YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Prof Ahmad Syafii Maarif, Dosen FISIPOL UGM Prof Cornelis Lay, dan Ketua Umum PGI 2004-2014 Prof A Andreas Yewangoe, menjadi pembicara dalam seminar bertema “Agama-agama dalam Pergulatan Politik di Indonesia” yang diadakan GPIB Marga Mulya Yogyakarta. Ketiganya sepakat bahwa nilai-nilai agama harus dijadikan landasan moral dan etika dalam kehidupan politik kebangsaan. Tidak justru menjadikan agama sebagai topeng dan modal yang dikapitalisasi untuk kepentingan politik.
“Agama di tangan orang-orang tak bermoral justru menjadi sumber bencana. Menjadi legitimasi, pembenaran politik yang korup, anti keadilan, anti kemanusiaan,” tutur Buya Syafii. Menurutnya, fenomena agama yang ditarik-tarik ke dalam politik pragmatis, adalah bagian dari sikap membonsai akal sehat dan nilai-nilai agama. “Demi pragmatisme politik yang konyol, orang tak segan-segan menurunkan martabat otaknya,” ujarnya.
Menurut Buya Syafii, agama mengajarkan nilai-nilai luhur tentang keadilan, kemanusiaan, kebaikan. Namun umat beragama justru tidak mempraktekkannya. Syahwat kuasa yang kelewat batas telah menjadi topeng yang menghalanginya dari keluhuran. “Jangan menggunakan topeng untuk menutup syahwat kekuasaan. Ini yang mengaku beragama melakukan pembajakan agama,” katanya.
Mengutip penelitian seorang Katolik, Buya Syafii menyatakan bahwa agama-agama, jika dipahami secara benar, pasti membawa pesan perdamaian, pesan persaudaraan, pesan keadilan. Hal itu menjadi pemersatu semua umat beragama untuk tidak saling menegasikan. Oleh sebab itu, perpecahan sebenarnya terjadi karena adanya ketidakjujuran dan ketidaktulusan dalam beragama.
“Indonesia mayoritas beragama Islam. Secara normatif, Islam itu satu. Tapi dalam hal (historisitas dan realitas) politik, alirannya banyak sekali. Satu Tuhan, satu kitab suci, satu nabi, tetapi penafsiran terhadap agama itu bisa berbeda, dan bahkan bisa saling bertentangan. Ini bukan salah agama, bukan salah kitab suci, tapi manusia ini belum tulus dan jujur memahami agama,” katanya. Oleh sebab itu, yang perlu diperhatikan oleh semua pemeluk agama adalah meningkatkan kualitas dirinya dengan landasan paham agama yang tulus.
Buya Syafii mengingatkan bahwa kepentingan bangsa yang lebih besar harus dikedepankan oleh semua. “Indonesia adalah hasil kerja dan karya bersama. Karena hasil kerja bersama, maka mari kita jaga bersama,” kata Buya seraya menyebut banyak tokoh-tokoh dari beragam latar belakang SARA yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Kesadaran sejarah ini menjadi penting, supaya Republik Indonesia tidak seolah-olah milik satu golongan tertentu saja dan lalu merasa paling berhak untuk menguasai bangsa ini.
Menjaga Kewarasan
“Menipu atas nama agama sangat mudah sekali,” tegas Buya Syafii. Banyak orang yang terdesak oleh kepentingan kekuasaan, lalu tak segan-segan meninggalkan kewarasan. Akal sehatnya dikalahkan oleh kecamuk emosional dan kepentingan-kepentingan. “Lawan budaya ketidakwarasan. Waras itu penting lho saudara,” ujarnya.
Di era pasca kebenaran (post truth), terjadi gejala islamisme dan populisme. Kepentingan pribadi sering dikaburkan menjadi seolah-olah kepentingan orang banyak. Buya Syafii menyebut bahwa kemunculan tokoh semisal Imam Besar yang dipuja-puja sebagai fenomena kegagalan para politisi muslim untuk melahirkan sosok alternatif. Di tengah ketidakberdayaan dan ketidakpercayaan diri, muncul laku kalap.
Buya berpesan supaya generasi muda tidak anti politik. Kekuasaan bisa digunakan untuk berbuat baik. Dengan syarat, ketika terjun ke dunia politik, maka harus memiliki pandangan yang visioner, tidak tertawan kepentingan pragmatis, serta membawa serta integritas. “Sebelum jadi politisi, Anda perbaiki ekonomi dulu. Sekadar cukup, tidak usah kaya-kaya amat. Supaya politik tidak dijadikan sawah ladang,” katanya.
Dalam membumikan nilai-nilai moral dalam kehidupan kebangsaan, termasuk dalam dunia politik, Buya berharap institusi agama semisal masjid, gereja, pura, sinagog, dan lainnya untuk ikut terlibat. Jika tidak, maka dunia politik akan semakin kelam. Dalam sistem politik oligarki seperti saat ini, pemilik modal menjadi pemenang abadi. Tidak jarang melahirkan anomali-anomali. “Demokrasi yang dipuja-puja, memberi posisi yang sama, juga melahirkan tokoh-tokoh yang anti demokrasi. Jerman melahirkan Hitler, Amerika melahirkan Trump,” kata Buya.
Sementara di ranah akar rumput, Buya Syafii mengharapkan supaya terus memupuk persaudaran yang otentik. Perbedaan keyakinan dan bahkan perbedaan pilihan politik, harus disikapi secara dewasa. “Berbeda dalam keyakinan dan bersatu dalam kemanusiaan. Beragama yang baik itu adalah beragama secara otentik. Artinya, tidak dibuat-buat. Tidak pakai topeng. Tidak pakai tutup-tutup yang tidak perlu,” ujarnya.
Agama dan Politik Harus Dihadirkan untuk Kemanusiaan
Dalam kesempatan yang sama, Dosen FISIPOL UGM Prof Cornelis Lay menyatakan bahwa ada kesalahpahaman di masyarakat, seolah-olah politik itu hanya terkait urusan elektoral. Terkait dengan pilihan kategoris, memilih si A atau B, dan berlangsung berkala setiap lima tahun sekali. Padahal, dalam dimensi yang lebih luas, politik menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindarkan.
Politik dalam dimensi luas adalah berusaha mewarnai kehidupan dengan nilai-nilai kebaikan serta tidak menyalahgunakan kekuasaan. Dalam hal ini, kata Cornelis, antara politik dan agama sebenarnya bisa saling mengisi. Nilai-nilai agama dijadikan landasan untuk dimanifestasikan menjadi laku politik dalam mengupayakan terciptanya tatanan yang lebih baik.
Sisi lain, sering terjadi tubrukan antar kutub ekstrem politik. Termasuk dalam hal relasi agama dan politik. “Politik Indonesia seakan-akan disandera oleh dua fundamentalis,” ujarnya seraya merujuk pada teori Huntington tentang clash of fundamentalism. Di tingkat global, Cornelis memisalkan antara kutub Osama Bin Laden dan Goerge W Bush.
Menurutnya, para fundamentalis agama dan politik sebenarnya hanyalah arus kecil, namun vokal di ruang publik (terutama di media sosial). “Mereka adalah kelompok kecil yang melahirkan kebisingan yang luar biasa. Maka, tugas agama-agama untuk meluruskan ini,” ujarnya. Dalam pandangan Cornelis, isu dan sentimen agama sering dijadikan sumber bahan bakar politik oleh kalangan ekstrim ini.
“Ketika (biaya) politik semakin mahal, dan sumber daya atau modal mahal, maka sumber daya (politik) identitas digunakan (sebagai pilihan),” katanya. Inilah yang saat ini terjadi. Politik identitas menjadi laku para politisi, karena memang mudah, murah, dan penting. Tetapi efeknya sangat luar biasa.
Cornelis tidak menyalahkan adanya penonjolan identitas, asalkan dikelola dengan baik. Perbedaan identitas pun sebenarnya hal yang biasa. “Satu-satunya alasan mengapa kita perlu bersatu justru karena kita berbeda. Dialog itu penting dengan orang berbeda. Kalau dengan orang yang sama (ideologi dan identitasnya), itu biasa,” katanya.
Terkait relasi agama dan politik, Cornelis menyatakan bahwa agama sebenarnya perlu terlibat untuk membingkai kehidupan politik dalam dimensi yang luas. “Tugas agama-agama membebaskan masyarakat dari keterikatan seolah-olah politik itu bicara orang dan peristiwa, pemilu, pilpres, pileg. Politik adalah peristiwa sehari,” ungkapnya.
Di antara tugas mulia agama adalah berusaha memberi kesadaran pada umatnya untuk waras menghadapi dinamika politik. “Kalau agama mampu mendorong bangsa Indonesia menjaga kewarasan, itu suatu sumbangsih yang luar biasa dari agama,” ujarnya. Hal itu merujuk banyaknya pertikaian disebabkan oleh perbedaan pilihan politik. “Kalau hanya karena perbedaan politik kemudian antar keluarga retak, maka ini sudah kehilangan akal sehat,” katanya.
Bertikai dan berkonflik adalah bagian dari sikap merusak fitrah kemanusiaan. “Politik yang sehat tidak merendahkan martabat kemanusiaan kita. Agama dan politik ditakdirkan untuk kemanusiaan,” ungkap Cornelis Lay.
Politisasi Agama adalah Pengulangan Sejarah Kelam Abad pertengahan
Ketua Umum PGI 2004-2014 Prof A Andreas Yewangoe mengungkapkan bahwa politisasi agama dan agamaisasi politik menjadi dua masalah klasik yang terus terjadi sepanjang babakan sejarah. Guna meminimalisir terulangnya kasus serupa, kita semua harus mengevaluasi diri.
“Selama abad pertengahan, gereja dipolitisasi. Perlu introspeksi diri bahwa ini terjadi dalam sejarah. Sehingga tidak hanya menuduh orang seolah kita lurus. Untungnya, Kristen sudah meninggalkan abad pertengahan, secara formal. Tapi praktiknya, kita jangan masuk lagi ke abad pertengahan,” katanya.
Menurut Yewangoe, agamaisasi politik berpandangan untuk meraih kekuasaan dengan bagaimana pun caranya, lalu setelah berkuasa, lupa untuk bertanya, kekuasaan itu untuk tujuan apa. Apakah untuk menegakkan tujuan baik, atau justru jangan-jangan kekuasaan hanya untuk kekuasaan. “Kekuasaan bukan untuk kekuasaan. Tapi untuk menegakkan moral. Agama sebagai landasan moral, etik. Mestinya agama-agama itu positif dan tidak disalahgunakan untuk berkuasa,” urainya.
Agama, menurutnya, bisa membebaskan dan di saat yang sama juga bisa memperbudak. Semua itu tergantung bagaimana cara menginsterpretasikan ayat-ayat agama. “Ayat-ayat yang diinterpretasi dengan keliru dan kehilangan konteksnya, maka akan menjadi ayat-ayat untuk menyalahgunakan kekuasaan,” katanya. Perlu dipahami bahwa agama berfungsi untuk kebaikan manusia. Dengan prinsip itu, jangan sampai hukum agama justru mengorbankan kemanusiaan.
Spirit agama harusnya mewarnai kehidupan politik. Dalam kehidupan kebangsaan, semua pihak harus lepas dari politisasi agama. Semua komponen bangsa punya peranan masing-masing untuk bangsa dan kemanusiaan. Mayoritas dan minoritas harus memberi sumbangan untuk kemanusiaan. “Kedepankan rasionalitas, jangan sikap emosional yang justru merugikan bangsa,” katanya.
Yewangoe tidak menyamaratakan bahwa politik negatif. “Kekuasaan yang dipergunakan secara positif dan dikawal nilai-nilai moral untuk tujuan yang baik, maka kekuasaan menjadi positif,” tukasnya. Sebagai panduan, siapa pun yang terjun ke dunia politik, perlu untuk menjaga integritasnya. “Kalau Anda aktif di politik, jangan Anda terjun bebas,” katanya.
Antara agama dan politik sebenarnya memiliki pilihan jalan yang tidak bertentangan. Menurutnya, para agamawan perlu untuk pintar memilah antara peran di jalur politik moral dan politik praktis. “Mimbar itu saluran politik moral. Kalau ingin berpolitik praktis, masuklah partai politik, bawa nilai-nilai yang baik. Kalau pendeta masuk politik praktis, dia harus mundur. Tapi kalau berpolitik moral, maka harus,” tukas Andreas Yewangoe. (ribas)