“LAPINDO !”
: surat buat Presiden
waktu tak tampak, bukan jalan yang lincah, nasib yang lekas,
maret ke-12, aku membacamu yang berpeluk ke rimbun pohon,
cemasmu tak tergoyah. Seakan menebar bunga-bunga kemenyan
arahmu mencari mata gerimis. Tak lepas dari kenangan:
bersandar ke kaca jendela, berdiri alpa lalu memeluk remang,
Kau mengganti kulit tahun. Dan rasa peduli hilang kendali
—masih pada warna yang sama, entah apa yang terasa, sakit
atau unggas yang berkarat ke tengah kolam—Kau suka berlagu
dan kerap mencuri warna bunga. Kau diam-diam bergeser,
Kau menegur air dengan tatapan yang cermat, Kau bisa
memilih bulan dalam jerami, Kau tak terbelah. Saat hujan
acuh atas masa lalu, bukan akal menjamah hutan ke awal syair,
mengubahmu jadi hening—tempat senja menoreh sedih
seperti orang-orang pincang. Ke puncak Maret: kita minum teh,
lalu teringat pada letak pakis di dinding sumur—dulu,
Kau bertukar rupa ke tetes air, cinta yang sepadan
dengan bayangan. Kau merubah langkah. bulan jatuh lalu beranak
ke dasar kolam, jam tak berhenti di angka tujuh
Kau mengharap cuaca bisa berubah—dan kelak,—ibu yang kekal
teguhkan tanah-tanah retak ke hulunya: aku berlari,
sampai bulan abu, terbakar tungku. hari remajamu seperti sihir,
bualan hikmat di bawah payung,—jauh ke tengah hari
bila terlanjur kemungkinanmu, kubuka simpulmu”—aku berujar
bersama burung, tak risau saat tergelincir ke ujung daun.
(2009-2011)
FRAGMENT OF INSANITY
—usai Tsunami Aceh
tangis tak selalu berkisah. Masa lalu
yang jauh di dasar laut. Aku bermimpi
seakan menggiring mendung ke puncak bukit,
biar dunia terbuka—
tapi cintaku mati. Di jubah Desember
saat kita dipisahkan tsunami, kutulis syair
tentang jarak bumi dan bulan,
badai ini tak mungkin kutolak,
pikiranku pergi dari tubuh. Di malam yang
tak berputus, bulan yang mati tinggal abu,
saat pagi menyala di jalan lembah,
aku seperti mayat yang tak berjawab
dan mengukir setiap bayangan
(2004-2011)
JAGIR WONOKROMO, I
—usai penggusuran
hening yang tak bisa diduga
membujukmu pergi,
dan prenjak tak lagi melintas,
ujarmu tak berbalas
senjamu tak sama seperti kemarin,
cuma bisikan-bisikan ke sungai
sisa gelap ditulis kereta malam
seperti ingatan,
ke lampu 40 watt
pesanmu tercatat, dan kucemaskan
caramu memandang
setelah halaman buku terlanjur tertutup,
dan kampungmu yang lama
adalah anjing-anjing yang menguap
(Surabaya, 2004-2011)
JAGIR WONOKROMO, II
—kepada perkampungan streenkali Jagir
kau tak lagi datang subuh ini,
bulan pergi usai memungut gugur daun
di pelupukmu, ia menyebutmu. Dalam resah
sungai yang tua hilang arah,
pada potret lama: kau pernah limbung
mainkan lagu bersama orang-orang kakilima,
ocehan-ocehan tak jelas, pasar maling,
kenyataan cuma tanda titik,
kota yang berganti kulit, dan neon-neon
menembus ruang penuh bius,
membusukkan apa yang tertangkap mata,
kesabaranmu adalah bahasa
yang telah mati. Tubuh yang kalah
(tubuh yang memantulkan
—ujud dari Ibu yang gaib)
Kelak, pintu kota telah tertutup. Tanpamu,
jika esok mulai dituliskan lagi:
dan jika seekor anjing mencari-carimu,
mungkin kau mainkan klarinet
di akhir syairku.
(2011)
AWAL
Setelah kata berakhir dan angin tak lagi menggerakkan apapun di sekitar kita, setelah adzan magrib melintas teluk dan September sujud tanpa bisikan, setelah kematian menjawab semua teka-teki, setelah tiap rumus matematika tak menjadikan kita bijak. Di sini. Kita sendiri di bulan. Pada batas terluar dari kenyataan. BISMILLAH,
Setelah halaman terakhir buku kita tutup. Burung-burung dan semua bunyi hilang. Senyapkah?
(2011)
TREMBESI
—pojok jalan Kartini, Blitar
hidup yang kutiup, saling bersahut
mawar hitam yang dibisikkan ke air—
bayanganku damai bubuhkan warna,
kutandai tahun dengan nyanyi yang
meninggalkan sunyi. tanpa jiwa. aku tak mengerti
dunia macam apa yang kupilih,
nasibku masih di ufuk. pada jam gementang
gelap khusyuk dan tumpah ke dinding
ada sebab yang terasa seperti teriak
senjaku lari menuju hutan. jalan di dalam
ketakutan, ruang yang tiada tepi
aku membacamu dengan getir seperti sebuah tanda seru
tak ada esok. syair hanya terucap kabut—
menjadikanku begitu liar
kesadaranku menjauh dan dilecut cambuk
waktu memalingkan muka. kenangan
yang tak dikenali. cerita yang menyakitkan
menjadikanku separuh api,
sendiri. bisikan-bisikan yang berlepasan
aku tak mungkin menjaga dunia dari kehilangan,
bayanganku tlah menikamku dari belakang
(Blitar, 2009)
W Haryanto, penyair, eseis, dan penulis naskah drama. Karya-karyanya banyak termuat di pelbagai media massa, Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dll. Puisi-puisinya juga terkumpul dalam sejumlah buku, antara lain, Birahi Hujan (DKJ, 2003), Ubud Writer Festival 2010, Temu Sastrawan Indonesia 2010,dll. Selain menulis juga menyunting dan menerbitkan buku-buku penulis-penulis muda Jawa Timur, Generasi Mutakhir Penyair Jawa Timur edisi 1 (2007), Generasi Mutakhir Penyair Jawa Timur edisi 2 (2008), No Prayer for The Dying (antologi tunggal Puput Amiranti, 2011), Rakyat & Tuhan (antologi 4 penyair Blitar, 2011), dan Airmata di Jumat yang Agung (antologi tunggal Langitjiwa Andra, 2011). Bersama kelompoknya UKM Teater MataAngin Unair pernah lolos dalam Festival Teater se-dunia Project Istro-politana di kota Bratislava, Slovakia, 2008. Kini menjadi ketua Forum Alumni Unair Independent (FauNa). Menetap di Ngagel Baru 3/16 Surabaya, HP: 081703260717, email: [email protected]
*Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Humaniora Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 2012