja koko berwarna abu-abu tosca dan bergaris cream, serta berpeci putih dan bercelana hitam, sedang duduk khusyu di emperan tangga teras masjid. Tak dinyata, sosok pemimpin salah satu ormas terbesar di Indonesia itu sedang mendengarkan khutbah Jum’at. Di hari sayyidul ayyam itu, para jamaah kerap meluber di banyak masjid. Dan pada siang itu, Haedar Nashir harus menjadi salah satu yang tidak mendapat tempat di ruang utama masjid.
Kejadian ini terjadi pada Jumat pekan keempat di bulan Agustus 2018, bertepatan dengan 12 Dzulhijjah 1439 Hijriah. Ketika itu, Haedar Nashir bersama istri, Siti Noordjannah Djohantini, sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Semarang. Guna menghadiri ujian terbuka promosi Doktor Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak di Universitas Diponegoro. Bertepatan dengan waktu Jumat, beliau singgah untuk menunaikan shalat Jumat di salah satu masjid kawasan Salam, Magelang. Jika mau, Haedar mudah saja terlebih dahulu memberi tahu para pimpinan Muhammadiyah atau pimpinan Amal Usaha Muhammadiyah di wilayah itu, dan kemudian tinggal menunggu dilayani dan dimanjakan fasilitas kelas satu dengan sangat baik.
Di tengah beragam kesibukan sebagai ketua umum persyarikatan, Haedar memprioritaskan untuk datang ke acara promosi doktor dari ketua salah satu organisasi otonom angkatan muda Muhammadiyah. Memenuhi undangan dan bersilaturahim. Begitulah pesan Haedar selama ini kepada segenap kadernya, “Eratkan tali silaturahim. Hatta, terhadap mereka yang memutuskan hubungan denganmu.” Tidak sekadar mengajak, Haedar konsisten memberi teladan di ruang senyap. Hedar Nashir juga kerap hadir di pelosok untuk membersamai masyarakat di acara pemberdayaan, yang digerakkan Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Bahkan hingga ke kawasan yang dihuni penduduk suku terluar dan terdalam. Budaya silaturahim ini menjadi langka di tengah situasi polarisasi dan kontestasi politik. Belakangan ini, kunjungan dan silaturahim elit hanya terjadi berkala, jelang event pemilihan umum saja.
Bagi yang mengenal baik kultur dan tradisi Muhammadiyah, tidak ada yang aneh dengan foto Haedar Nashir duduk di selasar masjid mendengarkan khutbah Jumat. Dan kejadian serupa itu bukan kali pertama, hanya saja karena kali ini ada yang kebetulan mengambil gambar dan menyebarluaskan. Postingan ini pun langsung mendapat apresiasi dari para netizen. Ketua Badan Liga Amatir Indonesia PSSI Ahmad Syauqi Soeratno, misalnya, langsung memberi komentar “Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kesehatan kepada beliau. Insya Allah beliau uswah terbaik bagi umat.”
Beberapa hari sebelumnya, Haedar Nashir juga terciduk sedang menunggu kereta api di stasiun Kediri menuju Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, sosok ketua umum baru saja kembali dari melaksanakan tugas meresmikan RS Muhammadiyah Kediri dan gedung delapan lantai SMA Muhammadiyah 1 Taman Sidoardjo yang bernilai 25 Milyar dan dibangun dengan dana swadaya Muhammadiyah. Gedung sekolah itu menunjukkan kekayaan aset organisasi dan kemandirian Muhammadiyah. Ada ribuan sekolah, rumah sakit, BTM, panti asuhan, hingga universitas yang dimiliki Muhammadiyah. Dalam banyak kesempatan, Haedar mengingatkan, bahwa aforisme ‘Islam adalah rahmatan lil alamin’ harus dimaknai secara berkemajuan. Rahmat bagi semesta maksudnya adalah menjadi unggul dan bermanfaat bagi sebanyak mungkin makhluk Tuhan. Menebar rahmat bagi semesta, harus dimulai dengan kemandirian diri sendiri. Jika tidak memiliki apa-apa, maka tidak mungkin bisa memberi dan menebar apa-apa.
Dengan kemandirian dan perputaran mata uang di dalamnya, tentu tidak sulit bagi para elit Muhammadiyah untuk berfoya-foya dan bermewah diri. Tetapi hal itu sama sekali tidak terjadi, dan para pemimpin Muhammadiyah justru bersahaja dan tidak menggunakan fasilitas organisasi untuk kepentingan pribadi. Sikap ini juga terpancar pada pimpinan Muhammadiyah sebelumnya. Kesederhanaan dan tidak minta tidak minta diistimewakan adalah watak para pimpinan-pimpinan Muhammadiyah dari masa ke masa. Kondisi ini kadang berbanding terbalik dengan para elit negeri yang kerap mengejar prestige dan privilege.
Dengan sikap begitu, apakah marwah dan kharisma seorang pemimpin hilang? Tidak sama sekali. Marwah dan kharisma mereka lahir dari dalam. Keteguhan prinsip, ketulusan, pengabdian, dan pengkhidmatan pada umat, bangsa, dan kemanusiaan telah menjadikan mereka sosok yang disegani. Nilai-nilai luhur yang melekat membuat orang hormat tanpa perlu meminta untuk dihormati dan dipuja-puji. Integritas dan akhlak yang dipegang membuat orang sadar akan sosok yang dihadapi, tanpa perlu berpura-pura dan pencitraan diri. Namun sebagai catatan, sikap sederhana tidak sama artinya dengan hidup anti dunia. Pepatah Belanda, ‘leiden is lijden’ (memimpin itu menderita) tidak dipahami dalam artian sempit.
Keanehan itu justru ketika belakangan, segelintir aktivis muda yang ingin langkah instan, hidup hura-hura dan banyak gaya. Hilang integritas dan miskin moralitas. Suka menerabas norma dan kepatutan. Intelektualitas dan nalar kritis tidak terasah. Haus popularitas dan kering nilai-nilai spiritualitas. Larut dalam kerumunan carut-marut politik praktis dan pragmatis. Kepada siapa mereka bercermin?