Keluarga adalah institusi sosial terkecil yang memiliki peran dan fungsi yang amat penting, terutama dalam proses internalisasi nilai-nilai moral dan agama. Dalam Islam sendiri, keluarga berperan dalam pembentukan fondasi awal dalam membangun kehidupan masyarakat Islam yang berperadaban. Sehingga baik buruknya kehidupan masyarakat sangat tergantung sejauh mana peran dan fungsi keluarga berjalan secara maksimal. Lantas bagaimanakah dengan kondisi keluarga muslim saat sekarang? Sudahkah berperan secara ideal? Dan adakah korelasinya prilaku kekerasan, amoral, dan sikap permisif dalam masyarakat sekarang dengan lemahnya fungsi keluarga saat ini? Lebih lanjut, berikut petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan Seto Mulyadi, Chairman Mutiara Indonesia Foundation dan ketua Komisi Nasional Hak-Hak Anak, di Hotel Sultan Jakarta, pada 2012.
Bagaimanakah peran keluarga dalam pendidikan dan intenalisasi nilai-nilai agama dan moral?
Justru pendidikan yang sejati itu adalah di dalam keluarga. Karena pendidikan dalam keluarga itu pada dasarnya mengarah pada aspek individual. Artinya bahwa setiap anak dihargai secara khusus dan unik serta tidak dalam bentuk massal. Karena yang massal itu lebih pada bentuk sekolah atau pengajaran, makanya dulu istilah yang dipakai oleh pemerintah, bukan menteri pendidikan, akan tetapi menteri pengajaran. Jadi pendidikan itu harus individual, dari hati yang jernih, sama halnya seperti mengajarkan bahasa ibunya, mengajarkan anak sopan santun, mengajar hormat kepada orang tua, mengajar doa-doa, dan mengajar shalat pada waktunya. Nah hal-hal yang seperti inilah yang disebut sebagai proses pendidikan, dan bukan sekedar pengajaran, apalagi ada unsur-unsur hukuman dan sebagainya. Jadi singkatnya, bahwa keluarga itu memiliki peran penting pendidikan dalam proses internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada manusia, khususnya pada anak usia awal. Namun sebenarnya, pendidikan model seperti itu, tidak boleh sesaat, lebih idealnya dilakukan secara terus menerus hingga ia besar, karena kalau hanya menyerahkan pada sekolah, maka tidak mungkin, sebab sekolah itu hanyalah sebuah institusi yang bergerak pada proses pengajaran dalam aspek iptek saja, tapi bagaimana etikanya dan bagaimana pula estetikanya, justru hal itu bisa dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga.
Artinya pendidikan dalam keluarga jauh lebih penting?
Iya, jadi pendidikan dalam keluarga jauh lebih penting perannya, karena pendidikan keluarga mengarah pada individual anak secara mendalam, misalnya kita bisa mengetahui bagaimana bakatnya, daya tangkapnya, prilakunya, kemampuan dan sebagainya. Jadi pendidikan keluarga itu istilahnya kurikulum untuk anak, tapi kalau di sekolah, anak untuk kurikulum.
Adakah korelasi dari kenakalan suatu masyarakat dengan lemahnya pendidikan dalam keluarga?
Iya, saya kira cukup tinggi korelasinya. Sebagaimana survei yang pernah dilakukan di lembaga pendidikan di luar negeri, banyak anak-anak yang suka melakukan tindakan kriminal, diakibatkan karena anak-anak tidak mendapatkan kasih sayang dalam keluarganya secara penuh. Misalnya saja kasih sayang seorang ayah, kadang-kadang dengan alasan ayahnya yang telalu sibuk, banyak kerjaaan sehingga tidak ada waktu buat anak-anaknya Begitu juga bagi ibu yang suka melakukan kekerasan terhadap anak, sehingga menimbulkan anak yang suka melakukan tindak kekerasan pada orang lain.
Seperti apa bentuk kekerasan yang sering terjadi dalam keluarga?
Banyak sekali, misalnya kekerasan secara fisik seperti memukul, menendang, menjewer, mementung. Kemudian ada juga kekerasan secara psikologis, seperti menelantarkan, pembiaran, bentakan-bentakan. Disamping itu, ada bentuk kekerasan secara seksual, seperti ayah kandungnya sendiri melakukan hubungan seksual dengan anaknya dan sebagainya.
Langkah apa yang diperlukan agar bisa berjalannya proses pendidikan moral dan karakter pada anak di dalam keluarga.
Pertama perlunya contoh keteladanan yang dibangun dalam keluarga melalui orang tua, jadi bukan melalui ceramah panjang lebar atau berkutbah macam-macam, sementara orang tua tidak ada yang memberikan contoh yang benar yang dipertunjukkan dalam keluarga. Makanya kemudian, anak banyak yang tidak akan tertarik untuk menjalankan apa yang diajarkan orang tua, karena mereka tidak melihat adanya ketauladanan. Misalnya seperti anjuran melakukan shalat, orang tua mengajarkan kepada anaknya, jika kita melakukan shalat kemudian berdoa, maka wajah kita akan ceria, hati akan lapang, mudah senyum dan hidup lebih nyaman. Namun sementara orang tua misalnya sesudah shalat, mukanya muram, suka bentak-bentak dan suka marah-marah. Bagi anak tentunya berpikir, jangan-jangan orang tua saya begini gara-gara shalat, maka kemudian anak enggan mengikuti ajakan orang tua selanjutnya. Jadi sering pendidikan agama ini tidak efektif kalau tidak disertai dengan keteladanan.
Bagaimana anda melihat institusi keluarga dalam masyarakat muslim sekarang ini, apakah sudah berjalan sesuai peran keluarga sesungguhnya?
Saya pikir masih banyak keluarga muslim yang masih kurang memaksimalkan perannya. Padahal Rasulullah sendiri selalu mengajarkan kepada kita untuk memberikan contoh dan tauladan dulu. Kemudian baru diucapkan, diajarkan, maka selanjutnya si anak pun akan mudah untuk mengikutinya.
Institusi keluarga tentunya tidak bebas dengan berbagai dampak perubahan sosial dan tantangan-tantangan yang ada di luarnya, bagaimana institusi keluarga merespon ini?
Dalam kondisi seperti ini, memang keluarga dituntut harus kuat dan kompak. Kuat bukan berarti orang tua berpikir bisa memerintahkan anaknya dengan sesukanya agar menjadi seorang anak yang penurut. Kalau ini target kita, maka pendidikan dalam keluarga hanya untuk melahirkan bebek-bebek yang penurut. Jadi yang harus menjadi tujuan adalah, bagaimana menciptakan anak yang mandiri dan bisa bekerjasama. Olehkarenanya, di dalam keluarga itu harus dibangun konsep bekerjasama. Bukan konsep kekuasaan. Misalnya karena kekuasaan, orang tua bisa suruh anak lakukan ini dan lakukan itu, atau jangan begini dan jangan begitu. Kalau model pendidikan kayak begini, maka akan melahirkan anak-anak yang pemberontak. Sedangkan jika konsep kerjasama yang dikedepankan, maka kita saling melakukan bersama secara seimbang. Misalnya ibu menyapu, dan anak diajak menyiram bunga, atau bapak membersihkan taman, dan anak diajak untuk bersama-sama membantu, dan sebagainya. Jadi semestinya, keluarga dibangun dengan sikap saling bekerjasama dan penuh persahabatan, bukan dengan kekuasaan atau kekuatan belaka.
Kenapa banyak keluarga masih kurang dan belum mampu memerankan fungsi ideal institusi keluarga itu sendiri?
Jadi paradigma yang keliru dalam keluarga adalah, bahwa berkeluarga sering tidak dipersiapkan dari sejak awal akan berkeluarga. Harus diingat, bahwa berkeluarga itu bukan sekedar resmi nikah dan kemudian walimahan. Sebab kalau seperti ini, nantinya jika mereka punya anak bingung, dan setelah usia dua tahun anak mulai nakal, orang tua tambah bingung, apalagi kemudian jika mertua ikut campur, ini membuat menjadi lebih bingung. Jadi berkeluarga itu bukan seperti cerita dongeng cinderella yang bahagia selamanya. Justru dengan adanya tantangan setelah berkeluarga, maka keluarga harus saling jujur, saling tebuka, saling bekerjasama dengan kekuatan cinta, bukan dengan cinta pada kekuatan. Kalau cinta pada kekuatan, maka siapa yang kuat maka dialah yang menang dan berkuasa.
Masyarakat modern, memiliki kecendrungan menjadi keluarga karir, kebutuhan anak dicukupi dalam aspek materi semata, apakah ini baik bagi karakter anak?
Iya, itu sangat besar pengaruhnya terhadap karakter anak. Setiap anak ingin memiliki ayah dan ibunya secara penuh. Dan sehebat apapun ayah dan ibunya di luar, tapi di dalam rumah tidak bisa dibanggakan, maka seorang anak tidak akan bangga.
Agenda apa yang mesti dilakukan oleh keluarga untuk membangun keluarga sakinah?
Yang pertama memang keluarga harus memiliki pegangan yang kuat dalam hal agama dan pehaman alquran. Dan ini harus diutamakan. Semua itu diajarkan kepada anak anak dengan cara yang benar serta dicontohkan dengan keteladanan dan dibimbing dengan kasih sayang. Tidak dengan bentakan, tidak dengan kekerasan. Sebab Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan kekerasan dalam keluarga. Seperti ketika beliau sujud dalam waktu shalat, kemudian kedua cucu beliau menaiki punggungnya, tapi Rasulullah tidak membentaknya atau menyenggolnya supaya jatuh, tapi Rasulullah sujud dan turun pelan pelan agar cucunya tidak jatuh. Kemudian ketika Rasulullah melihat seorang anak yang dimarahi ibunya ketika pipis pada jubah ibunya, kemudian sang ibu memarahi, dan Rasulullah mengatakan bahwa jubah ini dalam 2 jam akan bersih, akan tetapi hati anak yang dilukai karena bentakan dana kekerasan, akan membekas seumur hidupnya. Jadi hal itulah yang harus menjadi pegangan dalam keluarga yang sakinah tadi. Ditambah dengan sikap saling kasih sayang, tidak ada kekerasan, dan penuh keteladanan. (d)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik dialog Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 8 tahun 2012