TENTANG KOTA YANG TAK USAI MERAYAKAN IDUL ADHA
bukan gemercik air yang mengalir dari mata air hingga muara
bukan pula kokok ayam yang telurnya kau santap sebelum bekerja
bukan suara cericit burung yang hinggap dari dahan ke dahan
bukan pula kidung-kidung pujian yang merdu dikumandangkan
yang bakal terdengar saat menyambut pagi di kota bernama gaza
selain desing peluru, dentum meriam, rudal yang membahana
serta isak tangis yang tak pernah kering dari sumbernya
adalah kota kecil yang tak pernah usai merayakan idul adha
sebab setiap saat orangtua rela melepas kepergian anaknya
tanpa menuntut Tuhan menggantinya dengan seekor domba
layaknya kisah ibrahim yang urung menyembelih putranya
di kota inilah darah mesti menetes semerah-merahnya
pengorbanan bukan sekedar memerankan lakon drama
perlawanan bukan atas dasar pura-pura
berulangkali bakal kau dengar negeri para perompak
menghujani kota dengan serangan tanpa sekalipun berjarak
negeri yang kelak bakal terbutakan oleh ilmu pengetahuan
negeri yang dihidupi oleh aneka brand yang kau agungkan
negeri yang bersenjata karena label yang kau makan
serta kau kenakan
kota inilah yang berulang melahirkan pahlawan-pahlawan
kota inilah yang selalu menghidupkan denyut perjuangan
ketika kemerdekaan tak lagi bisa menjamin rasa aman
kota inilah yang menukar peluru dengan batu
adakah yang lebih hebat daripada itu?
inilah kota yang selalu menjaga takbir dalam degup dada
bukan sekedar saat menyambut kemenangan usai berpuasa
inilah kota orangtua mesti setabah-tabah ibrahim ketika
anaknya menyambut maut dalam usia yang teramat belia
menjadi ismail-ismail kecil yang tak kalah beraninya
Surakarta, 31 Desember 2012
DOA
- bersama hujan kutitipkan muatanku padamu
sebab kau yang mewakiliku menuju muara rindu
sampaikan pula lumpur yang menempel di baju
jangan lama-lama, aku bisa menjadi arca batu
melesatlah engkau serupa seekor pegasus
menuju singgasana Dzat Yang Maha Kudus
sapalah jua malaikat yang tersenyum arif tulus
yang menukar muatan di punggungmu
dengan sebuah kado khusus
- hilir mudik kau sampaikan semua pesanku
kemudian kembali mesra di pangkuanku tepat waktu
istirahatlah, dan sejenak ceritakan kepadaku
arti di balik senyuman yang kau tahan itu
adakah kabar yang senantiasa aku tunggu
- lancar sekali kau bercerita tentang perjalanan
kau bercerita lepas, tanpa paksaan, ataupun rasa enggan
sesekali kau terdiam mencari kata yang sepadan
untuk melukiskan pengalamanmu yang mengagumkan
tentang sambutan dan upacara penghormatan
aku mengerti, Mereka memperlakukanmu penuh kearifan
Surakarta, 2010
PERJALANAN DEBU
apa yang kau pikir tentang debu
selain serbuk halus mengembara berlalu
seperti tamu yang tak pernah ditunggu
yang menerobos jendela dan celah pintu
ketika asyik tidur sambil berlagu
yang lembut tak terlihat di kamar gelap
juga di tempat berlampu saling menatap
kecuali kau nyalakan senter bersinar mantap
lalu menyorotinya di ruang pengap
berkerumun ia seperti sekawanan rayap
lewat hembusan angin ia berkelana
menyinggahi benda-benda yang ia suka
sebelum air sabun mengusirnya
sejenak kemudian meninggalkannya
tapi esok kau lihat ia masih di sana
kuyakin kau telah lama mengenal
sebab kulitmu kerap memintanya tinggal
diam-diam tanpa izinmu, wahai peramal
meninggalkan lanskap dalam ketika tanggal
ketika kembali ke tempat ia berawal
apa yang kau pikir tentang debu
selain noda mengering dan membeku
yang kerap membuatmu malu
sewaktu mengendap di belakang baju
tanpa sepengetahuanmu
Surakarta, 2011
PELAJARAN MENDESAIN
berangkatlah dari tumpukan masalah
tanya tanpa jawab yang melimpah
bayangkan sebagai garis-garis patah
tanganmu pena warna darah
rumuskan satu per satu kriteria
runutkan dengan hukum fisika
sebab teknologi yang telah ada
berawal dari gerak benda sederhana
seperti pesawat dari gerak burung
seperti helikopter dari kecapung
seperti kapal selam dari lumba-lumba
seperti robot dari manusia
uraikan kembali benda-benda jadi
yang mulanya sendiri-sendiri
semisal beton bangunan tinggi
kemudian rancang sebuah rakit
berapa bambu yang diapit
panjang tebal tali yang melilit
menantang arus paling genit
lepas rakit sampai muara
catat waktu yang tertera, tepat ketika
tali putus oleh gesekan dua benda
bambu-bambu tercerai
sebagai sebuah efek berantai
sebagai rujukan mengkalkulasi
berapa lama waktu garansi
demikian alam menjelma lahan terbuka
tempat menggali pengetahuan tanpa koma
kau memanggul cangkul berbendera
menyiapkan ladang angka-angka
Teknik Mesin UNS, 2010
PESAN IBUNDA
adalah senyummu, yang kali pertama menyambutku, di antara
pijakkan kaki di muka bumi yang mulai layu. topangan tanganmu,
adalah ranting kokoh bagi tunas-tunas baru. adakah yang lebih
mesra dari panggilan cinta bermuatan rindu, yang meluncur indah
dari bibir bersuara merdu? sementara cuaca garang dan kejam
memainkan waktu, ia tetap teguh tanpa sedetik pun melepasmu.
: tak serupa mahoni, yang melepaskan daunnya satu-satu.
kusandarkan air mata dalam setiap denyut luka dan kecewa,
sewaktu usia mulai menapak masa remaja. tapi kau merangkumnya
menjadi sebentuk telaga, di mana aku belajar berenang kali pertama.
cobaan hanyalah sekumpulan air telaga, ananda. tangan dan kakimu
yang akan menentukan tubuhmu agar leluasa mengapung di atasnya.
demikian pesan yang senantiasa aku jaga, ketika musim mulai
meniupkan kabut-kabut putus asa.
menjemput dewasa, kau mengantarku sampai stasiun
mimpi. dengan wajah berseri, meski keringat mengalir tanpa
henti. membekali peta kehidupan yang tak mudah aku cari, entah
di bangku sekolah maupun perguruan tinggi—yang pinggiran,
maupun yang mematok label harga mati. dan meski garis senja
mulai bermukim di rambut dahi dan pipi, kau berkeras
mengantarku sampai gerbong kereta api. memelukku erat,
sembari membisikkan kalimat-kalimat suci.
Surakarta, 2010
HIKAYAT SEBUTIR MUTIARA
apa yang kau harap dari sebutir pasir
yang mudah diusir angin meski semilir
diterbangkan lalu dijatuhkan di atas laut
terombang-ambing ombak pasang-surut
hingga perjalanan serasa mengasingkan diri
menuju kedalaman laut yang penuh misteri
dan celakalah bagi sekawanan tiram
yang tak waspada hingga aku bersemayam
di dalam cangkangnya
menimbulkan perih luar biasa
hingga terlihat betapa merananya ia kini
yang tak memiliki sepasang tangan dan kaki
yang tak mudah mengusir rasa sakit ini
tapi dengan bantuan liurnya yang licin
menumpuklah segala ingin
dengan sabar aku dibalut air liurnya
agar tergelincir keluar dengan sendirinya
hari, bulan, dan tahun-tahun pun berganti
pamitku adalah pertanda perih terobati
dan aku pangling sewaktu mematut diri
warna kulitku menjadi kian semarak
tubuhku mulai berbentuk kian acak
aku mulai menjalani peran berbeda
menjadi sebutir benda yang cukup berharga
Yogyakarta-Jepara, 2012
GEAR
aku hanyalah pembawa pesan
dari mesin-mesin kendaraan
tempat menukar putaran bimbang
menjadi gerak lurus beraturan
adalah bukti aku membenci kesesatan
dalam setiap kilometer perjalanan
tak perlu sekali-kali kau bandingkan
antara daya masukan dengan keluaran
tak ada ihwal yang aku sembunyikan
tak ada pula niat memeras bahan bakar
selain ritual gesekan, yang menjadi mahar
sewaktu aku dan pasangan memulai ikatan
di mana rantai menjadi penghulu pernikahan
maka, mulailah kami menebar bibit kemajuan
lewat roda yang semula malas menjadi berjalan
melipat jarak yang membentang menjadi berdekatan
dan aku cukup senang hati menerima bayaran
meski hanya berupa cairan pekat berlendir hitam
yang menyulap bising menjadi rasa tenteram
begitulah riwayat hidupku yang sederhana
bersama pasangan yang teramat setia
sampai keriput dan retak mulai melanda
karena karat-karat yang melekat
karena perawatan yang tak rutin kami dapat
Surakarta, 4 Agustus 2012
TENTANG KARYA
: Yudhi Herwibowo
setiap karya membawa nasibnya sendiri, katamu.
aku termangu, sebab selama ini aku percaya bahwasannya
karya serupa uang saku. yang bisa menjelma ikan bakar, burgo,
tempe, atau tahu. serta alasan kenapa aku masih saja bertahan
di belakang bangku. mendengarkan riwayat angka-angka
yang katanya bisa mengubah nasibku-nasibmu.
dari dulu aku berharap kelak bisa membuntuti, meski jalan
pertama kita berbeda: aku puisi, kau fiksi. serupa membandingkan
kinerja mesin ketik dengan mesin fotokopi. mesin mana yang lebih
cepat merayu kata-kata agar lekas terjatuh dalam pelukan kertas.
dan kurasa anak kecil bisa menjawabnya dengan penuh
semangat, cepat, tepat, dan antusias.
telah kusalami aneka wajah karya, menjalin ikatan dengannya.
demi menutupi kecemburuanku atas kemesraanmu dengan fiksi
yang demikian kuatnya. adalah satu alasan kenapa aku menjelma
piranti teknologi all in one, meski selalu saja, masalah klasik
seperti batere yang lebih cepat terkuras akan selalu
menjadi kendala.
ah, kenapa baru sekarang aku merasa. bahwa idemu lebih gemuk
dan bertenaga, dari yang pernah aku sangka.
Surakarta-Jepara, 31 Juli-2 Agustus 2012
DOA YANG MEMANGGILKU KEMBALI KE PANGKUANMU
kurasa doamu adalah jalan bebas hambatan, saat kendaraan letih terjebak
arus kemacetan. membebaskan roda yang jenuh dengan persimpangan. dan menghidupkan kembali ketenangan yang sempat terampas oleh peluit tugas
dan pekerjaan. betapa kini album kenangan kerap mengisahkan, saat aku
tertidur pulas oleh belaian lembut tanganmu di atas pangkuan. menambang
kasih sayang dalam rimbun perhatian dan pelukan. serta percakapan
yang tak pernah usai menyirami tunas-tunas harapan.
lama kucumbui aneka warna peristiwa. yang datang menyapa dan
mengunjungiku tanpa jeda. melatih menjadi lelaki yang tahan iklim dan
cuaca. tapi aku tak pernah bisa sepertimu, bunda. sebab begitu rentan aku
terserang demam atau menggigil karena hujan yang kerap datang tiba-tiba.
betapa kini kusesali karena dulu tak sempat bertanya, bagaimana menidurkan
air mata ketika luka rajin datang mengetuk pintu rumah kita? haruskah aku
mengunci pintu rapat beserta jendela? ataukah lari lewat pintu belakang
lalu menghilang untuk sementara?
kini kusadari perjalanan menginjak dewasa tak semudah ucapan mereka.
yang kerap berdiri di atas mimbar dan alat pengeras suara. mestinya aku tak
perlu asyik memanjakan telinga. lewat dongeng dan petuah yang mudah diucap
tetapi sulit kaki menjalankannya. sebab pelajaran berharga lahir dari senyummu
yang selalu terawat dan tertata. meski aku kerap membawakan bingkisan keluh
kesah yang membuatmu terjaga lebih larut dari biasanya.
Surakarta, 29 Mei 2011
MENUNGGU KEKASIHKU, RAMADHAN
kutunggu hadirmu serupa lelaki yang lama menunggu kekasihnya di stasiun kota.
di tengah gegap gempita lautan manusia menunggu kereta cahaya. mungkinkah aku sempat menyalamimu saat kau merapat, cinta. seperti biasa, aku tak bisa berjanji untuk berdiri di bawah peron dan menggandeng tanganmu kala turun dari kereta. sebab aku tak pernah tahu sampai kapan napasku akan terus terjaga. aku hanya tahu rindu mengulang saat berebut oleh-oleh di pundakmu yang teramat menggoda—
yang dinanti oleh jutaan umat islam di seluruh pelosok dunia.
sungguh aku telah berjanji untuk setia padaNya. jauh sebelum aku menyapamu
untuk kali pertama. sebelum aku menyibukkanmu dengan tugas-tugas mencuci lumpur yang melekat di atas celana dan kemeja. hati dan jiwa. betapa dari lubuk hati aku ingin kembali menyemai mesra. merasakan jiwa yang hangat terbasuh pendar cahaya. merenung sejenak mengapa aku mudah terpana kilau lampu-lampu kota. bukankah hadirmu tak pernah lupa membawa cahaya seribu purnama, yang mengingatkan
kembali ritual menuju fitrah umat manusia.
kerapkali aku bertanya apakah kau merasa cintaku pamrih dan hampa, hanya
menyala ketika kau singgah di ujung retina. meski kerapkali kutegaskan bahwa aku
bukan tipe lelaki yang mudah main mata. tak perduli waktu kerap menyuguhkan ragam panorama yang banyak membuat orang terlena. jauh sebelumnya, kau bisa bertanya
pada para tetangga–yang lama bermukim pada kedua tanganku, cinta. maka, kelak
kau percaya, kesetiaanku tak hanya nampak saat kau hadir mengunjungiku saja.
sebab kesetiaanku serupa sujudku yang akan terus lahir meski hari tak lagi
menawarkan promosi pahala.
Lasinta Ari Nendra Wibawa, ST, lahir di Sukoharjo, 28 Januari 1988. Menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Karyanya pernah dimuat di 40 media massa lokal-nasional, 26 buku antologi bersama yang terbit skala nasional-internasional, dan meraih 26 penghargaan. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Alpha Centauri (Shell, 2012) menjadi referensi di Library of Congress, Cornell University, Michigan, USA.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Humaniora” Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 4 tahun 2014