SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta serta Majelis Pustaka Seni Budaya dan Informasi PDM Surakarta mengadakan diskusi terpumpun bertema “Muhammadiyah Kultural: Sebuah Pencarian Identitas Baru” pada Sabtu, 15 September 2018. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Induk Siti Walidah ini menghadirkan Fajar Sutardi, Lya Fahmi, dan Muarif sebagai pembicara.
Fajar Sutardi memulai paparannya dengan mengajukan pertanyaan, “Kenapa diperlukan dakwah Muhammadiyah Kultural?” Jawabannya sederhana, bahwa Muhammadiyah harus bisa diterima oleh kalangan menengah bawah. “Dakwah Muhammadiyah kultural itu perlu mengikuti arus air. Yang dimaksud di sini adalah mengikuti apa yang diinginkan orang kalangan bawah,” urainya.
Menurut Fajar, ada beberapa langkah yang bisa diterapkan dalam membudayakan dakwah kultural. Pertama, mendayakan budi. “Di tengah krisis komunitas dan kreator, kita perlu mendayakan budi. Tentu kalau dalam konteks masyarakat Jawa, budi di sini adalah budaya. budaya di sini seperti budaya ngajeni, unggah-ungguh,” tuturnya
Kedua, budaya tauhid. Jika budaya ini masuk pada sistem masyarakat, maka akan muncul masyarakat atau generasi qalbun salim. Ketiga, budaya lisan. Pada zaman dulu, ada anggapan bahwa panutan adalah mereka yang memiliki kemampuan retorika bagus. “Budaya lisan sampai ini masih populer, terlebih dalam ceramah-ceramah di desa, yang sekarang mengalami pergeseran, di mana bila ada ceramah di kampung tanpa mengafirkan itu kurang diminati,” ujarnya.
Keempat, budaya tulisan. Kemampuan menulis menjadi penting di setiap zaman. Kelima, budaya lukisan (visual). Budaya visual yang kini hadir di semua aspek kehidupan benar-benar mempengaruhi kita, mulai dari banner, dan lain-lain.
Kelima, budaya digital dan budaya virtual. Jika tanpa diimbangi dengan literasi digital, maka akan berbahaya. Bahkan, tak jarang justru menjadikan orang terpolarisasi, saling mencaci-maki.
“Muhammadiyah terlambat, dalam merespon budaya, belum selesai dengan budaya konvensional, dunia sudah berubah menuju budaya modern. Dan Muhammadiyah telat untuk merespon hal itu, meski beberapa tokoh Muhammadiyah melakukan dakwah dengan pendekatan pada budaya,” kata Fajar.
Sementara itu, Lya Fahmi mendefinisikan Muhammadiyah Kultural sebagai orang-orang Muhammadiyah yang tidak termasuk dalam struktur, namun mereka lahir dari keluarga Muhammadiyah, dan mereka tidak pernah dididik di institusi pendidikan Muhammadiyah.
“Bagaimana anak-anak Muhammadiyah zaman sekarang nggak ngapa-ngapin di Muhammadiyah tapi merasa dia Muhammadiyah, dan jumlahnya sangat banyak. Jadi semuanya itu tergantung paparan yang diterima tentang Muhammadiyah. Self identification bahwa dia Muhammadiyah,” ujar psikolog ini.
Ada banyak anak-anak dari keluarga Muhammadiyah, kata Lya, yang tidak ingin memasuki struktural Muhammadiyah atau ortom. Banyak juga yang lepas dan tidak megidentifikasi dirinya sebagai Muhammadiyah. Di samping itu, banyak yang tidak terlalu bersinggungan dengan Muhammadiyah tapi mengidentifikasi dirinya sebagai Muhammadiyah.
“Sampai sekarang, arah Muhammadiyah dalam memperlakukan kelompok Muhammadiyah kultural yang secara kuantitas banyak belum jelas akan diapakan. Apakah dibiarkan, diberi ruang atau diakomodasi,” urainya. Muhammadiyah belum sepenuhnya memanfaatkan potensi anak-anak Muhammadiyah kultural ini.
Sisi lain, ungkap Lya, sekarang ini muncul generasi millenial yang memiliki pandangan Islam yang hybrid. Jika tidak dibina dan diikat, mereka akan mudah untuk terbawa arus ustaz-ustaz milenial yang bertolak belakang paham dengan Muhammadiyah.
Pemerhati sejarah Muhammadiyah, Mu’arif menyatakan bahwa Muhammadiyah kultural sebenarnya tetap bagian dari Muhammadiyah struktural. Mu’arif menyarankan supaya Muhammadiyah perlu memperluas keberterimaannya, karena faktor hibridasi identitas. “Kalau orang-orang yang disebut Muhammadiyah kultural ini tidak diakomodasi, mereka bisa menghilang dan keluar,” katanya.
Menurutnya, sikap Muhammadiyah yang mudah puas dengan capaian saat ini juga perlu dibenahi. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus juga tidak hanya jago kandang. “Muhammadiyah bila mampu memberi sumbangsih pada bangsa dan dunia luar, maka baru bisa dikatakan Muhammadiyah berkemajuan,” ujarnya. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus selalu mampu beradaptasi dengan semua keadaan.
“Kita perlu memotret karakteristik anak muda sekarang ini. Ada problem serius dengan packaging Muhammadiyah saat ini. Tidak perlu mencari identitas baru, cukup merevitalisasikannya,” katanya. Dengan demikian, maka kalangan Muhammadiyah kultural akan merasa bagian dari Muhammadiyah dan siap untuk berkonstribusi pada Muhammadiyah.
Menanggapi paparan para narasumber, ketua PSBPS UMS, Yayah Kisbiyah menyatakan bahwa sudah merupakan keniscayaan, kondisi masyarakat saat ini berada dalam kondisi persilangan budaya.
“Masyarakat saat ini kosmopolitan atau cair. Banyak lapisan-lapisan di Muhammadiyah yang juga kabur batas-batasnya. Muhammadiyah gagap menanggapi multikulturalisme, kosmopolitanisme. Salah satu indikatornya adalah situs-situs web Muhammadiyah kurang diminati masyarakat sekarang,” katanya merujuk hasil riset PSBPS UMS beberapa waktu lalu.
Menurutnya, Ilmu Sosial Profetik yang dikembangkan tokoh Muhammadiyah Kuntowijyo, perlu diterjemahkan dalam gerakan Muhammadiyah. Nilai-nilai liberasi, humanisasi dan transendensi harus menjadi panduan atau kerangka untuk merumuskan identitas Muhammadiyah kultural. (ribas)