Pertanyaan Dari:
Nama dan alamat lengkap diketahui redaksi dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
(disidangkan pada hari Jum’at, 5 Safar 1433 H / 30 Desember 2011 M)
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Saya bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Saya bekerja dengan jujur, tidak melakukan penyelewengan dalam bentuk apapun dan bekerja dengan penuh dedikasi. Yang menjadi persoalan adalah, pada waktu seleksi penerimaan karyawan saya tidak jujur dengan meninggikan IPK dan memperpanjang masa kerja sebelumnya. Hal ini saya lakukakan dikarenakan semenjak tahun-tahun terakhir kuliah saya terbelit suatu persoalan yang sangat berat dan berkepanjangan sehingga nilai akademik saya tidak maksimal dan pekerjaan saya terhenti-henti. Akan tetapi kini saya mampu bekerja dengan baik dan stabil, serta tidak terbelit masalah lagi.
Pertanyaan saya adalah:
- Bagaimana status atau hukum dari penghasilan yang saya peroleh dari pekerjaan saya?
- Dari diskusi saya dengan teman, ada dua pendapat mengenai hal ini. Yang pertama halal, dasarnya adalah penghasilan yang saya peroleh merupakan upah dan hasil dari jerih payah saya. Dan yang kedua adalah syubhat atau haram karena walaupun saya bekerja dengan baik, akan tetapi aqadnya bermasalah karena didasari oleh ketidakjujuran saya. Dalam situasi seperti ini, apakah berlaku kaidah ijtihad dimana jika benar dapat 2 pahala dan jika salah dapat 1 pahala alias tidak berdosa? Bagaimana syarat untuk berijtihad dalam masalah ini?
- Apakah dalam hal ini bisa diberlakukan kaidah darurat seperti halnya pada perbankan konvensional pada masa lalu? Mengingat kondisi saya belum memiliki modal yang cukup untuk Bahkan, meskipun modal terkumpul, saya tidak punya keahlian untuk memutarnya (menjalankan usaha)
Demikian pertanyaan saya. Saya sungguh-sungguh berharap redaksi SM / Majelis Tarjih berkenan menjawabnya, mengingat saya benar-benar memerlukan fatwa atau pandangan pihak yang jauh lebih alim dari saya. Bila dipandang jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang baik dampaknya bagi pembaca SM, saya mohon sudilah kiranya memberikan jawaban pribadi melalui e-mail saya.
Akhir kata, saya sampaikan jazaakumullaah khairan katsiiran.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus–salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas permasalahan dan pertanyaan yang Saudara ajukan. Di bawah ini kami sampaikan jawaban kami secara berurutan sesuai dengan nomor urut pertanyaan yang diajukan.
- Salah satu poin terpenting dari syariat Islam adalah membina umat manusia yang berakhlak karimah. Ada banyak nash yang menunjukkan hal tersebut, bahkan Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwatta’;
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ اْلأَخْلاَقِ. [رواه مالك]
Artinya: “Ia menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai sebuah hadis kepadanya bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: Aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” [HR. Malik No: 1609]
Keluhuran akhlak yang diajarkan Islam terdapat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam muamalah dan hubungan kita dengan sesama manusia dan dalam kita mencari nafkah, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ . [البقرة (2): 188]
Artinya: “Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil. Dan (janganlah) kalian menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan dosa padahal kalian mengetahuinya.” [QS. al-Baqarah (2): 188]
Tidak diragukan lagi bahwa ketidakjujuran atau penipuan seperti yang telah Saudara lakukan adalah salah satu akhlak yang kurang terpuji. Terdapat banyak sekali dalil yang mencela kedua perbuatan tersebut dengan keras, misalnya sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam al-Bukhari berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda: Barangsiapa mengangkat senjata pada kami maka ia bukanlah bagian dari golongan kami (muslimun) dan barangsiapa yang menipu kami maka ia bukanlah bagian dari golongan kami (muslimun).” [HR. al-Bukhari, No: 243]
Keadaan Saudara ketika itu yang sedang dalam kesulitan, bukanlah sebuah alasan untuk membolehkan tindakan Saudara. Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini termasuk kesukaran yang menimpa Saudara untuk menguji manusia agar mereka melakukan perbuatan yang terbaik. Silakan perhatikan firman-firman Allah dalam surat-surat sebagai berikut: QS. al-Maidah (5): 48, QS. al-An’am (6): 165, QS. Hud (11): 7, QS. al-Mulk (67):2.
Tentang penghasilan Saudara, maka hal pertama yang perlu diketahui bahwa sesuai penjelasan di atas, Saudara memperoleh penghasilan Saudara dengan awal yang zalim. Meskipun itu untuk kemaslahatan Saudara, namun itu adalah kemaslahatan yang diingkari syari’ (mulghah). Walaupun hal itu kita anggap sebagai kemaslahatan, namun itu hanya kemaslahatan pribadi Saudara sedangkan Saudara telah merugikan pelamar kerja yang lain serta menipu perusahaan tempat mendaftar kerja. Padahal kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan pribadi, sebagaimana kaidah fikih:
اَلْمَصَالِحُ اْلعَامَّةُ مُقَدِّمَةٌ عَلَى اْلمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ.
Artinya: kemaslahatan umum didahulukan atas kemaslahatan perorangan.
Walaupun Saudara memperoleh pekerjaan dengan cara tidak terpuji karena terpaksa, ternyata setelah bekerja di perusahaan tersebut, sebagaimana penjelasan Saudara sendiri, Saudara bekerja dengan penuh dedikasi. Dari hasil keringat tersebut Saudara kemudian memperoleh gaji dari perusahaan, jadi insya Allah penghasilan saudara adalah halal. Tetapi tetap tidak boleh dilupakan bahwa ada unsur syubhat di sini, dan syubhat atau kesamaran status hukum Saudara akan hilang dan kehalalannya menjadi jelas jika perusahaan tempat saudara bekerja mengetahui dan memaafkannya.
Saudara telah menunjukkan itikad yang sangat baik untuk bertaubat, setidaknya hati Saudara menjadi gelisah karena perbuatan Saudara di masa lalu tersebut. Sebaik-baik orang yang melakukan dosa adalah seorang yang menyadari dan bertaubat dari dosanya. Begitu pula di dalam Al-Qur’an ada banyak sekali ayat serta hadis-hadis yang menunjukan keutamaan bertaubat, mulianya seorang yang bertaubat serta memberitahukan bahwa Allah Maha Pengampun dan mengampuni dosa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Antara lain firman Allah swt:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ. [النسآء (4): 48، 116]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa saja yang Ia kehendaki.” [QS. an-Nisa (4): 48 dan 116]
Dalam sebuah hadis:
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التُّوابُونَ. [رواه أحمد والترمذي وابن ماجه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ash-Shan’ani berkata sanadnya kuat]
Menurut para ulama jika suatu dosa menyangkut dosa kepada adamiy atau sesama manusia, maka taubat bisa diterima jika ia telah memaafkan. Akan tetapi jika Saudara meminta maaf kepada perusahaan yang telah Saudara tipu, dalam arti mengaku telah memalsukan data-data, maka ada kemungkinan Saudara akan dikenai sanksi oleh perusahaan.
Saran kami, jika Saudara memang mau menyempurnakan taubat Saudara dengan meminta maaf, dan Saudara siap menghadapi segala resikonya, maka pilihan terbaik Saudara adalah meminta maaf. Yakinlah bahwa Allah tidak akan menyianyiakan hambanya yang berusaha menyempurnakan takwa, bahkan baginya akan dibukakan pintu rezki, Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ. وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا. [الطلاق (65): 2-3]
Artinya: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan baginya jalan keluar. Dan Ia memberikannya rezki dari arah yang ia tidak sangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah baginya, sesungguhnya Allah telah membuat ketetapan bagi segala sesuatu.” [QS. ath-Thalaq (65): 2-3]
Rasulullah saw bersabda :
مَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ. [رواه أحمد]
Artinya: “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.” [HR. Ahmad, 5/28]
Sebelum saudara berterus terang kepada pihak perusahaan, tingkatkanlah kualitas kerja Saudara, semoga dengan seperti itu akan tercipta gambaran baik tentang Saudara di mata pimpinan perusahaan dan menjadi pertimbangan mereka. Apabila perusahaan Saudara memaafkan kesalahan Saudara dengan pertimbangan Saudara telah bekerja dengan penuh dedikasi, maka penghasilan Saudara menjadi jelas kehalalannya. Di samping itu semoga dedikasi yang Saudara lakukan menjadi kebaikan yang menghapuskan kesalahan sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قالَ لِي رَسُولُ اللهِ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: “Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku: Bertaqwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” [HR. at-Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih]
Perlu kami sampaikan di sini, ada tuntunan Rasulullah saw apabila seseorang meragukan status perbuatannya apakah termasuk perbuatan tercela (berdosa/haram) ataukah sesuatu yang boleh (mubah/halal). Jika mengalami kebimbangan semacam ini, Rasulullah menuntunkan untuk bertanya kepada nurani, sebagaimana sabdanya kepada Wabishah bin Ma’bad al-Asady ra, salah satu sahabat beliau:
يَا وَابِصَةَ اِسْتَفْتِ نَفْسَكَ اَلْبِرُّ مَا اطْمَأَنَ إِلَيْهِ اْلقَلْبُ وَاطْمَأَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي اْلقَلْبِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ. [رواه أحمد والدارمي]
Artinya: “Hai Wabishah, mintalah fatwa (keputusan) kepada hatimu. Kebaikan adalah segala sesuatu yang dengannya hatimu menjadi tenang, sedangkan dosa adalah segala hal yang membuat hatimu gelisah serta dalam dadamu muncul keraguan, meskipun manusia telah memberikanmu fatwa.” [Musnad Imam Ahmad, No: 17663, 17668 dan Sunan ad-Darimi, No: 2532]
- Sebelumnya perlu dikemukaan terlebih dahulu tentang makna ijtihad. Ijtihad menurut ahli usul fikih ialah mencurahkan segenap kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’ amali dengan satu metode. Sedangkan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah (hasil Munas Tarjih XXV), ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Dari kedua pengertian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan mujtahid untuk menentukan suatu hukum dengan suatu metode atau pendekatan tertentu. Adapun maksud dari kaidah ijtihad yang menyebutkan apabila ijtihad itu benar mendapat dua pahala, sedangkan jika salah memperoleh satu pahala, berasal dari sabda Nabi Muhammad saw sebagaimana berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Amr bin al-Ash, bahwasanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang hakim menghukumi lalu ia berijtihad, kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad, kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala.” [HR. al-Bukhari]
Seorang hakim yang disebutkan pada hadis tersebut adalah seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat mujtahid yang telah disepakati para ulama. Prof. Dr. T.M. Hasbie Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Hukum Islam Jilid I telah memaparkan syarat-syarat mujtahid yang telah disepakati para ulama, di antaranya ialah:
- Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum. Maksud ayat di sini ialah mengetahui mutlak, muqayyad, mujmal, aam, dan mukhassisnya, serta sebab-sebab turun ayat. Mengenai hadis, dapat memisahkan antara yang sahih dengan daif, isnad hadis dan lain sebagainya.
- Mengetahui masalah-masalah yang telah di-ijmakkan oleh para ahlinya. Maksud dari syarat kedua ini ialah agar memberikan wawasan pemikiran tentang ijmak-ijmak ulama
- Mengetahui nasikh dan mansukh. Seorang mujtahid harus mengetahui hal ini, yaitu hukum yang telah mansukh (dibatalkan) dan yang me-nasikh (membatalkan), agar hukum yang telah ditetapkan itu tidak berpegang pada dalil yang mansukh.
- Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya. Menguasai bahasa Arab itu begitu penting bagi seorang mujtahid, karena sumber pokok ajaran Islam menggunakan bahasa arab, yaitu al-Quran dan al- Ilmu-ilmu bahasa arab lainnya ialah nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan lain-lain.
- Mengetahui ilmu ushul fikih. Ilmu ini tentunya begitu penting dalam membantu untuk menentukan hukum, sebagaimana perkataan al-Fakhrurrazi dalam kitab al–Mahsul:
إِنَّ أَهَمَّ اْلعُلُومِ لِلْمُجْتَهِدِ عِلْمُ أُصُولِ اْلفِقْهِ
Artinya: “Sesungguhnya ilmu yang paling penting bagi seorang mujtahid adalah ilmu ushul fikih.”
- Mengetahui asrarusy–syariah (rahasia-rahasia syariah). Imam asy-Syatibi dalam kitabnya al–Muwafaqat mengatakan, bahwa derajat ijtihad dapat diperoleh bagi orang yang faham tentang maksud syariat dibuat oleh Syari’ (pembuat syariat). Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahu maksud-maksud syariat yang tertera pada nash.
- Mengetahui qawa’idul-fiqh (kaidah-kaidah fikih). Seorang mujtahid memerlukan kaidah fikih dalam menentukan hukum, karena suatu kaidah fikih dapat melengkapi berbagai cabang hukum lainnya.
Oleh sebab itu, apabila teman-teman Saudara sudah memenuhi syarat-syarat tersebut, maka teman-teman Saudara sudah bisa disebut sebagai seorang mujtahid, tetapi ketika seorang mujtahid menentukan suatu hukum tanpa melalui musyawarah (ijtihad fardi), maka hal tersebut tidak sesuai dengan paham agama dan prinsip ijtihad Muhammadiyah, bahwa ijtihad itu dilakukan secara kolektif atau musyawarah (ijtihad jama’i).
- Allah SWT berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. [البقرة (2): 173]
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” [QS. al-Baqarah (2): 173]
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. [الأنعام (6): 145]
Artinya: “Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” [QS. al-An’am (6): 145]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, para ahli fikih merumuskan kaidah fikih yang berbunyi:
اَلضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Artinya: “Kemadharatan-kemadharatan itu membolehkan larangan-larangan.”
Adapun pengertian kaidah ini adalah, apabila dalam suatu keadaan yang sangat memaksa, yakni suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang pada hakekatnya dilarang, maka melakukan perbuatan tersebut dibolehkan, karena apabila tidak demikian mungkin akan menimbulkan suatu mudarat pada dirinya. (Lihat Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qawa’idul Fiqhiyah)
Menyangkut perbankan konvensional, dalam Keputusan Tarjih Sidoarjo, alasan tidak diharamkanya adalah karena saat itu belum ada sama sekali perbankan yang menggunakan prinsip syariah dan fungsi dari bank tersebut adalah sebagai alat politik perekonomian Negara untuk kesejahteraan umat (stabilitas ekonomi) (Lihat HPT: hal 304). Hal itu bisa dipandang sebagai darurat karena tidak ada alternatif lain untuk mengembangkan perekonomian umat selain menggunakan perbankan konvensional dan jika tidak maka perekonomian umat akan sulit berkembang. Lalu permasalahannya adalah, apakah kondisi Saudara saat itu bisa menempati prinsip darurat yang bisa membolehkan larangan seperti halnya perbankan konvensional di masa dulu?
Melihat kondisi Saudara, yakni tidak menunjukkan data yang sebenarnya untuk mendapatkan pekerjaan yang ketika itu menurut Saudara tidak ada jalan lain selain melakukan tindakan seperti itu karena alasan-alasan tertentu, perlu ditinjau kembali apakah tidak ada alternatif lain selain melakukan tindakan itu (tidak jujur). Mengingat tindakan Saudara yang tidak jujur tersebut untuk mendapatkan pekerjaan bisa jadi ada pihak-pihak yang dirugikan, orang lain yang juga ingin mendapatkan pekerjaan di tempat Saudara terhalang mendapat pekerjaannya karena didahului Saudara dengan ketidakjujuran. Dalam hal ini juga perlu adanya pertimbangan apakah tindakan Saudara yang tidak menunjukkan data yang sebenarnya (tidak jujur) karena ada alasan-alasan tertentu lebih ringan madaratnya daripada menunjukkan data yang sebenarnya untuk menghindari adanya pihak-pihak yang dirugikan, namun Saudara dalam posisi yang sulit. Dalam kaidah fikih dikatakan bahwa mengambil kemudaratan yang terkecil adalah wajib:
اِرْتِكَابُ أَخَفُّ الضَّرَارَيْنِ وَاجِبٌ.
Dan perlu juga diperhatikan kaidah fikih yang berbunyi,
لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat kemadaratan dan tidak boleh membalas dengan kemadaratan.”
Berdasarkan penjelasan di atas sulit kiranya kondisi Saudara bisa berlaku prinsip darurat yang bisa membolehkan larangan. Kemudian baik kiranya, Saudara jujur kepada pimpinan perusahaan yang berwenang dalam penerimaan karyawan mengenai apa yang Saudara lakukan dulu ketika seleksi penerimaan karyawan, jika pimpinan Saudara bersikap adil tidak akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan (dipecat) karena Saudara telah bekerja dengan jujur dan penuh dengan dedikasi. Bagaimanapun juga jujur merupakan perilaku yang terpuji, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا. [متفق عليه]
Artinya: “Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan seseorang membiasakan dirinya berkata benar hingga tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar/jujur. Dan dusta membawa kepada perbuatan keji sedangkan perbuatan keji membawa ke neraka. Dan seseorang yang suka berdusta hingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta.” [Muttafaq Alaih]
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat dipahami dengan seksama dan bermanfaat bagi saudara.
Wallahu a’lam bish-shawab. (putmputra)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Tanya Jawab Agama” Majalah Suara Muhammadiyah edisi 06 tahun 2012