Ungkapan Buya Ahmad Syafii Maarif itu mungkin tergolong jenis majas retoris dalam tata Bahasa Indonesia, yaitu sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab dan sekaligus mengandung jawaban. Siang itu, di Selasa pekan ketiga pada bulan Agustus 2018, Buya Syafii menyampaikan kultum selama satu setengah jam, usai shalat Zuhur berjamaah. Audience-nya adalah kami para awak redaksi Majalah Suara Muhammadiyah, di mana Buya Syafii menjadi Pemimpin Umum dari perusahaan media milik Persyarikatan Muhammadiyah ini.
Sebelum Zuhur, Buya Syafii telah mencurahkan banyak gagasan. Pokok pembicaraan terkait dengan ragam drama dan cerita di balik layar dari peristiwa perpolitikan nasional. Segala carut-marut dan kondisi yang centang-perenang ini membuat Buya Syafii gusar. Banyak episode kelam yang ditumpahkan, terutama tentang wajah (elit) bangsa dalam kasak-kusuk pencalonan presiden dan wakil presiden Pilpres 2019, yang intensitasnya meningkat di Agustus 2018 saat batas akhir pendaftaran ke KPU. Obrolan kami sempat dijeda dengan makan siang traktiran Buya dan ritual ibadah Zuhur. Dilanjut kultum. Dalam kultum inilah keluar kalimat, “Kepada siapa kita bertanya?”
Buya Syafii merasakan bahwa para negarawan yang bijaksana dan bisa menjadi tempat bertanya serta rumah bagi semua, semakin langka di republik ini. Tokoh dan pejabat negara hanyalah murni politisi, yang krisis integritas dan berpikiran jangka pendek. Kepedulian pada masa depan bangsa dikalahkan oleh syahwat kuasa untuk kepentingan pribadi dan kroni. Ironisnya, para tokoh agama juga kadang tak kuasa menolak godaan yang diibaratkan Buya laksana orang haus yang coba menghilangkan dahaga dengan meminum air laut. Semakin diminum, semakin menambah haus yang tidak ada habisnya. “Hati-hati dengan ini, Saudara! Godaan materi itu jangan main-main!” kata Buya memperingatkan. Disebutnya beberapa sosok petinggi negeri dengan gaji yang melangit tetapi masih melakukan praktik korupsi.
Bukan tanpa alasan, Buya Syafii memberi rambu pada kami yang lebih muda. Buya menceritakan bahwa dirinya sering didatangi orang dan ditawari macam-macam. Andai tergelincir, sedikit saja, maka menjadi pesakitan dan penyesalan sepanjang masa. Namun Buya tidak menapik ada orang-orang tulus yang datang, mereka yang pengusaha, tetapi memiliki komitmen yang tulus untuk berbagi pada sesama yang kurang beruntung. Pada orang semisal ini, Buya Syafii ikut membantu memfasilitasi dan menghubungkan pada yang membutuhkan. Sama sekali bukan untuk pribadi Buya.
Buya Syafii lalu menceritakan tentang bagaimana sosok-sosok agamawan atau kiai yang lepas kendali, meski haji berkali-kali. Setiap hari berselimutkan simbol dan dalil agama, tetapi di saat yang sama juga senantiasa jauh dari substansi ajaran dan nilai-nilai luhur agama. Tanpa menyebut nama, Buya kisahkan tentang sosok agamawan yang kerap menipu publik, tidak membayar hutang, dan perilaku mungkar lainnya. Tentang kiai yang mudah berubah posisi dan terbeli ketika didatangi oleh penguasa dan pemilik modal. Kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat tidak ternilai dan langka adanya. Padahal tentang amanah, kejujuran, dan nilai-nilai integritas merupakan ajaran luhur agama. Diutusnya Nabi Muhammad salah satunya adalah untuk memberi teladan keluhuran akhlak.
Para agamawan, kata Buya Syafii, harusnya menjadi oase. Namun yang terjadi, tidak ada bedanya mereka yang beragama dengan yang tidak beragama. Dengan topeng agama, mereka justru lihai menjual ayat. “Bagaimana mempertahankan agama? Agama di dalam otak, di dalam jantung, masih benar ndak agama kita? Pemahaman kita terhadap agama bagaimana?” kembali Buya bertanya. Peradaban yang utama, dalam pandangan Buya, harus dibangun dengan tidak menanggalkan nilai ketuhanan. Kitab suci perlu dijadikan acuan nilai dan moral. Bukan sebaliknya, justru menjadikan kitab suci dan nilai profetik sebagai jualan politik.
Satu hal yang kerap disampaikan Buya adalah tentang kesenjangan antara idealisme Qur’an dengan realitas di lapangan. Menurutnya, semua isi kandungan al-Qur’an fungsional sebagai petunjuk bagi manusia. Dalam beberapa ayat, Allah nyatakan umat Islam sebagai khairu ummah (QS. Ali Imran: 110), ummatan wasathan dan syuhada ‘alannas (QS. Al-Baqarah: 143). Dengan predikat ini, umat Islam harusnya unggul dalam hal peradaban, intelektual, moral. Di ayat lainnya, Allah perintahkan untuk fastabiqul khairat, sebuah sikap saling berkolaborasi dan terbuka dengan siapa saja untuk senantiasa menuju keunggulan dan saling berlomba menebar kebaikan.
Sabda nabi, manusia terbaik adalah yang mampu memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada sesama. Prasyarat mereka yang mampu memberi manfaat adalah mereka yang memiliki keunggulan. Tanpa memiliki apa-apa, maka tidak mungkin bisa memberi dan menebar apa-apa. Umat yang unggul adalah umat yang senantiasa menebar manfaat dan rahmat bagi sesama, serta moderat atau wasatiyah sekaligus wasit atau pengadil, yang menegakkan keadilan di antara manusia. Esensi dari syariat, kata Buya Syafii, adalah tegaknya keadilan dalam semua aspek kehidupan.
Mendukung argumennya, Buya Syafii mengacu pada ungkapan populer yang bersumber dari Ibnu Taimiyyah, “Allah berpihak kepada pemimpin yang adil, meskipun kafir. Sebaliknya, Allah tidak berpihak kepada pemimpin yang zalim, meskipun Muslim.” Nilai keadilan sosial-ekonomi yang mengacu pada sila kelima Pancasila menjadi sorotan Buya Syafii dalam berbagai kesempatan. Tanpa tegaknya pilar keadilan, maka berbagai masalah akan terus bermunculan, dan sewaktu-waktu akan meledak bagai bom waktu.
Di banyak ayat al-Qur’an, nilai-nilai keadilan begitu dikedepankan. Bahkan, tujuan diutusnya para nabi, salah satunya adalah untuk mewujudkan keadilan di muka bumi. Semisal disebut dalam QS. Al-Hadid (57) ayat 25, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
“Idealisme Quran begini, kenyataannya (Muslim) begini, terkapar di muka bumi,” kata Buya. Idealisme kitab suci perlu diwujudkan menjadi nyata. Hal itulah yang menjadi salah satu pemicu optimisme Buya Syafii bahwa kita tidak boleh menyerah pada kenyataan. Ketika terus berusaha, kita berharap Allah memberi titik terang pada umat dan bangsa ini. Buya mewanti-wanti supaya kita tidak pernah patah semangat. “Allah tidak netral dalam sejarah. Allah berpihak, ma’asshabirin (bersama orang yang sabar), ma’almuttaqin (sersama orang bertakwa). Jelas dikatakan di Quran, Innallaha la yughaiiru ma biqaumin hatta yughaiiru ma bi anfusihin (Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri). Inisiatif itu harus diambil,” ungkapnya. Artinya, bahwa keberpihakan Allah datang setelah manusia mau berusaha maksimal.
Dalam kondisi ini, Buya merindukan lahirnya sosok-sosok agamawan, cendekiawan, negarawan yang bisa menjadi pilar untuk menyelamatkan bangsa ini, supaya tegak berdiri hingga sehari jelang hari kiamat. Namun, fenomena yang terjadi justru kiamat-kiamat kecil dicipta oleh akibat ulah mereka yang tamak, haus kuasa, gemar membuat kerusakan di muka bumi. Sebagai guru bangsa, Buya telah berusaha menjadi muazin. Tiada lelah menyeru pada nilai-nilai moralitas.
Di antara kegelisahan Buya Syafii selanjutnya adalah bahwa dalam praktiknya, bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi negara-negara Muslim secara keseluruhan juga mengalami kondisi serupa. Di sinilah Buya tak bisa berleha-leha dan menghabiskan hari tua untuk diri pribadi saja. “Saya kan sudah (usia) maghrib, hampir isya. Saya ingin, sebelum malaikat maut menjemput, saya ingin ada titik terang itu. Bukan untuk saya, tapi untuk Anda-Anda ini, untuk anak cucu kita. Bukan untuk saya, saya sudah selesai,” tuturnya.
Guna mencari titik terang, Buya Syafii berusaha menyalakan suluh. Buya Syafii mengajak bicara banyak tokoh, lintas batas. Namun, Buya merasa masih belum menemukan cercah cahaya yang bisa segera menyelesaikan aneka masalah kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Saat-saat seperti itu, Buya Syafii merindukan tokoh-tokoh pendahulu: mulai Agus Salim, Hamka, Hatta, hingga AR Fachruddin. Sosok tersebut mendapat perhatian khusus Buya Syafii karena ketulusan, kesahajaan dan kenegarawanannya. “Kepada siapa kita bertanya, untuk keluar dari jalan buntu. Agus Salim sudah tidak ada. Hamka tidak ada. Kepada siapa?” tanyanya.
Kepercayaan, ketulusan, dan kejujuran menjadi semakin langka di benak para politisi hari ini. Hal itu membedakan mereka dengan para negarawan di masa silam. Oleh karena itu, mereka yang waras perlu memikirkan solusi bersama. “Perlu ada pemikiran kolektif, sendiri gak bisa. Dunia kita centang-perenang, mari kita berpikir agak keras, Saudara!” tukas Buya Syafii. Terutama pada anak-anak muda yang belum dirasuki virus gila harta dan tahta, Buya berharap supaya terus memupuk integritas. Jangan sekali-kali mencoba untuk keluar jalur, karena sekali mencoba, akan terjadi banalisasi dan menjelma kebiasaan buruk yang kemudian mengakar.
Sekadar menjadi intelektual juga tak berguna, tanpa ada keberanian untuk memperjuangkan kebenaran. “Kata Muhammad Iqbal: Tak kan kukayuh bidukku ke lautan tanpa buaya. Pemimpin itu harus punya nyali, berani. Intelektual tanpa nyali tak ada gunanya untuk masyarakat umum. Harus ada yang menentang arus, tapi jangan asal-asalan, harus ada argumen dan prinsip yang kokoh,” tutur Buya mengingatkan. Pada akhirnya, kata Buya, publik akan bisa menilai dan memilah antara air dan buih.
Mengutip Chairil Anwar, Buya katakan: hidup hanya sekali, setelah itu mati. Dalam hidup yang sekali dan singkat ini, kita harus memiliki tujuan dan arah yang jelas. “Hidup ini bukan tujuan, tapi betul-betul menentukan,” katanya. Di tengah-tengah pesan serius itu, tiba-tiba Buya masih berusaha mencairkan suasana. “Jenis kita ini memang hebat, Saudara. Makhluk yang malaikat saja kalah berdebat. Kalah lho malaikat, (mengacu kisah penciptaan Adam di QS. Al-Baqarah)” ujar Buya diiring gelak tawa kami. Dan akhirnya kultum panjang dan penuh pelajaran itu berakhir. (ribas)