Muhammadiyah dalam Pergulatan Kekinian

Muhammadiyah dalam Pergulatan Kekinian

foto: ppmuh

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar Dialog Ideopolitor gelombang ketiga di Hotel Jayakarta, Yogyakarta. pada 28 hingga 30 September 2018. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan Pidato Kunci di acara pembukaan.

Dalam paparannya, Haedar mengajak para peserta dari beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah untuk merefleksikan perjalanan Muhammadiyah dan melakukan reorientasi gerakan.

“Konteks kekinian, aspek ideologis, pemikiran, organisasi, kita sudah punya platform, tetapi memerlukan pembaharuan. Tidak ada kehidupan itu yang statis, semuanya bergerak dinamis. Bagaimana ideologi kita aktualkan menjadi alam pikiran masyarakat luas yang menghasilkan karya-karya yang berkemajuan. Dalam bilang politik harus ada dinamisasi. Dalam bidang organisasi yang dikelola secara modern dan efektif harus menjadi kekuatan membawa Muhammadiyah ke arah yang lebih maju,” tuturnya.

Muhammadiyah dengan kebesarannya sering terjebak romantisisme. “Kita dimanipulasi oleh keadaan, bahwa Islam secara normatif, historis dan ideologis bahkan organisatoris itu dalam posisi on the right track, ini pakem. Tapi ingat bahwa kita dihadapkan pada situasi dan tantangan kekinian yang justru terjadi bukan hanya umat dan bangsa kita, bahkan Muhammadiyah pun mulai ada kesenjangan dari realitas yang kita hadapi,” ujarnya.

Menurut Haedar, ada kesenjangan di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga pemikiran. Tantangannya justru berakar pada kontestasi pemikiran. Dari itu kemudian menyebar ke aspek yang lain.

“Jadi, tantangan kita ke depan yaitu soal HDI, kemudian juga soal daya saing bangsa, kita juga masih di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia, bahkan mulai dikejar oleh Vietnam, Kamboja, dsb. Maka, meniscayakan kita untuk bagaimana sih menghadapi itu, bukan sekedar persoalan secara pragmatis. Tetapi mindset kita ini ada di dalam posisi apa,” paparnya.

Supaya Muhammadiyah tidak di Fi’il Madhi dan Mengalami Disorientasi

Haedar menggunakan istilah madhi (orientasi masa lalu) dan mudhari (orientasi masa depan) yang digunakan dalam ilmu leksikologi Bahasa Arab. “Jangan-jangan untuk pola pikir kita dan pola gerak kita itu juga masih bingung, masih stagnan, masih lampau. Tetapi untuk konteks kekinian dan ke depan, perlu ada tajdid. Jadi, untuk hari ini dan ke depan itu, kita memerlukan reorientasi pemikiran dan gerakan kita,” ujarnya.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh khasanah pemikiran kita tentang Muhammadiyah menyangkut ideologi, organisasi, politik, ekonomi? “Satu karakter khas kita tentang wasathiyah yang berkemajuan itu formula identifikasi diri. Tetapi akar besar karakter Muhammadiyah itu seperti apa? Nah, di sinilah kita gunanya para pemimpin mencoba untuk mengamati,” ungkapnya.

Haedar intens mengamati pola dan gejala di group WhatsApp dalam lingkungan Muhammadiyah. “Saya sampai pada kesimpulan bahwa, posisi kita ini para kader dan pimpinan terutama di sub-sub itu masih dalam posisi reaktif atau yang disebut dengan al-dakwah li al-mu’aradhah. Lalu reaktif simpatif, reaktif  konservatif, tapi belum masuk pada al-dakwah li al-muwajahah. Yaitu dakwah yang mencoba melakukan respon untuk memberi jawaban yang sifatnya alternatif,” ulasnya.

Dalam pola itu, terjadi disorientasi. “Nah, kita coba ungkap prespektif kita tentang ideologi, tentang politik, tentang organisasi. Jangan-jangan sekarang kita terlena dengan capaian, sampai lupa kalau sudah keluar dari track itu,” katanya mengajak peserta untuk melakukan evaluasi gerakan.

Identitas sebagai Gerakan Islam

Perspektif ideologi. Dalam konsep Muhammadiyah, ideologi itu tentu tidak lepas dari teologi Islam. Yaitu sistem paham yang menyeluruh dalam memandang sesuatu, yang sistem paham itu mengandung esensi strategi dan cita-cita perjuangan. “Karena itu menyangkut esensi, strategi, dan cita-cita perjuangan itu, mau tidak mau, kembali pada dasar posisi kita bermula, itulah yakni pada karakter kita sebagai gerakan islam,” katanya.

Pasal 4 ayat (1), Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. “Identitas ini lengkap, bahwa kita ini al-harakah al-islamiyah. Muhammadiyah ini sebagai gerakan Islam. Kata kuncinya pada harakahnya, dibentuk pada Islamnya. Jadi, bukan sekedar Islam, tapi Islam yang menjadi gerakan. Kalau tidak bergerak, ia bukan gerakan Islam,” ujarnya.

Muhammadiyah di semua tingkatan itu perlu bertanya, apakah sudah bergerak atau jangan-jangan kelihatan bergerak, tapi sebenarnya jalan di tempat. Jalan di tempat itu bergerak tapi tidak maju, pun tidak mundur. Hal ini, kata Haedar menggunakan teori Clifford Geertz, seperti sebuah jebakan.

Kemudian identitas dakwah, misalnya dikukur dengan kehadiran Muhammadiyah di tengah masyarakat kekinian. “Bapak ibu coba sekarang kita lihat kelompok hijrah di kalangan artis atau para elit. Mereka tiba-tiba jadi Islami. Mereka tiba-tiba ingin menampilkan kesalehannya. Pertanyaan, di mana posisi kita? Apakah mereka berubah karena mubaligh-mubalighah kita? Jangan-jangan kita tidak hadir di tengah-tengah mereka dan mereka berubah memang bukan karena kita. Mereka berubah karena kelompok Islam tertentu. Di mana posisi kita, padahal kita, tabligh, harusnya posisinya di situ,” katanya.

Spirit Tajdid Kiai Dahlan

Menurut Haedar, tajdid itu suatu pemikiran maju yang melampaui zamannya. Ketika kiai Dahlan hadir membawa perubahan di luar kelaziman, sampai beliau disebut sebagai kafir. Indosianis, Charlez Cruzman mengatakan bahwa Dahlan adalah seorang pembaharu liberal. Tapi Dahlan menjadi suri teladan. Dia membongkar pemikiran status quo kaum tradisional dengan jalan yang makruf dan santun.

“Kiai Dahlan nmerubah arah kiblat dengan pendekatan sains. Memperkenalkan sistem pendidikan modern, memadukan Islam dan kemajuan. Menghadirkan gerakan perempuan Islam pertama, Aisyiyah. Menggagas dakwah di ruang publik, termasuk melalui Suara Muhammadiyah. penmgorganisasian haji dan zakat, menggagas al-Ma’un, gerakan rumah sakit, layanan sosial, pendidikan,” ulasnya.

Ratusan tahun orang membaca al-Ma’un, kata Haedar, tetapi tidak membawa perubahan. Di tangan Dahlan, al-Ma’un menjadi movement. Pengkaji Muhammadiyah berangkat dari sini, dari kisah kiai Dahlan dan Muhammadiyah awal, yang banyak melakukan pembaharuan, dibanding puritanisasi.

“Hampir semua dilakukan oleh kiai Dahlan, tinggal kita meneruskan saja. Tapi kita khawatir tidak bisa meneruskan,” katanya. Jangan sampai, gagasan Dahlan justru kita abaikan. Pemikiran kiai Dahlan, semisal di 17 Kelompok Ayat, di Tali Pengikat Hidup penting untuk dipedomani.

“100 tahun setelah itu, jangan-jangan kita menjadi alergi terhadap istilah-istilah dan kepeloporan yang dipercikkan apinya oleh kiai Dahlan. Kita alergi terhadap istilah liberal, istilah modern, dan banyak hal,” ungkapnya. Hal ini menjadi paradoks.

Post Modernisme dan Post Tradisionalisme Pasca Reformasi

Kata Haedar, ketika datang gerakan neo-modernisme Islam, sebagian kita menjadi penuh ketakutan terhadap lahirnya progresivitas. “Persis seperti dulu Kiai Dahlan di hadapkan pada kaum tradisional, cuma posisinya sebaliknya. Para pemimpin Muhammadiyah di wilayah, di daerah, begitu terjerit-jerit melihat pikiran-pikiran melompat dari anak-anak muda. Lalu memberi cap liberal dan semacamnya. Tanpa bisa menampilkan pemikiran alternatif. Jika tidak setuju harusnya bisa melahirkan pikiran-pikiran alternatif dan tajdid, bukan lalu menjadi konservatif,” katanya.

Secara ideologis, sering disebut al-fikrah al-najiyah min al-salaf. Metamorfose ideologi Islam itu banyak sekali sekarang. Muhammadiyah dulu disebut sebagai reformisme Islam. Gerakan Islam modern atau gerakan tajdid. “Ini tentang identifikasi, tidak semuanya pas,” urai penulis buku Memahami Ideologi Muhammadiyah (2014).

Muhammadiyah disebut sebagai Islam modern karena ajaran Islam itu dikontekstualisasikan dalam kehidupan kekinian. Semua rintisan kiai Dahlan itu dalam konteks modernisme Islam. Melakukan ijtihad untuk menjawab tantangan zaman sesuai dengan tuntutan zaman. Saat itu menghadirkan Islam dalam bentuk institusi Islam modern, bahkan melalui organisasi.

“Di seberang lain, kaum tradisionalisme Islam itu terkungkung pada fikih, pada fikih bermazhab tertentu, dan pada waktu itu, anti perubahan dan anti tajdid, terbatas pada qaul ulama. Ijtihad mereka sebatas ijma. Mereka tidak kritis terhadap budaya, menerima budaya begitu saja,” katanya.

Di luar arus besar itu, ada yang sekular. Mereka mengambil pikiran-pikiran modern dari Barat dan mencoba melepaskan agama dari ruang publik. Misalkan terjadi polemik di tahun 1930, ada yang mengusulkan untuk melakukan westernisasi.

Kritik Terhadap Kaum Modernis

Setelah reformasi, kata Haedar, terjadi lompatan yang luar biasa. Anak-anak kaum modernis kemudian ada yang menjadi konservatif dan juga ada yang progresif. Padahal di generasi kedua, mereka menjadi motor pembaharuan pemikiran Islam, yang membongkar status qou. Pada generasi ketiga, muncul generasi neo-modernis yang lahir dari anak kandung Islam modernis, tetapi mereka merevisi dan mengkritik kaum tradisionalis dan sekaligus juga mengkritik kaum modernis.

Misalkan mengkritik aforisme al-muhafazatu ala al-qadim al-shalih, perlu diperbaharui lagi. Tidak cukup melanggengkan tradisi lama dan mengambil hal-hal baru yang baik, tetapi tradisi lama juga perlu diperbaharui.

Mereka juga mengkritik kaum modernis, karena (1) pembaharuan yang dilakukan berkutat pada puritanisasi. Menjadi sangat puritan. Purifikasi anti TBC. Sehingga gerakan yang awal mulanya dianggap progresif justru menjadi statis. Bahkan tertinggal jauh. (2) terjebak pada praktisme, pragmatisme. “Larut di situ, bagus, tapi dalam hal pemikiran jadi praktis. Tidak ada pembaharuan pemikiran,” katanya.

Di sisi lain, ada perubahan frontal dari kaum tradisional, menjadi post tradisionalis. Mereka mencoba tetap merawat mazhab dan tradisi, tetapi dalam pemikiran justru melompat jauh. “Bahkan melewati kaum modernis. Sehingga beririsan antara post tradisional dengan kaum neomodernisme. Mereka kritis terhadap idiom-idiom Islam,” ungkapnya.

Kaum modernis tidak hanya ketinggalan dalam hal pemikiran, tetapi juga dalam gerak organisasi. Mulai muncul gerakan ketiga, yang disebut dengan gerakan neo-revivalisme Islam. Varian ini bahkan berhasil mengambil irisan jamaah dari kedua arus besar, modernis dan tradisionalis.

Dulu, gerakan Islam modernis ada irisan dengan gerakan neo-revivalisme Islam. Banyak gerakan pembaharuan yang punya karakter revivalisme, dengan jargon al-ruju ila al-Qur’an wa al-Sunnah, yang gerakannya lebih keras, merujuk Muhammad bin Abdul Wahab. “Mereka yang puritan dalam ibadah muncul salafi, mereka yang cenderung pada politik muncul islamisme. Ada islamisme yang cenderung kaku berpolitik,” katanya.

Posisi Muhammadiyah dan Kehadiran Islam Berkemajuan

Bagaimana posisi Muhammadiyah di tengah tiga gerakan itu? Ada yang menyebut Muhammadiyah reaktif terhadap tiga gerakan itu.

Di tengah pergulatan dan pergumulan itu, kata Haedar Nashir, PP Muhammadiyah mencoba menghadirkan Islam Berkemajuan, yang dipopulerkan pada 2010. Sebagai metamorfosis dari modernisme Islam untuk menggali kembali khazanah Kiai Dahlan dengan bingkai yang baru. Kebaruannya masih terus berproses. Semangatnya Islam Berkemajuan. Hal ini dinyatakan dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010)

Terkadang, kata Haedar, kaum modernisme menjadi tidak berdaya di hadapan lompatan pemikiran dan fenomena baru ini. Lalu pemikiran justru dihadapi dengan fatwa. Padahal dulu di zaman Islam jaya, ketika tidak setuju, pemikiran dilawan dengan pemikiran. Terjadi dialog. Bukan fatwa.

Politik sebagai Urusan Muamalah Dunyawiyah

Politik dalam perspektif kaum modernis tidak bisa dipisahkan dari Islam. Kaum islamis, memandang politik sama dan sebangun dengan Islam itu sendiri. Ada juga yang memunculkan Islamisasi politik. Politik itu harus tunggal, absolut. Islam dan syariat dihadirkan dalam bentuk hukum Islam.

“Bagi kaum modernis, politik adalah urusan muamalah dunyawiyah yang tidak selalu sebangun dengan Islam, tetapi nilai-nilai Islam itu menjadi dasar dari politik. Ini wilayah mualamah dunyawiyah dan wilayah ijtihad. Nilai-nilai islam dihadirkan dalam bentuk hukum positif,” tuturnya.

Reorientasi Organisasi

Reorientasi juga perlu dihadirkan dalam mengelola organisasi. Kemunculan organisasi merupakan gejala modern yang dipelopori oleh kaum Muslim Terpelajar. Pengelolaan organisasi dengan sistem modern perlu untuk direvitalisasi menjadi kekuatan yang dinamis. Kehadiran jaringan organisasi dan amal usaha menjadi potensi besar Muhammadiyah yang mengakar di seluruh Indonesia.

“Cara mengelola organisasi harus lebih modern lagi. Budaya kita lebih banyak budaya oral. Budaya menulis kita rendah. Cukup-cukuplah bermain di WA dan jadilan penulis benaran. Jangan jadi homoludens. Ciri orang modern itu harus simpel, efisien, dan efektif,” kata Haedar Nashir. (Ribas)

 

Exit mobile version