YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Selama enam tahun (1927-1933), di Tanah Minang, terjadi benturan berbagai aspek politik dan sosial, yang kemudian memunculkan konflik terbuka. Masa ini ketika kaum Islam modernis mengambil alih penyebaran ide-ide baru yang dinamakan kemajuan atau modernisasi.
Term ‘kaum muda’ merupakan istilah yang dimunculkan seorang cendekiawan Minang yang bersekolah di Belanda. “Kaum muda, adalah mereka yang modern yang berpikir maju, tidak hanya yang sekolah Belanda tapi juga yang sekolah agama. Yang konservatif disebut kaum tua,” kata Prof Taufik Abdullah, penulis buku Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat, 1927-1933 (2018), dalam acara bedah buku di aula PWM Yogyakarta, 28 September 2018.
Para tokoh kaum muda yang mempelopori perubahan di Sumatera Barat, kata Taufik, diinisiasi di antaranya oleh Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Abdullah Ahmad, dan Syeikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Sementara dari kalangan tua juga diwakili beberapa nama.
“Mereka berdebat dengan para kaum tua. Baru berhenti berdebat ketika mendirikan organisasi persatuan. Kaum muda mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGI). Kaum tua mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI),” katanya. Organisasi menjadi solusi sekaligus wadah yang menghentikan perdebatan. Salah satu organisasi yang diinisiasi kaum muda adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah di Sumatera Barat didirikan oleh Haji Rasul, ayahnya Buya Hamka. Ketika itu, kata Taufik, Buya Hamka mengunjungi anak dan menantunya di Pekalongan. Pulang ke kampung mendirikan Muhammadiyah di kampungnya. Ada juga orang lainnya yang mendirikan Muhammadiyah. Pada tahun 1929 barulah beberapa Muhammadiyah itu berkumpul menjadi satu Muhammadiyah.
“Kemudian Bukittinggi menjadi tempat Muhammadiyah berkongres. Itulah kongres Muhammadiyah terbesar, dihadiri sekitar 15.000 orang. Di kongres itu ada perdebatan, apakah Muhammadiyah berpolitik atau tidak. Ada juga perdebatan apakah perempuan boleh berpidato di forum publik atau tidak. Kedua perdebatan itu dimenangkan oleh kelompok Muhammadiyah Yogyakarta yang ideologis, Muhammadiyah tidak berpolitik dan perempuan boleh berpidato di forum publik,” tuturnya.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Agus Suwignyo PhD menyatakan bahwa penyebutan kaum muda dalam buku ini karena beberapa alasan. Di antaranya karena memang secara usia lebih muda. Kaum muda juga merujuk pada ide-ide pembaharuannya. “Kaum muda adalah produk pendidikan yang hibrid, ada pengaruh dari Kairo, Timur Tengah, refleksi pendidikan tradisional Sumatera Barat, dan juga dipadukan dengan sistem pendidikan Skolastik dari Eropa atau ide pencerahan Barat. Kaum muda menyebarkan gagasan melalui sekolah-sekolah dan sumber bacaan,” katanya.
Menurutnya, kerangka paradigmatik dari strategi ini sangat jelas. Bahwa sasaran dari gerakan pembaharuan “Kaum Muda” adalah perubahan pola pikir dan wawasan generasi muda Sumatra Barat yang kedepan dibayangkan akan menjadi penentu arah masyarakat Minangkabau.
“Gerakan pembaruan melalui sistem kelembagaan sekolah sangat efektif karena sekolah-sekolah memiliki ‘pengikut’ yang terus bertambah jumlahnya. Strategi ini memunculkan model sekolah yang juga hibrid, antara lain sekolah-sekolah agama (Islam) yang mulai menyediakan pengajaran untuk bidang-bidang pelajaran pada kategori non-keagamaan, serta sekolah-sekolah non-keagamaan yang memberikan pengajaran bidang agama (Islam),” ulasnya.
Pendidikan agama di sekolah negeri dan sekolah kolonial, kata Agus, baru diwajibkan setelah peristiwa 1965. Sebelumnya tidak wajib, hanya pelajaran pilihan di luar jam formal. Namun di sekolah swasta, semisal pendidikan Muhammadiyah sudah mulai ada. “Pendidikan Muhammadiyah menjadi protype dari model pendidikan yang seutuhnya. Tamansiswa menekankan kehalusan budi pekerti, sekolah barat menekankan pada penguatan kognisi. Maka sekolah Muhammadiyah menggabungkan ketiga hal itu, penguatan kognisi, penghalusan budi, dan pendidikan agama,” ungkapnya. Tahun 1938, Muhammadiyah dipasrahi oleh Belanda untuk membuka sekolah MOLU pertama, maka pendidikannya menjadi sinergis.
Judul “Sekolah dan Politik” pada buku ini, menurut Agus, merujuk pada dua makna. Pertama, gerakan perubahan yang dimotori kaum intelektual muda dengan tujuan memodernisasi fondasi dan tatanan masyarakat Minangkabau merupakan hasil dari proses pendidikan yang telah dialami oleh kelompok kaum muda tersebut. Kedua, strategi gerakan oleh kaum muda intelektual itu memanfaatkan sistem kelembagaan sekolah karena targetnya adalah perubahan pola pikir dan perilaku generasi masa depan Sumatra Barat. Kata “politik” di dalam buku ini tampaknya tidak merujuk pada aspek politik kekuasaan semata. Keberadaan kuasa pemerintah kolonial jelas menjadi sumber gerakan politik perlawanan di Sumatra Barat.
Upaya-upaya menahan ekspansi institusi kolonial, ungkap Agus Suwigyo, antara lain melalui ketentuan yang mengatur standar pendidikan dan dampaknya pada eksklusi model pendidikan yang dianggap tidak memenuhi ketentuan itu dengan label “liar”, merupakan gerakan politik yang menunjukkan keikutsertaan aktif masyarakat Sumatra Barat dalam “jaman bergerak” nasionalisme Indonesia, sebagaimana di Jawa. Namun, kata “politik” di dalam buku ini juga merujuk pada aspek “perlawanan dan kontestasi interna” masyarakat Sumatra Barat, yaitu antara Kaum Muda yang berhadapan dengan Kaum Tua.
“Jadi—sebaimana juga di Jawa—pergolakan di Sumatra Barat bersifat dualistik, yaitu pergolakan keluar (berhadapan dengan ekspansi kultural Barat), dan pergolakan ke dalam (proses perombakan struktur lama/feodal oleh gagasan-gagasan modernisasi) (lihat The Late Colonial State in Indonesia: Political and economic foundations of the Netherlands Indies 1880 – 1942, ed. Robert Cribb, 1994). Dalam kedua trajektori pergolakan itu, sekolah menjadi sumber sekaligus objek aktivisme. Inilah bentuk konkrit sekolah dalam pelibatan politik,” paparnya.
Buku ini, kata Agus, menunjukkan bahwa proses pembaruan masyarakat dimulai oleh suatu kelompok elit intelektual yang jumlahnya relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduk tetapi pengaruhnya sangat kuat dan luas melalui berbagai medium yang berlaku dan relevan di masyarakat saat itu. “Dari buku ini dan buku karya Van Niel (The Emergence of the Modern Indonesian Elite), kita menjadi tahu kebenaran teori patronase dan trickle down effect. Bahwa perubahan sosial berlangsung dan terjadi melalui perubahan pola pikir dan pola perilaku sekelompok kecil warga masyarakat, yang bagaikan role model mencerahi dan menggerakkan jumlah besar warga masyarakat lainnya,” katanya. (ribas)