Penetapan Awal Bulan Kamariah dengan Model Salafiah, Mazhabiah dan Tajdidiah

Penetapan Awal Bulan Kamariah dengan Model Salafiah, Mazhabiah dan Tajdidiah

Oleh: Prof Dr Al Yasa Abubakar

Pada masa sekarang ada dua metode besar yang digunakan umat Islam untuk menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal yaitu rukyah dan hisab. Perbedaan pemilihan metode ini pada dasarnya disebabkan oleh dua hal; pertama, adanya peluang untuk memahami ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah secara berbeda, dan kedua perbedaan pandangan mengenai keperluan umat Islam sekarang terhadap penanggalan. Apakah penanggalan hijriah diupayakan untuk dijadikan sebagai penanggalan internasional di kalangan umat Islam karena itu harus disatukan, atau penanggalan ini hanya digunakan secara lokal, sehingga adanya perbedaan hari untuk tanggal yang sama di berbagai tempat akan diterima sebagai hal yang biasa.

Tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana perbedaan antara model salafiah, mazhabiah dan tajdidiah dalam menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal serta bulan-bulan kamariah lainnya; lebih tegasnya mengenai cara mereka memilih dalil dan memahami dalil tersebut.

Dalil yang sering dirujuk untuk menetapkan cara menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal adalah dua hadis Rasulullah riwayat Bukari dan Muslim, yang maknanya lebih kurang, berpuasalah karena melihat anak bulan (hilal) dan berbukalah (berharirayalah) karena melihat hilal. Kalau cuaca mendung sehingga hilal tidak terlihat, maka genapkanlah hitungan bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Hadis lain yang hampir semakna terjemahannya lebih kurang: janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu berbuka (beridulfitri) sebelum melihat hilal. Kalau hilal terhalang oleh awan dari penglihatanmu, maka estimasikanlah. Adapun dalil dari Al-Qur’an, diantara ayat yang sering dirujuk adalah surat Yasin ayat 38-40,  yang terjemahan bebasnya lebih kurang, dan matahari beredar dalam masa yang ditentukan untuknya; itulah ketetapan Yang Mahaperkasa dan Yang Mahatahu. Dan bulan, telah Kami tetapkan baginya manzilah-manzilah, sehingga dia kembali seperti tangkai korma yang kering. Tiadalah pantas bagi matahari menyusul bulan, dan tiadalah malam melampaui siang; masing-masing berenang dalam garis edarnya sendiri.

 

Pemahaman Model Salafiah

Pada masa Sahabat penetapan awal bulan Ramadlan dan bahkan semua bulan kamariah lainnya mengikuti hadis di atas secara harfiah. Kalau ada dua orang dewasa yang dipercaya, mengaku telah melihat bulan maka pengakuan ini akan diterima dan malam itu sudah dianggap sebagai tanggal (hari) pertama untuk bulan baru. Hal ini mudah dipahami paling kurang karena tiga hal. Pertama mereka meneruskan kebiasaan yang ada pada masa Rasulullah; dan yang kedua belum ada keperluan untuk menentukan awal bulan bukan dengan rukyah, karena wilayah Islam yang relatif masih sedikit dan alat transportasi serta komunikasi yang masih terbatas. Yang ketiga, kuat dugaan kaum muslimin waktu itu belum menguasai ilmu falak yang memungkinkan mereka untuk menghitung perjalanan bulan dan matahari secara ilmiah (tepat). Dengan tiga alasan ini maka penentuan awal bulan Ramadlan dan bulan-bulan lainnya dengan metode rukyah (melihat hilal secara langsung) akan memberikan kepuasan batin, karena merasa telah mengikuti praktek Rasulullah secara relatif sempurna di satu pihak dan tidak menimbulkan kesulitan apa-apa dipihak lain.

Semua kita tahu alat transportasi dan komunikasi paling cepat yang ada pada waktu itu hanyalah perjalanan menunggang kuda, yang daya  jangkaunya hanyalah sekitar 100 km satu hari. Jadi kalau menjelang Magrib orang di Madinah abad ke tujuh Masehiah melihat  hilal dan orang di tempat lain tidak melihatnya karena  mendung, maka kabar bahwa hilal sudah terlihat di Madinah hanya bisa disampaikan sejauh sekitar 100 km. sampai dengan fajar terbit, yaitu jarak yang dapat mereka capai dengan mengenderai kuda. Penyampaian kabar sebelum fajar dianggap penting sebab kalau kabar terlihatnya hilal mereka ketahui setelah fajar terbit, maka tidak ada lagi pengaruhnya untuk memulai puasa pada hari itu. Jadi kalau terjadi perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal antar berbagai kota, maka perbedaan itu cenderung baru diketahui setelah lewat beberapa hari, tidak mungkin pada malam yang sama karena alat komunikasinya tidak ada. Dengan alasan ini adanya perbedaan awal bulan Ramadlan dan bulan Syawal pada berbagai kota (daerah) cenderung dimaklumi dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam. Apalagi ada keyakinan hal ini didukung atau paling kurang sejalan dengan hadis sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah seperti sebuah riwayat yang terjadi pada masa Sahabat di bawah ini.

Kuraib, seorang Sahabat, penduduk Madinah pergi ke Damaskus pada bulan Sya`ban. Di sana—bersama-sama dengan penduduk Damaskus, dia melihat hilal Ramadlan pada hari Kamis malam Jum`at dan karena itu penduduk Damaskus memulai puasa pada hari Jum`at. Sepulangnya ke Madinah dia diberi tahu bahwa penduduk Madinah baru melihat hilal pada hari Jum`at malam Sabtu dan karena itu mereka memulai puasa pada hari Sabtu. Kuraib mengusulkan agar orang Madinah menyesuaikan hari rayanya dengan rukyah orang Damaskus. Ibnu `Abbas menolak dan berkata kami akan berpuasa sesuai dengan rukyah kami di Madinah karena begitulah disuruh oleh Rasulullah. Menurut Syamsul Anwar dalam bukunya Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, terbitan Suara Muhammadiyah, peristiwa ini terjadi tahun 35 H bertepatan 656 M, di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin `Affan.

Hal penting dari kisah di atas adalah pernyataan Ibnu `Abbas bahwa Rasulullah menyuruh mereka berpuasa dengan rukyah sendiri dan berbuka juga dengan rukyah sendiri, atau dengan mencukupkan perhitungan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari di daerah (kota) mereka masing-masing, dan tidak dianjurkan untuk mengikuti rukyah di daerah lain. Penjelasan Ibnu `Abbas ini secara langung atau tidak memberi keyakinan kepada orang yang membacanya, bahwa adanya perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan antara satu tempat dengan tempat lainnya merupakan sesuatu yang harus dianggap lumrah karena diizinkan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah. Kaum muslimin di suatu tempat hanya terikat dengan rukyah di tempatnya sendiri dan tidak terikat dengan rukyah di tempat lain.

Pemahaman di atas merupakan contoh pemahaman salafiah, yang seperti terlihat cenderung sederhana dan bersifat parsial. Karena Nabi menentukan awal bulan kamariah dengan melihat hilal maka hal itu diikuti menurut apa adanya. Di dalam perkembangannya, kesaksian dua orang yang dipercaya (memenuhi syarat) bahwa mereka telah melihat hilal harus diterima, tidak perlu diverifikasi atau dikuatkan dengan pembuktian tambahan lainnya. Dengan demikian, adanya perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan dan bulan-bulan lainnya di berbagai daerah di atas muka bumi, walaupun relatif berdekatan, dianggap sebagai sesuatu yang biasa, yang tidak perlu menimbulkan kerisauan. Pemahaman ini dianggap parsial karena sudah merasa puas dengan penggunaan sebuah hadis sebagai dalil, tidak berupaya mengaitkan atau melengkapinya dengan hadis lain serta ayat-ayat Al-Qur’an. Cara ini dianggap sederhana karena membatasi diri pada pemahaman secara literal (apa ada)-nya, tidak memerlukan perenungan atau pembandingan, misalnya dengan kemajuan ilmu pengetahuan, serta kesulitan psikologis, bahkan ekonomis dan sosiologis yang dihadapi umat karena mereka berhari raya tidak pada hari yang sama.

Sesuai dengan jalan pikiran salafiah, tidaklah aneh kalau sampai masa sekarang masih ada kelompok umat Islam yang merasa telah dapat bahkan wajib memulai puasa bulan Ramadlan atau beridulfitri hanya dengan pengakuan telah melihat hilal dari dua orang yang mereka percayai. Menurut mereka pengakuan dari dua orang yang dianggap jujur, adalah sudah memadai dan tidak perlu diverifikasi. Mereka juga tidak peduli apabila ada kritik bahwa pengakuan tersebut tidak dapat diterima karena betentangan dengan hasil analisis falakiah yang menyatakan hilal belum wujud dan karena itu tidak mungkin dirukyah.

 

Pemahaman Model Mazhabiah

Pendapat di atas diterima oleh mazhab-mazhab, dalam arti dalil utama penentuan awal bulan adalah hadis-hadis yang telah digunakan oleh para Sahabat (salafiah). Begitu juga pemahaman atas hadis ini cenderung sama seperti pemahaman salafiah, bahwa awal bulan ditentukan dengan metode rukyah (melihat hilal secara langsung), bukan dengan menghitungnya melalui ilmu falak, yang waktu itu sudah masuk ke dunia Islam dan sudah mereka terima dan gunakan untuk menentukan arah kiblat dan bahkan waktu shalat. Namun masalah adanya perbedaan penetapan awal bulan pada daerah yang relatif berdekatan yang pada masa Sahabat cenderung diterima sebagai sebuah kewajaran, tanpa kritik dan pendalaman, oleh pendukung mazhab mulai dipertanyakan. Kelihatannya muncul perasaan tidak puas kalau dua daerah yang relatif berdekatan memulai puasa atau berhari raya tidak pada hari yang sama. Mungkin dari perenungan dan diskusi tentang hal ini muncul dan dikembangkan istilah mathla`, yaitu satu daerah (wilayah) tertentu yang dianggap sebagai satu kesatuan. Dengan konsep ini, pengertian satu daerah dalam hadis Kuraib di atas dibatasi secara relatif jelas dan dibuatkan istilah teknisnya, yaitu satu mathla`.  Dengan demikian kalau hilal terlihat pada suatu tempat/kota maka daerah sekitar yang dianggap satu mathla` dengannya, terikat kepada hilal yang sudah terlihat ini. Jadi satu daerah yang dalam model salafiah tadi cenderung sempit dan tidak jelas kriterianya, dalam pola mazhab menjadi relatif lebih jelas. Satu daerah yang tidak melihat hilal, yang menurut pola salafiah tidak boleh mengikuti daerah lainnya (sesuai dengan hadis Kuraib) dan karena itu harus mencukupkan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari, oleh fiqih mazhab mungkin sekali disuruh mengikuti daerah lain yang telah melihat hilal, yang berdekatan dengannya, karena kedua daerah ini dianggap satu mathla`.

Dengan demikian hadis Kuraib, bahwa masing-masing kota (daerah) menentukan awal bulan kamariah berdasarkan penglihatan penduduk di tempat itu sendiri atas hilal, tidak lagi dipahami secara sederhana, sekedar arti lughawiah tanpa kriteria yang jelas. Kota atau daerah tersebut diberi makna baru, dibuatkan istilahnya dan juga diberi pengertian teknisnya, yaitu satu mathla`.  Namun bagaimana cara menentukannya, tidak ada kesepakatan diantara ulama. Ulama mazhab terpecah kepada empat kelompok, pertama satu mathla` adalah satu daerah yang dianggap berdekatan, namun tidak disebutkan ukurannya secara jelas, jadi relatif sama dengan definisi kota atau daerah dalam model pemahaman salafiah. Kedua ditentukan berdasar jarak safar, yaitu izin mengqashar shalat. Jadi kalau hilal sudah terlihat disuatu tempat, maka daerah lain yang berjarak belum boleh qashar shalat dari tempat yang telah melihat hilal tersebut, dianggap telah melihat hilal. Dengan kata lain, semua daerah dalam radius belum boleh shalat qashar dari suatu daerah yang telah melihat hilal dianggap satu mathla` dengan daerah yang telah melihat hilal tersebut, karena itu mereka akan menentuan awal bulan kamariah secara bersamaan. Ketiga, mathla` ditentukan berdasar wilayah kekuasaan (negara). Satu wilayah kekhalifahan atau keamiran yang relatif merdeka, yang pada masa sekarang dapat kita sebut negara dianggap sebagai satu mathla`. Jadi Indonesia seluruhnya dianggap satu mathla` dan begitu juga Singapura atau Brunei Darussalam, masing-masing dianggap sebagai satu mathla` yang berdiri sendiri. Keempat, muka bumi seluruhnya dianggap satu mathla`, sehingga keterlihatan hilal disatu tempat dianggap berlaku utuk seluruh dunia. Pendapat ini menurut Syamsul Anwar dikemukakan oleh mazhab Hanabilah, yang kelihatannya sangatlah “berani,” karena sudah menganggap seluruh muka bumi sebagai satu kesatuan, sehingga membuka peluang kepada seluruh umat Islam untuk memulai dan mengakhiri Ramadlan pada hari yang sama, dimanapun mereka berada di atas muka bumi ini.

Walaupun kelihatannya berpotensi untuk menyatukan umat Islam, pendapat ini jelas dikemukakan di zaman ketika dunia dianggap datar, dan belum ada kesadaran tentang perbedaan waktu antar berbagai tempat di muka bumi. Setelah bumi diketahui bulat dan lebih dari itu berputar pada sumbunya, dan setelah itu terbukti pula bahwa muka bumi (dunia) tidak mempunyai satu kesatuan waktu (sehingga harus dibagi kepada zona-zona waktu), maka pendapat Hanabilah di atas tidak dapat lagi dipertahankan. Rukyah hilal pada satu tempat hanya bisa diberlakukan pada wilayah dengan beda waktu paling jauh, sembilan jam ke timur karena ketika hilal terlihat pada satu tempat pada waktu maghrib, maka pada wilayah berjarak sembilan jam di timur fajar sudah terbit. Mungkin untuk mengatasi kesulitan di atas, menurut Syamsul Anwar dalam bukunya yang sudah dikutip di atas, pada zaman modern sekarang muncul pendapat yang kelima, mathla` hanya berlaku ke daerah sebelah barat, tidak berlaku ke daerah sebelah timur. Daerah sebelah barat dari tempat melihat hilal dianggap satu mathla` sedang daerah bagian timurnya dianggap masuk ke dalam mathla` yang lain.

Masalah lain yang perlu diperhatikan, ketika mazhab-mazhab merumuskan pendapatnya, ilmu astronomi (ilmu falak) mulai masuk ke dunia Islam dan diterima dengan baik. Ilmu ini antara lain digunakan untuk  kemudahan ibadat, seperti penentuan arah kiblat. Dalam hubungan dengan penetapan awal bulan, para ulama berdasrkan perhitungan astronomi (hisab falakiah) telah dapat mengetahui secara relatif meyakinkan tempat dan waktu kemunculan hilal pada setiap awal bulan kamariah. Tetapi kemampuan ini cenderung digunakan hanyalah untuk memudahkan dan mendukung rukyah, untuk menentukan kapan dan dimana hilal dapat bahkan mudah dirukyah, dan untuk menentukan apakah pernyataan sekelompok orang bahwa mereka sudah melihat hilal dapat diterima atau harus ditolak. Kalau menurut perhitungan hisab falakiah hilal masih berada di bawah ufuk, maka pengakuan seseorang atau sekelompok orang bahwa mereka telah melihatnya haruslah ditolak. Jadi pengakuan seseorang bahwa dia telah melihat hilal tidak lagi diterima secara sederhana, menurut apa adanya, cukup dengan sumpah orang yang bersangkutan. Pengakuan seseorang bahwa dia telah melihat hilal cenderung diverifikasi dan diujikan kepada ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu falak. Kalau menurut ilmu falak hilal belum wujud di atas ufuk, pengakuan orang tersebut cenderung akan ditolak, walaupun dia kuatkan dengan bersumpah .

Jadi disinilah letak perbedaan antara salafiah dengan mazhabiah. Kalau menurut pola salafiah melihat hilal betul-betul merupakan kegiatan “empiris,” yang dianggap sudah terbukti dengan pengakuan dua orang yang memenuhi syarat, maka dalam pola mazhabiah penglihatan empiris tersebut harus didukung oleh perhitungan falakiah. Kalau menurut perhitungan falakiah hilal belum wujud di atas ufuk atau masih terlalu rendah untuk dapat dilihat, maka pengakuan seseorang atau sekelompok orang, bahwa mereka telah melihat hilal haruslah ditolak. Begitu juga mazhab memperkenalkan atau paling kurang mempertajam pengertian konsep mathla`, sehingga orang di daerah tertentu yang tidak melihat hilal, tetapi telah mendapat kabar tentang terlihatnya hilal di daerah yang dianggap satu mathla` (berdekatan) dengannya, wajib mengikuti daerah tetangganya tersebut.

Sebagai kritik walaupun istilah mathla` sudah diperkenalkan, penerapannya tetaplah terbatas karena kabar tentang telah terlihatnya hilal di suatu tempat hanya dapat disampaikan secara terbatas, tidak dapat mencapai seluruh wilayah negara. Sebagai ilustrasi, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh, atau Sultan Agung di Mataram, atau Sultan Hasanuddin di Makassar, kuat dugaan rukyah hilal di suatu tempat tidak dapat dikabarkan ke seluruh wilayah pemeritahannya (negara) sebelum fajar terbit karena keterbatasan alat transpotasi dan komunikasi. Jadi secara teoritis penduduk suatu negara harus berpuasa pada hari yang sama karena hilal sudah terlihat pada suatu tempat dalam wilayah negara (kekuasaan raja) tersebut. Tetapi secara praktis hal ini belum tentu terjadi karena kabar tentang keterlihatan hilal tidak sampai kepada mereka pada malam itu, sehingga mereka tetap tergantung kepada penglihatan mereka sendiri.

Pendapat mengenai kesatuan mathla` baru dapat diterapkan secara relatif leluasa adalah di zaman modern sekarang, ketika berbagai alat komunikasi telah ditemukan dan telah digunakan secara luas dan relatif merata.

 

Pemahaman Model Tajdidiah

Beralih ke pola tajdidiah, seperti telah diuraikan pada tulisan yang lalu, pola ini lahir karena adanya kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat spektakuler, yang berujung pada kehadiran zaman industri, informasi dan bioteknologi. Kemajuan ilmu dan teknologi serta kehadiran industri sebagai turunannya, telah menyebabkan perubahan penting dan bahkan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan (misalnya saja kecepatan dan kemudahan komunikasi, informasi dan transportasi), yang pada giliran berikutnya menyebabkan (memaksa) perubahan pada hukum, karena adanya perubahan kebutuhan. Atas alasan yang sama, maka fiqih (sebagai hukum milik umat Islam) juga perlu diubah dan dikembangkan dan untuk itu ijtihad harus dilakukan. Para ulama perlu menemukan dan merumuskan hukum fiqih yang baru, agar lebih sesuai dengan keperluan di masa sekarang, termasuk pengubahan hukum fiqih dalam beberapa bagian ibadat.

Kembali ke masalah penentuan awal bulan kamariah menurut pola tajdidiah, di masa modern sekarang ada semacam kegelisahan kenapa di zaman orang sudah sampai ke bulan, umat Islam di berbagai belahan dunia masih memulai puasa Ramadlan dan berhariraya tidak pada hari yang sama. Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab, mungkin dan perlukah menyatukan awal bulan kamariah, termasuk di dalamnya Ramadlan dan Syawal. Atau sebaliknya apakah sudah merupakan watak dan tuntunan tegas agama Islam bahwa awal bulan Ramadlan dan Syawal tidak mungkin sama di seluruh muka bumi ini (atau tidak perlu disamakan).

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama menghimpun semua dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang berhubungan dengan cara penentuan awal bulan kamariah, dan yang kedua, pada waktu yang bersamaan dengan kegiatan pertama tadi, melakukan kegiatan peng-identifikasi-an masalah, dalam kasus kitasekarang, cara menentukan awal bulan kamariah (khususnya Ramadlan dan Syawal). Diupayakan mencari dan menemukan apa yang menjadi substansi dari masalah yang akan dipecahkan, yaitu cara penentuan awal bulan kamariah. Misalnya, apakah yang menjadi substansinya adalah penyatuan penanggalan, sehingga umat Islam di berbagai tempat bahkan di seluruh dunia memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan pada hari yang sama sehingga memberikan maslahat yang besar; atau substansinya adalah pada keharusan melihat hilal secara empiris (rukyah) sehingga kemampuan falakiah hanya digunakan untuk mendukung rukyah. Dua langkah ini perlu dilakukan secara bersamaan, agar masalahnya dapat ditentukan secara jelas, dan dalil-dalilnya pun diketahui secara menyeluruh. Setelah itu barulah dilakukan langkah berikutnya yaitu menemukan ketentuan hukumnya. Langkah yang ketiga ini diharapkan dapat ditetapkan secara relatif meyakinkan atau paling kurang sudah melalui pertimbangan yang menyeluruh dan matang, karena sudah didahului oleh dua langkah sebelumnya.

Sebagai bagian dari upaya mengidentifikasi masalah (cara menentukan awal bulan kamariah), adalah upaya untuk menentukan apakah masalah ini termasuk ke dalam masalah ta`abbudiyah atau ta`aqquliyah. Ta`abbudiyah adalah masalah-masalah  yang aspek formalnya dianggap sangat menonjol (peribadatan), sehingga harus dikerjakan sedekat dan sesesuai mungkin dengan tuntunan dan praktek Rasulullah. Karena itu ruang untuk berijtihad relatif sangat terbatas, namun bukan tidak ada sama sekali. Sedang masalah ta`aqquliah adalah masalah-masalah (ibadat atau bukan ibadat) yang hasil atau manfaatnyalah yang lebih ditonjolkan, sedang kesesuaiannya dengan amalan atau praktek Rasulullah tidaklah terlalu penting. Dengan kata lain bimbingan Rasulullah di bidang ini didekati dan dipecahkan dengan mempertimbangakan `illat (rasio legis) atau kemaslahatan-nya, bukan dengan mengikuti amalan (pekerjaan) formalnya. Jadi ruang untuk mengijtihadkannya relatif sangatlah luas dan selalu terbuka, sehingga pekerjaan formalnya dapat berubah, disesuaikan dengan pertimbangan `illat atau memaslahatan yang dianggap ada di dalamnya.

Sekiranya dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis tentang rukyah hilal sebagai cara penentuan awal bulan Ramadlan (kamariah) diperhatikan, akan terlihat bahwa kecenderungan ta`aqquliyahnya lebih tinggi daripada ta`abbudiyah-nya  karena melihat hilal bukanlah sebuah ibadah, tetapi sebuah cara untuk menjalankan sebuah ibadah lain, dalam hal ini memulai dan mengakhiri puasa wajib di bulan Ramadlan. Dari ayat-ayat dan hadis-hadis ini dapat disimpulkan ada tiga cara untuk menentukan awal bulan kamariah, yaitu melihat hilal, atau menghitung bulan berjalan sampai tiga puluh hari atau menghitung peredaran hilal (bulan) dengan ilmu pengetahuan, karena peredaran benda-benda langit menurut Al-Qur’an sudah ditentukan secara relatif teratur dan pasti sehingga bisa dihitung dan diperkirakan. Begitu pula sekiranya diperhatikan pendapat para ulama yang sebagiannya telah dikutip di atas, terlihat bahwa masalah melihat hilal lebih dekat kepada ta`aqquliyah daripada ta`abbudiyah karena ijtihad ulama relatif sangat luas dan beragam, mulai dari rukyah lokal, rukyah dengan mathla` lokal (daerah terbatas) sampai kepada rukyah dengan mathla` seluruh muka bumi (mathla` global). Lebih dari itu penulis belum menemukan satu pendapat pun yang menyatakan melihat hilal untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan adalah masalah ta`abbudiyah.Tidak ada seorang ulama pun yang menyatakannya sebagai sebuah ibadah yang mempunyai rukun dan syarat yang relatif kaku seperti rukun dan syarat pada ibadah-ibadah lainnya.

Bergerak dari jalan pikiran di atas, bahwa melihat hilal adalah masalah ta`aqquliyah, maka perlu dicari apa yang menjadi `illat dari ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang berisi tata cara penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal. Melalui perenungan dan penelitian yang mendalam, dapat disimpulkan bahwa cara yang diajarkan Rasulullah untuk menentukan awal bulan Ramadlan adalah untuk memudahkan umat melakukannya, dan bukan untuk mengikat mereka secara formal atau menjadikan metode tersebut sebagai satu-satunya cara atau metode. Kesimpulan ini diambil dari pernyataan-pernyataan dalam hadis tersebut yang cenderung memberikan kelapangan kepada umatnya yang buta huruf (belum mempunyai ilmu di bidang tersebut).

Kalau jalan pikiran ini dapat diterima, maka cara yang lapang untuk menetapkan awal dan akhir Ramadlan pada masa sekarang, tidak cukup lagi kalau hanya ditumpukan kepada hadis-hadis rukyah yang biasa dipakai, karena seperti telah diuraikan di atas,  pemahaman atas hadis-hadis ini yang bertumpu pada mathla` sudah tidak memuaskan lagi. Adanya kemajuan di bidang komunikasi yang demikian mencengangkan, menyebabkan konsep satu rukyah untuk setiap mathla` tidak dapat lagi, atau paling kurang tidak memuaskan lagi untuk digunakan. Pada masa lalu adanya perbedaan penetapan awal Syawal antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak menimbulkan kesulitan dan kemasygulan di kalangan umat, karena berita tentang adanya perbedaan tersebut tidak tersebar dalam waktu yang relatif cepat. Tetapi sekarang ini berita tentang adanya perbedaan itu telah sampai ke seluruh dunia dalam hitungan jam bahkan menit,  sehingga sering bahkan selalu timbul pertanyaan kenapa uamt Islam tidak mampu menyatukan diri dalam masalah yang relatif sederhana ini.

Berdasar jalan pikiran ini, dalil untuk menetapkan awal dan akhir bulan Ramadlan tidakcukupkalau hanya didasarkan pada satu atau dua hadis, tetapi harus ditambah dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis lain yang berhubungan, sehingga menjadi lebih komprehensif. Dari dalil-dalil ini, seperti telah disebutkan di atas ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan awal bulan kamariah yaitu melihat hilal, menggenapkan bilangan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari, atau menghitung peredaran bulan (hilal) secara ilmiah, sehingga diketahui kapan hilal wujud di atas ufuq, berapa tingginya dan di daerah mana tempat kemunculannya itu.

Di pihak lain di zaman modern ini mobilitas manusia termasuk kaum muslimin relatif tinggi sekali, sehingga akan sangat lapanglah sekiranya awal setiap bulan kamariah dapat ditentukan sejak jauh-jauh hari (bukan pada tanggal 29 atau 30) sehingga mereka dapat membuat perencanaan secara lebih cermat. Di pihak lain adanya keterhubungan semua belahan dunia dengan berbagai alat komunikasi dan transportasi, menyebabkan adanya satu penanggalan yang disepakati, bahkan adanya satu kesatuan waktu (jam), menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. Sehingga kemungkinan ada kaum muslimin yang berpuasa hanya 28 hari karena melakukan perjalanan tidak akan terjadi. Maksudnya dia bergerak (memulai perjalanan) dari suatu tempat yang awal Ramadlanya terlambat dua hari dari daerah yang dia tuju. Sehingga hari ke 29 dia berpuasa (menrurut ukuran daerah asalnya tadi) sudah merupakan hari raya di tempat baru yang dia tuju tersebut.

Pertimbangan-pertimbangan di atas menjadikan pemilihan metode penetapan awal bulan kamariah akan jatuh pada metode perhitungan ilmiah, tidak memadai lagi dengan metode rukyah (melihat hilal secara empiris) ataupun metode menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Penetapan awal bulan kamariah dengan metode perhitungan astronomis (falakiah) dianggap lebih dekat dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an di satu pihak, serta di pihak lain lebih akurat, lebih memberikan maslahat, dan karena itu lebih meyakinkan dan memberikan kelapangan.  Metode ini dianggap lebih dekat dengan Al-Qur’an karena banyak ayat yang menyatakan bahwa benda langit beredar dengan siklus dan garis edar yang relatif jelas dan pasti sehingga bisa dihitung secara relatif meyakinkan, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dengan rukyah secara empiris. Metode ini juga diangap lebih akurat, karena perhitungan ilmiah mengenai peredaran bulan, matahari serta benda langit lainnya secara astronomis relatif sangat meyakinkan, sehingga gerhana sampai puluhan bahkan ratusan tahun ke depan pun dapat diketahui.

Peluncuran dan penempatan pesawat di angkasa luar, sampai mampu bergerak (beredar) mengelilingi bulan dan planet lainnya, begitu juga peluncuran dan penempatan satelit sehingga mengorbit pada garis edar tertentu adalah bukti atas keakuratan perhitungan astronomis tersebut. Metode ini dianggap lebih maslahat karena awal dan akhir Ramadlan dapat ditentukan oleh siapa saja yang mempunyai ilmu di bidang itu, baik yang muslim atau bukan, dan dapat dihirtung sampai beberapa puluh tahun ke depan, sehingga memudahkan umat dalam melakukan berbagai perencanaan. Metode ini juga dianggap lebih meyakinkan dan lebih memberikan kenyamanan karena dapat memberikan kepastian dan kelapangan kepada semua umat. Lebih dari itu penggunaan metode ini tidak hanya bermanfaat untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan, tetapi juga bermanfaat untuk menentukan awal bulan kamariah secara keseluruhan, sehingga penanggalan ini dapat digunakan sebagai penanggalan dunia, yang pada giliran berikutnya dapat menjadi identitas umat Islam.

Metode ini menurut penulis telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai metode tajdidiah, karena lahir sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi untuk memenuh keperluan umat di masa sekarang. Lebih dari itu belum diiikuti oleh umat Islam pengikut model mazhabiah ataupun salafiah. Seperti terlihat metode ini tidak ada dalam mazhab karena merupakan metode yang disusun oleh para ulama pada masa sekarang, bertumpu pada kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya ilmu astronomi. Walaupun berupaya memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan mutakhir, metode ini tetap berdalil kepada Al-Qur’an dan hadis Rasulullah, sehingga memenuhi syarat ushul fiqih, bahkan sampai batas tertentu akar-akar dari metode ini, sudah ditemukan juga di dalam metode atau kesimpulan salafiah dan mazhabiah, misalnya pada konsep rukyah global di atas.

Menurut penulis inilah diantara alasan kenapa Muhammadiyah secara mantap menempuh metode astronomis (hisab falakiah) untuk menentukan awal bulan kamariah, dan mempertahankannya secara relatif gigih.

Penulis sengaja menggunakan cara menentukan awal bulan kamariah sebagai contoh untuk menjelaskan perbedaan antara metode (model) salafiah, mazhabiah dan tajdidiah, karena relatif mudah dilakukan. Dalam kasus ini ada pengaruh dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga kelihatan pengaruh dari kemajuan ilmu dan teknologi tersebut. Sekiranya kasus yang kita ambil tidak berkaitan langsung dengan kemodernan, seperti shalat Jum`at atau shalat Tarawih, atau zakat, maka pembedaan tersebut tidaklah sekontras kasus ini, tetapi tetap akan terlihat adanya perbedaan dan perubahan yang telah dan atau perlu dilakukan, untuk lebih memudahkan umat mengamlkannya.


*Penulis adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh dan sehari-hari bertugas sebagai Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh.

**Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Wawasan Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 14 tahun 2012

Exit mobile version