Dalam banyak literatur yang berbicara tentang sejarah Islam di Tiongkok, hampir semua sejarawan mencatat masuknya Islam ke China dimulai pada awal abad ke 7, yakni sekitar tahun 678 Masehi, di masa pemerintahan Dinasti Tang. Dalam kitab sejarah Chiu T’hang Shu misalnya, disebutkan bahwa pemerintah China pernah menerima kunjungan diplomatik dari kerajaan Arab pada zaman Khalifah Utsman bin Affan.
Saat itu Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin Abi Waqqas bersama 15 orang rekannya untuk membawa ajaran Islam ke daratan China. Kehadiran mereka di China disambut oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar Yung Wei menghargai ajaran Islam, karena ajaran Islam dianggap memiliki kesamaan dengan ajaran konfusionisme.
Salah satu tanda atas diterimanya Islam di Tiongkok adalah, berdirinya masjid-masjid megah di beberapa wilayah di negeri Tirai Bambu ini. Di Beijing misalnya, terdapat mesjid yang dikenal sebagai masjid tertua dan terbesar yaitu masjid Niujie. Masjid ini mulai dibangun tahun 996 Masehi pada masa dinasti Liao dan dinasti Song. Kemudian masjid ini direnovasi untuk dibangun ulang pada 1441 masa dinasti Ming, dan diperluas bangunannya pada 1696 pada masa Dinasti Qing.
Pertumbuhan umat Islam di Tiongkok dapat dikatakan baik dan terus berkembang. Wakil Ketua China Assosiation Tiongkok, Abdullah Amin Jim Bin saat menerima rombongan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan, jumlah umat Islam di Tiongkok berjumlah 23 juta jiwa. Semua tersebar di beberapa etnis China Muslim.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa China memiliki 56 etnis, 10 diantaranya adalah etnis minoritas yang beragama Islam. Diantaranya etnis Huy dengan jumlah penduduk muslimnya sebanyak 10.000.000 jiwa, kemudian etnis Uyghur berjumlah lebih kurang 10 juta jiwa, kemudian Etnis Kazakh berjumlah 1,4 juta jiwa, sedangkan sisanya ada pada etnis kecil lainnya di wilayah Tiongkok lainnya, seperti etnis bonan, etnis Tatar, Etnis Salar, etnis Uzbekh, Etnis Kyrgyzs, Etnis Dongxiang, dan etnis tajik.
Pertumbuhan jumlah umat Islam di Tiongkok, seiring dengan pertumbuhan masjid dan sarana ibadah lainnya. Hingga tahun 2018 ini, sesuai laporan yang disampaikan oleh Abdullah Amin Jin Bin, Wakil Ketua Assosiasi Islam Tiongkok, mengatakan jumlah masjid secara keseluruhan di Tiongkok berjumlah 39.000 masjid, dan memiliki 56.000 imam/khatib. Bahkan jamaah haji yang diberangkat dari China tiap tahunnya berjumlah 12.000 orang. Lembaga pendidikan Islam yang kini dikelola oleh China Assosiation Tiongkok berjumlah 10 institusi. Dan yang tertua dididirikan di Beijing tahun 1956 Masehi.
Pertumbuhan umat muslim, sekaligus pertumbuhan masjid dan lembaga pendidikan Islam ini, menurut Abdullah Amin Jim Bin, tidak terlepas dari dukungan pemerintahan Tiongkok. Sejak kepemimpinan Presiden Mao Zedong, kebebesan Islam di Tiongkok sangat dapat dirasakan. Umat Islam dibebaskan untuk menjalankan ajaran agamanya. Sehingga, banyak lembaga pendidikan dan sarana ibadah yang dibantu oleh pemerintahan Tiongkok mulai berdiri sejak masa Mao Zedong.
Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengapresiasi atas laporan perkembangan Islam di Tiongkok ini. “Kita sangat mengapresiasi atas perkembangan Islam di negeri tirai bambu ini. Kebebasan mereka menjalankan ibadah, bisa dikatakan hampir sama dengan negeri kita yang mayoritas muslim. Tentu saja ini sebuah potensi untuk saling bekerjasama, antar bangsa untuk mewujudkan kehidupan agama yang terus baik”, ungkapnya.
Walaupun pada sebagaian kecil umat Islam seperti di uyghur ada masalah, namun menurut Haedar, seperti yang disampaikan oleh Abdullah Amin Bin Jim tadi, itu adalah bagian kecil masalah kebangsaan Tiongkok. Karena disana bukan saja persoalan agama, namun persoalan ekonomi dan keterbelakangan. Akan tetapi pemerintah Tiongkok sudah mengambil kebijakan untuk membangun kemakmuran di wilayah China bagian barat itu.
Akan tetapi, secara keseluruhan, terlihat kondisi umat Islam semakin baik dan bertambah kuantitasnya. Sebagaimana yang terlihat saat rombongan Ketua Umum Pimpinan Pusat melaksanakan shalat Jumat di Masjid Niujie. 10 ribuan muslim China berduyun-duyun ke masjid untuk melaksanakan ibadah jumat tanpa ada halangan. Bahkan pengeras suara pun, masih terdengar hingga keluar masjid.
Dalam penuturan salah seorang jamaah masjid Niujie yang penulis temui, menyebutkan aktivitas masjid setiap masuk waktu shalat selalu ramai, bukan saja pada waktu Jum’at. Sehingga masjid ini begitu hidup dengan aktivitas umat Islam. Di dalam area masjid, selain tampak kuburan para syeik pembawa Islam di Beijing, juga terdapat lembaga pendidikan untuk kaum perempuan, anak-anak dan juga tempat usaha.
Tidak jauh dari masjid, terdapat lembaga pendidikan Islam pertama di Beijing yang bangunannya menjulang megah. Menurut penuturan Abdullah Amin Jim Bin, bangunan tersebut berdiri atas sumbangan lahan dan dana dari pemerintah Tingkok. Begitu pula, di sepanjang ibu kota Xuanwu ini, berjejeran toko muslim yang menjajakan makanan halal.
Sehingga berada di kawasan ini, tidak terasa jika berada di negeri Tiongkok, karena jumlah muslim yang berada di kawasan Xuanwu semakin meningkat. Laporan terakhir China Assosiation Tiongkok menyebutkan, jumlah Muslim di kawasan Xuanwu berjumlah 13.000 orang. Perkembangan dan pertumbuhan Islam ini, menurut Haedar Nashir harus mampu dijaga dan dikembangkan dengan membangun relasi antar negara.
“Kemajuan Islam Tiongkok, merupakan potensi bagi negara-negara Asia untuk saling bekerjasama. Muhammadiyah sendiri, sejak awal sudah mencanangkan gerakan internasionalisasi Muhammadiyah, agar terbangun harmonisasi kehidupan keagaamaan dan kebangsaan yang lebih berkemajuan”, ungkapnya.
Menjadikan Muhammadiyah Mitra
Tumbuhnya umat Muslim di wilayah Tiongkok ini, berbanding lurus dengan sikap terbuka dan keramahan pemerintahan Tiongkok maupun masyarakatnya terhadap umat Islam. Hal ini dirasakan ketika kunjungan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan delegasi selama 1 Minggu di Beijing. Dalam pertemuan dengan pemerintahan Tiongkok maupun dengan lembaga pendidikan di Beijing, tampak penyambutan yang begitu sempurna dan antusiasme yang tinggi dari pihak Tiongkok untuk bekerjasama dengan Muhammadiyah.
Menteri Urusan Administrasi Agama Tiongkok misalnya, berharap sekali Muhammadiyah menjadi patner Tiongkok dalam pengembangan manajemen haji di negeri Tirai Bambu ini.
Hal yang sama juga diungkapkan Rektor Tsinghua University maupun Rektor Confusiuce Institute, kehadiran Muhammadiyah dengan ratusan perguruan tinggi yang dikelolanya, merupakan potensi untuk kedua kampus ini bisa bermitra, khususnya dalam studi S1 maupun S2, serta program studi bahasa dan budaya mandarin.
Muhammadiyah sendiri, bagi Haedar Nashir, sangat mengapresiasi keterbukaan dan harapan dari pemerintah maupun pihak perguruan Tiongkok ini. ” kita sangat terbuka untuk bisa saling kerjasama antar dua negara ini. Karena ke depan, tentu kita berharap, negara-negara di kawasan Asia, hadir sebagai negara yang diperhitungkan”, ungkap Haedar.
Perjalanan rombongan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Tiongkok, menjadi catatan tersendiri, bahwa pertumbuhan Islam diberbagai belahan dunia, khususnya di Tiongkok menghadirkan rasa optimisme. Hanya saja, menurut Haedar, pertumbuhan secara kuantitas ini, perlu didorong menjadi kelompok dan umat yang unggul dan berkemajuan. Karena bangsa dan umat beragama yang maju, adalah mereka yang memiliki kosentrasi dan kemauan untuk membangun keunggulan-keunggulan. (Beijing/Denias)