Generasi Muda Harus Mengerti Sejarah, Indonesia Buah dari Karya Bersama

Generasi Muda Harus Mengerti Sejarah, Indonesia Buah dari Karya Bersama

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Belajarlah sejarah agar arif dan bijak. Kalimat itu diyakini betul oleh Guru Bangsa Ahmad Syafii Maarif. Mengkaji sejarah dan merefleksikan kehidupan masa lalu akan menjadikan seseorang dapat memberi makna pada kehidupan hari ini dan di masa mendatang. Oleh karena itu, generasi muda yang nantinya akan melanjutkan estafek perjalanan bangsa, harus memiliki khazanah pengetahuan yang mendalam tentang sejarah bangsa.

“Anak-anak muda seperti Anda harus ngerti sejarah. Jangan seperti sebagian besar politisi, mereka tidak mengerti bangsa. Mereka lahir sebagai politisi, bacaan kurang, harta kurang, lalu politik menjadikan politik sebagai mata pencaharian,” tuturnya di acara Diskusi dan Lokakarya “Pengarusutamaan Nilai Toleransi dan Keadilan Sosial Lintas Agama dan Budaya”, bertempat di Gedung PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, pada Selasa (11/9/2018).

Menurut Buya Syafii, generasi emas akan memegang peranan penting pada usia seabad Indonesia, di tahun 2045. Sebagai pemegang peran strategis, maka anak-anak muda harus dibekali dengan pengetahuan dan jiwa nasionalisme. Terus belajar adalah kunci. Kata Buya, “Generasi ini harus lebih baik.”

“Baca umpamanya karya-karya Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Subarjo, Kasimo. Baca Pidato Pembelaan Bung Hatta di Mahkamah Belanda Den Haag, pada Maret 192 dengan judul ‘Indonesia Merdeka’. Baca Pidato Pembelaan Bung Karno di Bandung pada Agustus 1930, dengan judul ‘Indonesia Menggugat,” urainya.

Dengan mengkaji gagasan para pendiri bangsa, maka kita akan tahu bagaimana cita-cita kemerdekaan harus dijalankan. “Republik ini adalah karya bersama. Bukan karya yang mengaku mayoritas. Minoritas ikut berbuat. Ada tokoh Kristen, Katolik, China. Ini karya bersama,” ungkapnya.

Buya Syafii sempat menceritakan bagaimana para tokoh bangsa dalam berkorban demi keutuhan bangsa. Mereka rela membuang 7 kata dalam Pancasila pada 18 Agustus 1945, demi menjaga keutuhan bangsa, demi menjaga kemajemukan.

Warisan sejarah menunjukkan bahwa minoritas tidak harus tersingkir. Buya menceritakan semisal ketika pemilihan bahasa persatuan. “Bahasa nasional diambil dari suku kecil di Riau, Bahasa Melayu. Bukan dari bahasa mayoritas, Jawa atau Sunda. Karena bahasa Riau lebih egaliter dan lebih demokratik,” ujarnya. Sementara Bahasa Jawa dengan kekayaannya memiliki banyak kerumitan.

Tidak hanya itu, kata Buya, yang memelopori Bahasa Melayu adalah segelintir orang semisal penulis roman Salah Asuhan, Siti Nurbaya. Ada juga Ki Hajar Dewantara, Marah Rusli, Abdul Muis. “Ki Hajar yang membela bahasa ini, berbeda dengan sahabatnya Cipto Mangunkusumo, yang mengusulkan Bahasa Belanda,” ulasnya.

“Saya berharap anak-anak muda yang belum terkontaminasi politik, pimpin republik ini, lain sama sekali. Harus memahami betul proses pembentukan republik ini. Salah satu caranya membaca. Politik kita ini politik kumuh,” katanya. Buya berharap generasi muda mau untuk mengganti politik kumuh menjadi politik yang berintegritas.

Buya Syafii berharap banyak supaya peserta kegiatan ini kelak menjadi gelombang besar. Kelompok radikal sebenarnya hanyalah riak kecil, tetapi mereka vokal di ruang publik dengan narasi memikat. “Kelompok radikal, mereka membeli teologi maut yang datang dari Timur Tengah. Dibawa ke sini. Bodohnya kita. Saya kenal beberapa eks kombatan, mereka menyesal betul,” kisah Buya.

Guna mengurangi radikalisme, Buya Syafii menyatakan bahwa sila kelima Pancasila harus dibumikan. “Masalah kita karena sila kelima tidak dijadikan pedoman dalam melakukan pembangunan. Yang kaya hanya beberapa. Kaya tidak tanggung-tanggung, punya rumah di California dan segala macam. 100 orang asetnya 3000 Triliun, melebihi APBN. Mereka mendapat fasilitas dari bank, dari negara. Mungkin juga kongkalikong dengan penguasa. Sementara kelompok pemarah juga hanya bisa marah,” katanya.

Persoalan keadilan sosial ekonomi merupakan persoalan rumit. Tidak bisa kemiskinan dihapuskan sama sekali, tapi sangat bisa untuk diminimalisir. Guna mencapai tujuan itu, maka semua pihak harus saling belajar dan memperbaiki diri. “Tak ada gunanya marah-marah, habis tenaga, habis energi, pikiran mumet. Tapi tidak mau belajar. Generasi yang akan datang harus jauh lebih baik. Tegaknya keadilan, tegaknya egaliter. Humanity is one. Kesatuan kemanusiaan hanya bisa ditegakkan dengan lapang dada. Bumi ini untuk semua makhluk Tuhan, asalkan menegakkan keadilan, semua berhak,” urainya.

Meskipun semua bebas hidup di muka bumi, namun Buya menggarisbawahi bahwa kebebasan tidak boleh melampaui batas. “Bebas itu dibatasi oleh kepentingan umum. Kalau dibiarkan semua, kacau dunia ini. Kebebasan itu bukan si binatang jalang. Kebebasan untuk kepentingan masyarakat umum. Dibatasi oleh kepentingan bangsa dan negara,” ungkapnya.

Bangsa kita masih on going proses, oleh karena itu harus dipercepat dengan membangun nation and karakter building. Buya menyebut bahwa para pendiri bangsa merupakan sosok-sosok pembelajar hebat, para begawan dan negarawan. Tetapi, ada sisi-sisi lain yang perlu dijadikan sumber pembelajaran. Semisal kisah pertikaian di antara mereka. Itulah gunanya belajar sejarah. “Belajar sejarah agar arif,” tegasnya.

Terakhir, Buya Syafii berharap supaya di tubuh bangsa ini tidak kering keteladanan. “Anak-anak muda ini butuh keteladanan. Ada keteladanan, tapi riak-riak kecil. Bukan gelombang besar. Suatu saat akan jadi gelombang besar,” kata Buya Syafii optimis.

Sementara itu Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Prof Hariyono menyatakan bahwa Pancasila harus dibumikan dan dijadikan sumber nilai dalam kehidupan. Pancasila dijadikan alat pemersatu antar semua komponen bangsa, tidak hanya antar agama.

“Pancasila juga sebagai bintang penuntun bagi masa depan,” katanya. Dijadikan nilai-nilai integritas, moralitas, ilmu dan teknologi. Menurutnya, ketika bangsa ini memiliki prestasi dan Pancasila dijadikan basisnya, maka semua akan bangga dengan Pancasila. “Mengapa tidak bangga dengan Pancasila? karena kita tidak punya prestasi. Lihat Asian Games, semua menyebut, siapa kita? Indonesia,” ujarnya.

Hariyono sependapat dengan Buya Syafii, bahwa belajar sejarah bangsa sangat penting bagi generasi muda. “Manusia hidup dalam alam prehistori, tidak mempertanyakan siapa dirinya. Tidak pernah mengenal diri dan sejarahnya,” katanya. Ketika tidak pernah merefleksikan diri, maka akan ada nilai-nilai yang luruh.

Dalam setiap perjuangan, termasuk usaha membumikan Pancasila, Hariyono menyatakan bahwa antara harapan dan perjuangan harus saling bertepuk sambut. Masih ada masa depan yang menanti dan perlu diperjuangkan.

Harapan itu lahir ketika di masyarakat bawah justru Pancasila hidup dalam keseharian. “Tafsir Pancasila tidak boleh dipolitisasi oleh pemerintah. Justru di daerah-daerah ada komunitas-komunitas yang membumikan Pancasila dengan gotong royong dalam wujud nyata,” katanya, sembari memberi contoh yang dilakukan Hasto Wardoyo di Kulon Progo.

Lebih penting dari itu, keteladanan perlu selalu dihadirkan. “Sering orang gagal karena menuntut orang lain jadi teladan. Tapi tidak memaksa diri jadi teladan. Harusnya sebelum mengubah dunia, kita mengubah diri sendiri,” urainya.

Hariyono mencontohkan keteladanan yang kerap diberikan Buya Syafii. “Dewan pengarah kami, Buya tidak mau naik pesawat bisnis, maka kami tidak pernah berani untuk naik pesawat kelas bisnis,” katanya. Itulah makna Pancasila yang tidak hanya lips service. Prestasi dan keteladanan ini harus menjadi resonansi yang menularkan energi kepada semua.

Senada, pengajar di Universitas Kristen Petra, Linda Bustan juga menyetujui bahwa belajar sejarah bangsa sangat penting dilakukan. Semisal tentang bagaimana bangsa ini pernah mendiskriminasi warganya sendiri. Dan Linda Bustan mengaku harus mengubah nama karena berasal dari etnis minoritas, Tionghoa.

Dengan memahami sejarah bangsa, akan bisa meminimalkan pontensi terulangnya kejadian serupa. “Potensi konflik itu ada, mayoritas berasal dari masalah identitas, dan dari politik identitas,” katanya.

Konflik, kata Linda, sering terjadi karena kehidupan ekslusif dan lingkungan homogen. Dia sepakat dengan pepatah Jawa, witing tresno jalalan soko kulino, bahwa kasih sayang dan cinta lahir karena sering ketemu. Oleh karena itu, untuk meminimalisir konflik, maka harus diperbanyak perjumpaan, interaksi, saling mengenal. “Jika tidak ada perjumpaan, maka bahaya,” katanya.

Termasuk misalnya mengenal minoritas. Jumlah Tionghoa di Indonesia berdasar sensus tahun 2010 adalah 1,2%. Survei-survei menunjukkan bahwa etnis Tionghoa ingin dikenal sebagai warga Indonesia, bukan sebagai etnis yang partikular. “Di kalangan milenial, masalah kesukuan mulai hilang, menjadi Indonesia. Tapi Indonesia yang bagaimana? Indonesia yang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, ini penting,” ujarnya.

Hal lainnya, etnis China yang datang ke Indonesia pada abad ke-18 dan 19, merupakan orang-orang miskin petani di Cina yang bermigrasi. Di Hindia Belanda kala itu, ada peraturan bahwa mereka tidak boleh punya lahan, tidak bisa bertani. Satu-satunya pilihan adalah perdagangan, maka kini mereka menjelma pengusaha.

Menurut sebuah penelitian lainnya, Linda menyatakan bahwa diskriminasi tidak hanya ditentukan oleh perbedaan SARA, tetapi oleh behavior atau perilaku. Ketika perilakunya sama, maka dia akan bisa diterima. Linda mencontohkan dalam kasus kontestasi politik, banyak yang berbeda tetapi diterima karena alasan behavior.

Adapun ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menyatakan beberapa fakta tentang merebaknya mafia di Indonesia. Ketidakadilan dimulai dari kongkalikong penguasa dan pengusaha. Kasus korupsi terjadi hampir di semua jenjang pemerintahan. Pemerintah sering abai dengan nasib rakyatnya. Dikalahkan oleh syahwat kuasa dan keinginan pengusaha. Oleh karena itu, mantan ketua KPK ini berharap generasi muda menjadi pembawa perubahan di tubuh bangsa ini.

Perwakilan Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah, Yayah Khisbiyah menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan realisasi program kerjasama antara PP Muhammadiyah dengan SANTEGIDIO yang berpusat di Roma, Italia. Kedua institusi ini punya komitmen untuk meningkatkan nilai-nilai toleransi dan mendukung penuh nilai-nilai Pancasila. Kegiatan ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan.

Para peserta dari kegiatan ini, kata Yayah, adalah para generasi muda dari beragam latar belakang agama dan komunitas. Diharapkan akan menambah wawasan dan memperkuat kesadaran generasi muda tentang pentingnya mengarusutamakan nilai-nilai toleransi dan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. (ribas)

 

Exit mobile version