JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Terkait dengan kasus dugaan intimidasi terhadap tokoh agama, Ustadz Abdul Somad (UAS), Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta Maneger Nasution mengharapkan negara hadir memberikan perlindungan. Tindakan intimidasi terhadap warga negara dan tokoh agama manapun adalah tindakan melawan hukum.
“Negara wajib hukumnya hadir menghentikan tindakan intimidasi itu. Tindak intimidasi itu menebar syiar ketakutan publik. Kepolisian negara sebaiknya secara proaktif segera menjelaskan ke publik tentang dugaan kasus intimidasi itu demi terpenuhinya hak publik untuk tahu tentang kebenaran informasi itu (rights to know). Tindakan intimidasi itu mengancam hak-hak konstitusional warga negara serta mengancam masa depan demokrasi dan integrasi nasional,” ujar mantan Komisioner Komnas HAM RI 2012-2017 itu.
Menurut Maneger, setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal serta meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah NKRI (Pasal 27 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM). “Bahwa hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, termasuk berdakwah adalah hak konstitusional warga negara (pasal 28 UUDNRI tahun 1945, dan pasal 23, 24, dan 25 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM),” ungkapnya.
Setiap warga negara di seluruh teritori NKRI memiliki hak atas kebebasan beragama, berkumpul, berpendapat, memasuki/meninggalkan suatu daerah, rasa aman adalah hak konstitusional warga negara. Dan, negara terutama pemerintah wajib hukumnya hadir memenuhi hak konstitusional warga negara itu (pasal 28G UUD1945, dan pasal 9 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM).
Dalam teori HAM, urai Maneger, pelanggaran HAM itu bisa terjadi karena adanya tindakan langsung dari Negara ( act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission). Dalam konteks dugaan intimidasi tersebut, kalau Negara tidak menghentikan atau melakukan pembiaran itu adalah pelanggaran HAM (act of ommission).
“Sekiranya ada perbedaan pandangan antara satu pihak dengan pihak lainnya, masih tersedia mekanisme lain yang lebih elegan, efektif, dan berkeadaban untuk menyampaikan aspirasi atas suatu perbedaan pandangan dengan mengedepankan dialog. Bahwa kalau pun akhirnya dialog tidak terwujud, sebaiknya tetap menggunakan saluran aspirasi atas perbedaan pandangan dilakukan sesuai mekanisme hukum yang tersedia. Jauhi tindakan main hakim sendiri,” ungkapnya.
Tindakan main hakim sendiri (elgenrechting) di samping sangat tidak elok, tidak berkeadaban, juga tidak menyelesaikan masalah, tapi justru memproduksi kekerasan-kekerasan baru. Ini berpotensi mengganggu integrasi nasional.
“Bahwa sejatinya negara hadir khususnya kepolisian negara untuk mencegah, menghentikan, dan menginvestigasi dugaan intimidasi itu. Pihak kepolisian negara harus memproses pelaku dan aktor intelektualnya secara profesional, independen, berkeadilan, transparan, dan tidak diskriminatif sesuai dengan hukum yang berlaku. Negara tidak boleh kalah dengan kelompok penebar intimidasi, teror. Negara tidak boleh membiarkan impunitas,” kata Manager.
Dunia kemanusiaan, kata Manager, tentu menolak dengan keras cara-cara intimidatif dan teror terhadap warga negara. Karena kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berkunjung ke seluruh teritori NKRI dijamin dan diatur oleh undang-undang.
“Dugaan intimidasi terhadap UAS dan setiap warga negara untuk menghadiri acara dakwah di berbagai daerah adalah tidak sejalan dengan iklim demokrasi yang sedang kita bangun. Dan pembiaran terhadap dugaan intimidasi itu tidak menunjukkan netralitas aparat dalam mengayomi warga negara. Kita juga menghimbau kepada aktivis dakwah/tokoh agama untuk tetap bergerak dalam koridor peraturan perundangan dengan bermartabat dan kepatuhan terhadap hukum,” ulasnya.
Selain mendukung UAS untuk melaporkan dugaan intimidasi itu kepada Kepolisian Negara, Manager juga mengimbau publik agar tidak terpancing dan terprovokasi serta menghindari tindakan kekerasan dan tindakan main hakim sendiri ( eigenrechting). “Pihak kepolisian harus memastikan bahwa hal-hal serupa tidak terulang lagi di masa mendatang ( guarantees of nonrecurrence). Negara tidak boleh kalah dengan pelaku dan aktor intelektual tindakan dugaan intimidasi tersebut,” tukasnya. (ribas)