Oleh Dr H Haedar Nashir MSi
Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa politik (as-siyasah) bagi umat Islam ialah “segala perbuatan yang membawa manusia pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan”. Karena itu politik dalam Islam bukan sekadar urusan “who gets what, when and how”, yakni siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya meraih kekuasaan sebagaimana logika Lasswell. Politik juga tidak kalah pentingnya harus dikatrol oleh nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan yang oleh Ibn Taimiyyah disebut “al-siyasah al-syar’iyyah”.
Namun dalam kenyataan, politik dalam dunia praktis paling sering berurusan dengan hal-hal yang pragmatis sebagaimana dikemukakan Lasswell. Setiap orang atau kelompok yang bergerak dalam perjuangan politik pada puncak dan titik-titik yang paling menentukan sering ujung-ujungnya ialah memperebutkan kekuasaan. Kekuasaan itulah yang menjadi ukuran dan tujuan utama dari berpolitik. Dari kekuasaan itu bahkan mengalir uang yang sering dijadikan transaksi-transaksi dalam politik.
Karena politik semata-mata berurusan dengan perjuangan meraih, menduduki, dan mempertahankan kekuasaan maka tidak sedikit atau pada umumnya lantas terjadilah penghalalan segala cara demi meraih tujuan. Machiavelli menyebutnya politik “ala Rubah”, yakni demi kejayaan politik maka setiap pelaku politik harus berani memperjuangkan politik-kekuasaan itu dengan cara-cara yang serba perkasa. Bila perlu dengan melakukan apa saja, the end justifies the means. Tujuan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara yang mengatasnamakan agama.
Politik Utama
Politik untuk perjuangan kekuasaan tidaklah salah, bahkan halal adanya. Di negara demokrasi bahkan perjuangan kekuasaan itu diatur dalam sistem politik yang absah melalui konstitusi dan prosedur yang legal. Politik kekuasaan boleh dikatakan merupakan suatu kewajiban atau keniscayaan jika negara dan berbagai hajat hidup rakyat ingin diperjuangkan secara demokratis dan konstitusional. Maka, perjuangan politik pun dapat menjadi perjuangan dakwah dan jihad fi-sabilillah. Politik kekuasaan sungguh tidak haram atau terlarang.
Namun perlu diingat bahwa berpolitik pun harus jelas motif, cara, dan tujuan yang ingin diperjuangkan. Bukan semata-mata hanya untuk perjuangan kekuasaan diri atau kelompok, lebih dari itu kekuasaan yang diperjuangkan pun bukanlah samata-mata kekuasaan demi kekuasaan. Karenanya, politik (politik-praktis) yang bergerak dalam aktivitas perjuangan haruslah dikaitkan dengan aspek-aspek yang lebih luas atau ideal dari politik itu sendiri. Bahwa politik dalam makna perjuangan kekuasaan bukanlah satu-satunya ranah politik, masih terdapat ranah politik yang lain.
Dalam ilmu politik wilayah politik itu bukan sekadar perjuangan kekuasaan atau yang disebut power struggle, yang dalam keseharian disebut politik-praktis atau oleh Prof. Amien Rais disebut “low politics”. Politik secara lebih luas menyangkut bagaimana pengoperasian negara, yakni bagaimana negara itu dikelola dengan benar, baik, dan patut. Politik juga berkaitan urusan-urusan pengambilan keputusan (dessicion making), terutama yang berkaitan dengan hajat hidup publik. Politik bahkan bersentuhan dengan aspek “public good” yaitu urusan yang menyangkut kebaikan-kebaikan umum, termasuk moral. Pada berbagai arsiran tiga ranah itulah yang kemudian disebut Pak Amien Rais dengan “high politics”.
Karena itu, perjuangan politik apapun harus terkait dengan idealisme bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan. Termasuk harus selalu terbingkai dalam nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan sebagaimana diajarkan agama maupun moralitas universal. Sebaliknya harus menjauhi hal-hal yang bersifat kebatilan, keburukan, dan ketidakpatutan baik menurut agama maupun moral publik. Inilah sisi lain atau esensi dari politik adiluhung, yakni politik yang tinggi (high politics) atau utama. Nilai tinggi atau utama bukan sekadar cakupannya, tetapi juga nilai-nilainya termasuk nilai akhlak atau moral berpolitik. Dalam bahasa Ibn Qayyim, apapun politik itu harus tetap mengacu pada serba kemaslahatan (akrab ila al-shalah) dan menjauh dari serba kerusakan (ab’ad ‘an al-fasad).
Politik tingkat rendah bukan berarti harus berperangai rendahan seperti pemulung politik, yang melakukan apa saja termasuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan tak senonoh demi tujuan kekuasaan. Apalagi dengan kekuasaan yang diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara itu hanya untuk memperkaya diri, kroni, dan dinasti yang tak berkesudahan sehingga terjadi perburuan politik tahta plus harta. Lebih-lebih manakala perjuangan politik rendahan itu mengatasnamakan agama dan rakyat, yang sesungguhnya berbanding terbalik alias jauh panggang dari api.
Politik Muka Dua
Rakyat atau umat di negeri ini banyak kecewa dengan berbagai perilaku elite dan kekuatan politik yang pada akhirnya hanya memperjuangkan kekuasaan demi kekuasaan. Kini bahkan muncul pandangan, baik partai sekuler maupun partai politik agama, akhirnya sama saja kalau sudah menyangkut kepentingan politik, yakni sama-sama menerabas (pragmatis) dan bahkan menghalalkan segala cara (oportunistik, Machiavelistik). Bedanya hanya satu, antara yang memakai dalil dengan tidak memakai dalil agama. Suatu pandangan negatif yang tentu tidak nyaman untuk para pelaku politik Islam.
Dunia politik memang keras dan banyak melibatkan berbagai kepentingan yang kompleks, yang ujungnya kalau tidak jabatan juga uang. Namun semestinya baik menyangkut jabatan maupun uang, tidaklah menjadikan urusan politik serba tahta dan serba harta, lebih-lebih dengan menegasikan dan meleuruhkan idealisme politik. Nilai benar-salah, baik-buruk, pantas-tidakpantas haruslah tetap menjadi fondasi, bingkai, dan orientasi dalam berpolitik. Sebab jika demi alasan dunia politik memang sarat kepentingan lantas membolehkan apa saja maka apalah artinya idealisme?
Kini muncul istilah politik “dua kaki “ atau politik “muka dua” untuk elite dan partai politik yang dalam berpolitik berada di dua posisi yakni di pemerintahan dengan bergabung di koalisi dan beropisisi ketika harus mengambil sikap politik yang dianggap tidak menguntungkan partai politiknya. Termasuk dalam menyikapi rencana kebijakan menaikkan BBM, yang membelah sikap partai politik di parlemen. Sebenarnya persoalan politik dapat dibuat lebih simpel. Siapa mendukung kemukakan argumentasi yang kuat, sebaliknya yang tidak mendukung, sehingga publik diyakinkan dengan alasan yang masuk akal. Tapi semua harus transparan, jujur, dan tidak sarat kepentingan politik yang terselubung, yang membuat dunia politik di negeri ini makin kacau-balau. Benar atau salah dalam kebijakan merupakan bagian dari mengurus negara, tetapi semuanya harus jujur dan terpercaya, tidak nifaq alias muka dua.
Demikian pula dalam membawa pesan agama atau dakwah dalam politik, sungguh mulia. Tetapi agama dan berpolitik dengan misi dakwah pun haruslah konsisten, jujur, dan transparan sehingga tidak membodohi umat. Lebih mudah dipahami manakala suatu kali salah dalam mengambil sikap politik ketimbang mempolitisasi umat dan agama minus kejujuran dan keterbukaan. Islam atau dakwah jangan dijualbelikan atau dijadikan komoditi politik hanya untuk tangga kekuasaan belaka, yang pada akhirnya berpolitik atasnama agama pun sama pragmatis dan sama oportunistik seperti mereka yang sekuler seperti upeti dan politik dalam pemilukada.
Perilaku politik yang cenderung muka dua (nifaq) seperti itu mencedarai etika dan nilai-nilai kebaikan agama karena politik akan sarat dusta dan manipulasi. Jangan sampai berpolitik seperti makan nangka tapi tak mau getahnya. Politik yang ingin menikmati jabatannya tetapi tidak mau resikonya. Demikian pula dalam membawa misi dakwah dan agama, bersikaplah konsisten dan menjadikan nilai-nilai luhur itu sebagai fondasi utama. Jangan sampai agama menjadi lahan transaksi-transaksi politik yang sarat kepentingan sesaat. Kita masih percaya banyak elite politik yang jujur dan memegang idealisme, meski masih kalah populer dari kaum pragmatis.
Kita berharap rakyat atau umat pun belajar semakin kritis dan tidak mudah mengidap penyakit gampang lupa, karena pada dasarnya perangai politik elite dan partai politik yang serba pragmatis dan oportunistik itu justru lahir karena sering dimanjakan oleh rakyat atau umat sendiri. Para elite dan kekuatan politik yang menghalalkan segala cara itu tak pernah dihukum rakyat atau umat, lebih-lebih manakala membawa-bawa misi agama. Di sinilah pentingnya mengembalikan politik pada niai-nilai utama secara genuin tanpa retorika dan muka dua sebagaimana dipetuahkan Ibn Qayyim, yakni bagaimana berpolitik-maslahat dan bukan berpolitik-mafsadat!
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik ‘Bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 9 tahun 2012