Oleh: Irfan Amalee*
Sejak menerima kiriman video penganiayaan suporter sepakbola via WA kemarin saya ingin menulis ini. Sebagai seorang ayah, pegiat pendidikan dan perdamaian, saya sedih dan geram.
Saya akhirnya menulis setelah malam tadi saat ngantri di dokter, saya menonton liputan keluarga korban di sebuah tv, mendengar seorang ibu di samping saya berkomentar, “Da jelema na legeg!” Sebuah ungkapan dari kata dan tone nya menyalahkan korban yang belagu. Menganggap bahwa penganiyaan itu wajar korban terima, sekaligus permakluman bagi tindakan kekerasan. Sebuah ungkapan yang menurut takaran pribadi saya sama sekali tidak menunjukan empati. Ungakapan dan respons si ibu tadi bukan pertama kali saya dengar dan lihat.
Dari sini saya sadar, bahwa ada sesuatu yang salah di alam bawah sadar kolektif kita. Saya menemukan ada beberapa sikap umum setiap kali kasus kekerasan muncul.
1. Denial: Itu oknum! Bukan Kami!
Beberapa tahun lalu, saat mencoba pendekatan dengan klub suporter untuk kampanye gerakan kecil Bobotoh Bageur bersama Bobotoh FM, pendidikan perdamaian untuk suporter, saya bertemu dengan beberapa suporter senior.
Secara tegas mereka mengatakan bahwa mereka tidak setuju dengan tindakan kekerasan dan permusuhan. “Kami tidak ada masalah!”
Menurut mereka yang suka bikin rusuh itu adalah “berenyit” atau anak bawang. Anak-anak ABG yang ikut-ikutan dan tak faham bagaimana menjadi bobotoh sejati. Kata oknum juga sering digunakan oleh pemerintah atau masyarakat utk mereka yang bikin onar.
Ungakapan berenyit, oknum atau kata-kata sejenis biasa kita gunakan untuk mengungkapkan bahwa mereka bukan bagian dari kami. Mereka tidak merepresentasikan wajah kita. Mereka adalah pengecualian.
Ungkapan ini menjadi senjata pamungkas untuk cuci tangan dan menyelamatkan wajah kita. Seolah-olah kita tidak bermaslah, masalah bukan ada pada bahu kita.
Selama ungakapn ini kita gunakan maka kita akan sulit menyelesaikan akar permasalahan. Tak mungkin menyembuhkan jika kita tak merasa sakit.
Kita harus berani mengakui berenyit, oknum, tindakan kekerasan adalah bagian dari kita. Ada di alam bawah sadar kita. Anak-anak dan gerombolan yang dengan semangat memukuli korban, mereka adalah anak-anak dan saudara kita. Bagian dari KITA. Bukan MEREKA.
Menghukun dan memenjarakan MEREKA itu adalah tugas negara. Tapi KITA punya tugas yang jauh lebih besar. Klub suporter harus mulai mengakui MEREKA menjadi bagian dari KITA. Melakukan pendidikan, pendekatan, kontra narasi. Sekolah, rumah, komunitas harus merangkul MEREKA juga. Jangan biarkan mereka merasa tak diterima di mana-mana, sehingga memilih jalanan sebagai rumah mereka.
2. Mengutuk: Kami beradab, mereka biadab!
Dua tahun lalu kami tim PeaceGen membuat acara Kick for Peace, sepakbola bersama para Napi Anak di Lapas Anak Sukamiskin. Saya sempat ngobrol dengan salah seorang napi. Dia bercerita bahwa dia masuk penjara karena membacok suporter klub lawan menggunakan gear besi. Dia bercerita dengan dingin. Melihat wajahnya, sama sekali tak ada potongan pembunuh. Dari wajah dan tutur katanya dia tipe anak baik. Tapi mengapa dia berubah jadi beringas dan tega menghilangkan nyawa?
Di Buku Keluar dari Ekstremisme (Pusad 2017) 8 orang yang pernah tetlibat kekerasan di wilayah konflik Ambon dan Poso bercerita bagaimana “orang-orang biasa” berubah jadi beringas dan tega melakukan hal-hal sadis yang tak terbayang pada situasi “normal”.
Pada skala yang lebih kecil, saya pernah menemukan siswa yang terekrut kelompok ekstrem kekerasan, meneyetujui dan mendukung tindakan kekerasan bahkan hingga pembunuhan. Survey Nasional Wahid Foundation dan LSI Maret 2016 di 34 provinsi menemukan bahwa 600.000 orang pernah melakukan tindakan radikalisme, 11 jt orang menyatakan bersedia melakukan jika ada kesempatan.
Bebrapa data dan contoh kasus di atas saya paparkan hanya ingin mempetlihatkan bahwa ada benih-kekerasan di sekitar kita. Setiap orang tak ada jaminan bisa bebas dari melakukan tindakan kekerasan. Bahkan orang yang kelihatannya kalem sekalipun, pada kondisi tertentu bisa berubah menjadi beringas dan melakukan tindakan yang tak terbayangkan.
Setiap pelatihan perdamaian saya menemukan fenomena menarik saat main games “perang-perangan”. Simulasi ini secara sengaja menciptakan suasana chaos, yang mengkondisikan orang untuk saring menyerang. Peserta paling kalem sekali pun berubah jadi sangar dan ofensif. Meskipun ini permainan, tetapi saya bisa melihat cerminan otentik alam bawah sadar. Dan ini wajar. Kita harus mengakui bahwa kita tak bebas dari kekerasan, agar kita bisa mencegahnya.
3. Itu kriminal!
Dari segi hukum, kasus penganiayaan suporter sepakbola ini adalah tindakan kriminal. Pelakunya dijerat hukum, seolah masalah selesai. Mari lihat perbedaanya. Seorang perampok yang membunuh korbannya mungkin fokus pada benda yang ingin dirampok, tak ada emosi khusus dengan korban. Jikapun ada, misalnya karena dendam mungkin masalah pribadi. Kriminal biasanya menyadari bahwa yang dia lakukan adalah salah.
Berbeda dengan kasus penganiayaan suporter (juga kasus rasisme atau kelompok Violence Extremeism lainnya). Tindakan kekerasan didasari “ideologi”. Ideologi di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal agama atau keyakinan. Tapi lebih merupakan rasa fanatisme kelompok, kebencian pada musuh.
Ideologi juga ditandai dengan adanya narasi-narasi heroisme dan kebencian. Narasi permusuhan ditularkan dan diturunkan. Direproduksi di Tshirt dan diposting di media sosial.
Media massa juga ikut berperan mengompori dengan narasi “Laga terpanas”, “Musuh bebuyutan” pada headline dan berita mereka.
Tak heran pada tindakan kekerasan model ini, pelaku merasa tindakannya sebagai tindakan heroik. Penonton memberikan dukungan dan glorifikasi pada pelaku.
Di tengah arus kuat narasi negatif itu, narasi-narasi positif sepi. Kalaupun ada malah dibully. Seorang rekan bercerita tentang inisiatif perdamaian antarsuporter yang dia gagas. Tapi hasilnya malah dibully di dunia maya, bahkan seorang temannya bonyok dipukuli karena dianggap pengkhianat. Saya pernah juga pernah mengundang dua suporter dari dua klub berbeda pada acara Peacetival. Tapi menjelang acara mereka menarik diri karena khawatir dianggap tak loyal pada kelompoknya.
Meski demikian harus ada yang berani menginisiasi kontra narasi atau alternatif narasi yang menyuarakan perdamaian. Inisiatif-inisiatif rekonsiliasi jangan berhenti di seremoni, tapi harus dibarengi edukasi di tingkat grassroot.
Dari tiga persepsi umum di atas, kita bisa melihat bahwa masalah ini tidak sesederhana yang kita kira. Hal seperti ini bukan hanya terjadi dalam konteks pendukung klub bola, tapi tipikal pada berbagai kasus konflik dan kekerasan.
Perlu keberanian untuk mengakui adanya masalah, kebersamaan dalam menyelesaikannya, serta stamina dalam jangka waktu yang lama. Tak cukup dengan ramai saat ada kejadian, setelah itu lupa dan ingat lagi saat jatuh korban berikutnya.
Menurut catatan Save our Soccer, sejak 2012, Haringga adalah korban ketujuh. Semoga itu menjadi yang terakhir. Amiin.
*Penulis adalah Pegiat pendidikan perdamaian, Co-Founder @PeaceGenID serta Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah