YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pluralitas sebagai Sunnatullah. Mengawali seminar bertema “Pluralism in Indonesia: Perspectives from Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama” di Grha Suara Muhammadiyah, pada Selasa, 11 September 2018, Ahmad Syafii Maarif mengajak para peserta untuk merenungi penggalan Firman Allah di Qur’an Surat Yunus (10) ayat 99.
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Berdasar ayat tersebut, ungkap Buya Syafii, maka paham tentang kebinekaan, pluralitas dan keberagaman seharusnya tidak perlu lagi dipertanyakan. “Bicara pluralitas itu bicara tentang sunnatullah, hukum alam,” katanya. Sang Pencipta telah menetapkan bahwa kehidupan di dunia ini penuh warna.
Di tengah pluralitas itu, maka manusia diminta untuk saling berlapang dada dan bertenggang rasa. Manusia sebagai wakil Allah di muka bumi mendapat mandat untuk mengelola dan menjaga kelestarian planet ini. Dalam rangka itu, manusia harus mencipta suasana harmoni dan damai. “Berbeda dalam persaudaraan. Bersaudara dalam perbedaan,” ulas Buya.
Ada beberapa ayat yang semisal itu. Antara lain Qur’an Surat al-Hujurat (49) ayat 13 menyatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kata “lita’arafu” dalam ayat tersebut, kata Buya, tidak dimaknai sekadar saling mengenal, tetapi manusia diperintahkan untuk saling bertukar peradaban, saling belajar. Dalam ayat lainnya diperintahkan untuk “fastabiqul khairat”. Artinya, bahwa manusia, apapun latar belakang identitasnya, diperintahkan untuk menebar kebajikan, berkonstribusi pada kemanusiaan. Tidak hanya toleran secara pasif, tetapi toleran aktif yang mengharuskan untuk saling berkolaborasi, dalam bingkai merayakan perbedaan.
Menurut Buya Syafii, asalkan kita memegang teguh ajaran yang kita yakini, maka orang juga akan menghormati secara otentik. Ketika kita percaya diri dengan keimanan yang kita yakini, maka tidak perlu ada kecurigaan pada mereka yang berbeda. Oleh karena itu, sikap intoleran dan tidak mau mengakui keberadaan pihak lain, merupakan bagian dari laku orang-orang yang tidak percaya diri dengan apa yang dianutnya. “Orang percaya diri jadi toleran,” ujarnya.
Buya Syafii mencontohkan bahwa pada masa Abbasiyah ketika peradaban Islam sempat maju, maka di sana ada jejak bagaimana Islam menjadi umat yang unggul dan percaya diri. Pengetahuan dijunjung tinggi. Ribuan karya non-Arab diterjemahkan tanpa curiga bahwa itu bukan dari Islam. Namun kemudian, setelah Islam menjadi peradaban yang terluka, maka tingkat kepercayaan dirinya menjadi rendah. Tidak hanya terluka, Islam kemudian menjadi peradaban yang kalah. “Kalau mengerti agama, tidak akan kalah begitu,” tuturnya.
Qur’an menyebut bahwa kalah dan menang akan dipergilirkan di antara manusia, tetapi dalam realitasnya, umat Islam selalu dalam posisi kalah. Menurut Buya, bukan berarti al-Qur’an yang salah, tetapi umat Islam yang tidak mau berjuang dan menjemput kemenangan. “Qur’an pasti benar. Tapi otak muslim belum tentu benar. Allah itu berpihak. Tidak netral. Intervensi Tuhan perlu dijemput. Innaallaha maalmuttaqin, maashabirin. Pemihakan Tuhan harus dengan diundang,” urainya. Kondisi itu menjadikan umat Islam statis, tidak mau berubah ke arah lebih baik. Padahal, al-Qur’an juga menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mau merubahnya.
Kitab suci mengharapkan umat Islam menjadi khairu ummah. Keunggulan itu bukan untuk menghegemoni, tetapi untuk menebar kebaikan dan keadilan. Tauhid selalu bersenyawa dengan keadilan. Prasyarat untuk menjadi umat terbaik dimulai dengan sikap belajar dan berpedoman pada nilai-nilai luhur al-Qur’an. “Baca Quran, akan memberikan kata kunci dalam menghadapi dunia. Al-Qur’an sebagai al-furqan, pembeda, yang menunjukkan antara yang benar dan tidak,” katanya.
Dalam mendekati al-Qur’an, kata Buya, diperlukan keseriusan untuk memahaminya dengan akal sehat dan hati yang jernih. “Marifatu al-din bi al-adillah. Mengenal agama dengan dalil atau argumentasi, dalil iman dan ilmu pengetahuan,” terangnya. Al-Qur’an tidak hanya dipahami oleh suatu etnis tertentu saja, tapi terbuka untuk semua manusia. Pernyataan Buya Syafii untuk mengkritik anggapan seolah hanya bangsa Arab yang memahami al-Qur’an yang berbahasa Arab dan diturunkan di Arab.
“Kelemahan muslim non-Arab di muka bumi ini adalah tidak bisa membedakan antara yang Islam dan yang Arab. Terjadi misguided arabism. Rongsokan peradaban Arab kita beli di sini,” katanya. Buya mengaku tidak membenci Arab, dan Nabi Muhammad sebagai manusia teladan juga merupakan orang Arab. Hanya saja, para Muslim non-Arab harus bisa jernih memilah antara nilai-nilai agama dan yang murni kebudayaan Arab. “Muslim non-Arab harus mengerti agama,” ujarnya.
“Lawan kita sekarang adalah kebodohan. Jangan hidup dalam kebahlulan,” kata Buya. Menurutnya, hidup ini hanya sekali dan singkat, karena itu, hiduplah yang berarti. Kepada anak-anak muda, Buya berharap banyak. Mereka harus menjadi agen pembawa perubahan. Dimulai dengan terus memungut kearifan. “Anak-anak muda harus berpikir lebih radikal dan maju. Jadilah generasi yang kritical, tapi jujur. Kurangi waktu tidur Anda, untuk belajar,” tukasnya.
Terakhir, Buya Syafii menitipkan pesan supaya generasi muda Muhammadiyah dan NU untuk tetap berjuang dalam wadah organisasi. Pada saatnya, riak-riak kecil yang kini dimiliki generasi muda, akan menjelma gelombang besar yang membawa perubahan pada bangsa. “Jangan keluar dari NU dan Muhammadiyah, rebut itu,” kata Buya Syafii.
Pluralitas dalam Kebangsaan
Sementara itu, putri almarhum Gus Dur, Alissa Wahid menyatakan bahwa sudah saatnya NU dan Muhammadiyah untuk lebih percaya diri dalam peran-peran kebangsaan. Kedua organisasi ini merupakan para pendiri republik yang kini sering ditinggal kereta. Di saat yang sama, NU dan Muhammadiyah harus siap berkontestasi dengan kelompok-kelompok baru yang tidak punya tanggung jawab terhadap peran kebangsaan.
Alissa bercerita tentang massivnya gerakan-gerakan Islam Kaffah dengan semangat puritanismenya berusaha untuk mengacaukan republik ini. Mereka membawa paham Islam yang kaku dan intoleran. Bahkan ada kelompok yang menyatakan bahwa NU dan Muhammadiyah perlu diislamkan kembali. Oleh karena itu, kesibukan NU dan Muhammadiyah mengurus roda organisasi tidak boleh melupakan peran yang lebih besar.
Terkait pluralitas dan paham toleransi, Alissa menguraikan tentang kekayaan khazanah NU di tengah keanekaragaman. Lima prinsip dasar NU perlu untuk selalu diinternalisasikan sebagai acuan, berupa nilai-nilai tasamuh, tawasut, tawazun, i’tidal, dan amar makruf nahi munkar.
Peneliti Islam Indonesia, Mark Woodward, yang hadir dalam acara ini ikut memberikan tanggapan termasuk tentang pluralitas. Dia menyatakan rasa optimismenya tentang Muhammadiyah dan NU di masa depan. Meskipun memiliki sisi-sisi perbedaan, kedua organisasi ini memiliki perhatian yang sama dalam pandangan kebangsaan.
Mark Woodwark mengingatkan bahwa di kota-kota besar, ada banyak kelas menengah muslim yang tidak berafiliasi dengan Muhammadiyah dan NU. Termasuk di antaranya adalah anak-anak muda. Mereka memiliki potensi untuk mengikuti arus Islam mainstrem ataupun sebaliknya. (ribas)