Meninggalkan Istana

Meninggalkan Istana

foto: onopo.id

Oleh: Haedar Nashir

Namanya Ali ibn al-Makmun al-Abbasi. Dia putra Khalifah Al-Makmun yang ternama. Sebagaimana lazimnya para putra penguasa tertinggi dalam pemerintahan, Ali al-Abbasi tinggal di istana dan menikmati segala kemegahan.

Pada suatu hari Ali menyaksikan seseorang yang sangat bersahaja tetapi pekerja keras. Tiap hari dia amati kegiatan warganya itu dari balkon istana. Dia penasaran dan kemudian turun untuk menemui si pekerja itu. Ali bertanya, “Apakah engkau mengeluhkan dengan pekerjaan kasar yang tiap hari kau lakukan itu?”  Sang pekerja itu dengan tulus menjawab, “Tidak, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,” ujarnya yakin.

Pangeran Ali al-Abbasi tergerus hatinya setelah bertemu pekerja yang hidup sarat perjuangan untuk menafkahi keluarganya itu. Diam-diam Ali meninggalkan istana dan jauh dari keramaian dia memilih menjadi tukang kayu. Seperti dikisahkan oleh ‘Aidh al-Qarni dalam La-Tahzan, putra Al-Makmun itu lebih memilih menjadi rakyat biasa jauh dari keramaian istana hingga akhir hayatnya.

Itulah kisah sufistik. Pilihan hidup uzlah, menjauhi dunia untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Setiap kisah sufis tentu kontroversi, sarat dengan jalan ekstrem yang sulit dipahami nalar awam. Demi meraih hakikat dan ma’rifat dalam hidup, meninggalkan hal-hal yang serba lahiriah atau dunyawiyah.

Islam tentu tidak mengajarkan pilihan hidup uzlah seperti itu, meskipun sebagai pilihan individual tidaklah terlarang dan baik adanya. Tetapi secara keseluruhan Islam mengajarkan keseimbangan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al-Qashash/28: 77).

Pelajaran penting dari kisah Ali al-Abbasi itu ialah tentang makna keshalehan, bahwa manusia harus berempati terhadap nasib sesama dan tida tenggelam dalam asyik-maksyuk dunia yang serba inderawi. Ali boleh memilih jalan hidup uzlah, tetapi kaum muslimun saat ini di berbagai belahan dunia, apalagi orang Muhammadiyah, haruslah menjalani kehidupan sebagai sosok-sosok yang shaleh.

Manusia yang shaleh tidak boleh shaleh sekadar untuk dirinya, tetapi juga haruslah shaleh untuk sesama, lebih-lebih bagi mereka yang dhua’afa (lemah) dan mustadh’afin (tertindas) . Kyai Haji Ahmad Dahlan mewujudkan keshalehan Islami seperti itu melalui gerakan Al-Ma’un. Jadilah manusia paling shaleh di muka bumi, tetapi berbuatlah keshalehan untuk orang lain dalam spirit ihsan dan amal shaleh.

Jangan sebaliknya, menjadi hamba dunia yang jauh dari keshalehan, bahkan termakan oleh penjara dunia. Dengan alasan mengejar kebaikan akhirat, hidup hanya mengurus kemegahan dunia dan tidak peduli dengan orang lain. Itu namanya ta’bid ‘an al-dunya, menjadi budak dunia. Agama sekadar dijadikan alat membenarkan hidup serba boleh di dunia demi akhirat. Sebab Allah pun mengingatkan agar manusia tidak terjebak perhiasan dunia dan melupakan akhirat, “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) (QS Ad-Dhuha/93: 4).

Ambillah pelajaran dari putra Al-Makmun dan sederet kisah-kisah hidup zuhud dan wara’ untuk menjadikan diri shaleh. Menjadi orang baik dan menjunjung tinggi kebaikan yang serba utama. Menjadi baik berarti shaleh hati, pikiran, lisan, dan tingkahlaku sehari-hari sebagaimana kebaikan yang diajarkan Nabi dan para shalihun. Jadilah shaleh yang konsisten antara kata dan perbuatan. Bukan yang antagonis alias kata tak sejalan tindakan, yang bicara dan lisan serba baik tetapi jauh panggang dari api dalam kehidupan nyata. Menjadi sosok yang merasa paling suci dan benar sendiri, tetapi tingkahlaku banyak cela dan tidak terpuji.

Namun shaleh untuk diri sendiri tidaklah cukup. Kata Jalaluddin Rumi, sang sufi ternama, jangan sampai karena orang-orang shaleh meninggalkan kehidupan dunia, kemudian orang-orang dhalim berkuasa di muka bumi. Tetapi sebaliknya, jangan pula atasnama untuk menjadi khalifah di muka bumi guna memakmurkan dunia, kemudian tenggelam dalam pelukan serba inderawi yang menjauhkan hidup dari keshalehan sejati. Alasan dibuat apa saja, tetapi yang dikejar sesungguhnya kemegahan duniawi yang tak berkesudahan.

Belajarlah pada kezuhudan Ali al-Abbasi. Tapi jadilah orang yang shaleh secara individual sekaligus shaleh sosial agar tercapai harmoni kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama dan cita-cita keselamatan di akhirat justru harus menjadi pendorong atau niat tulus setiap muslim untuk beramal shaleh kepada sesama, terutama berbagi kepada mereka yang hidup dalam kedhu’afaan. Dunia harus dijadikan jembatan panjang menuju akhirat, tapi jangan termakan dan menjadi pecinta dunia lebih-lebih di usia renta.


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi 06 2012

Exit mobile version